Sistem Dua Shift, Tak Lagi Cuma Setumpuk Kertas di Meja Pimpinan
“Apa boleh buat, semua kajian dan penelitian itu berhenti di atas meja pimpinan. Tidak ada satu pun pejabat yang mengeksekusi. Baru Pak Doni Monardo yang berani mengeksekusi. Momentumnya pun sangat tepat,” ujar Wisnu Widjaja.
Oleh : Egy Massadiah
Yang terbaru, sekaligus bisa menjadi tradisi dan peradaban baru bangsa ini ke depan adalah pengaturan shift jam kerja karyawan. Sebenarnya ini bukan barang baru, dan konon sudah lama mengendap. Hanya saja belum pernah diaplikasikan.
Kebijakan itu dituang dalam Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang pengaturan jam kerja pada adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman dari Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Tanpa kecuali, per 15 Juni 2020, pegawai negari (ASN), pegawai BUMN, karyawan outsourcing maupun swasta harus mematuhi kebijakan kerja dua shift.
Diketahui, banyak kalangan pekerja menggunakan fasilitas kendaraan umum saat berangkat dan pulang kerja. Contoh, untuk Jabodetabek, 75 persen pengguna KRL adalah kaum pekerja. Dari jumlah itu, 45 persen bergerak di kisaran jam yang sama, yakni antara pukul 05.30 – 06.30.
Alhasil, keputusan Ketua Gugus Tugas Doni Monardo menerapkan sistem shift bagi para pekerja, tak pelak menjadi solusi ampuh di masa pandemic. Shift pertama, mulai kerja pukul 07.00 dan 07.30 WIB, dan berakhir pukul 15.00 dan 15.30 WIB. Shift kedua, jam kerja dimulai pukul 10.00 dan 10.30 WIB, dan berakhir pukul 18.00 dan 18.30 WIB.
Menurut Wisnu Widjaja, Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ide jam kerja sistem shift itu bukanlah ide baru. “Setahu saya, Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah melakukan penelitian terkait shift kerja. Kemudian, Badan Litbang Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga pernah melakukan kajian seputar shift kerja,”ujar Wisnu Widjaja mengungkap.
“Apa boleh buat, semua kajian dan penelitian itu berhenti di atas meja pimpinan. Tidak ada satu pun pejabat yang mengeksekusi. Baru Pak Doni Monardo yang berani mengeksekusi. Momentumnya pun sangat tepat,” ujar Wisnu.
Pengaturan dua shift tadi diharapkan mampu mengatasi kerumuman calon penumpang, utamanya penumpang commuter line. “Apalagi hari Senin. Penelitian selama ini menunjukkan, penumpukan penumpang yang terparah terjadi di Senin pagi,” ujarnya.
Terkait Surat Edaran Gugus Tugas yang mengatur shift kerja tadi, menurut Wisnu juga bukan lahir begitu saja. Gugus Tugas sudah menggelar beberapa kali pertemuan dengan pihak Kementerian Perhubungan. Termasuk berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta. “Finalnya rapat tanggal 10 Juni. Lalu tanggal 11-nya kami rapat dengan Litbang Kemenhub membahas riset pengaturan shift. Setelah matang, Ketua Gugus Tugas meneken SE tadi, yang mulai berlaku tanggal 15. Hanya saja, karena kesempatan sosialisasi yang terbatas, maka kami pun menyiapkan langkah antisipasi,”kata dia.
Beberapa antisipasi di antaranya menyiapkan ruang tunggu yang memadai bagi calon penumpang. Seperti di Stasiun Bogor, misalnya, area parkir kemudian diberi kursi tunggu dengan batas yang aman. Dengan begitu, masyarakat tidak berjubel. Ada juga pemikiran untuk menerbitkan serial tiket untuk kedua jam tadi.
Masih terkait antisipasi, Pemprov DKI Jakarta bahkan mengirim puluhan armada bus ke Bogor, Tangerang, Bekasi untuk memecah kemungkinan berjubelnya para penumpang yang hendak masuk kota Jakarta.
Dari survei Balitbang Kemenhub diketahui, 38,8 persen pengguna KRL adalah karyawan swasta. Kemudian di urutan kedua adalah ASN sebesar 36,1 persen. Di urutan ketiga adalah karyawan BUMN/BUMD sebesar 5,6 persen dan Honorer/Pekerja Kontrak sebesar 5,2 persen. Selebihnya barulah profesi lain. Hasil survei tersebut makin memantapkan Ketua Gugus Tugas untuk memberlakukan sistem shift.
Nah, hal krusial berikutnya adalah penentuan jeda. Bahwa akhirnya Gugus Tugas mengatur jeda tiga jam, itu juga dilandasi hasil survei. Tentang ini, Sekretaris Daerah DKI Jakarta sempat membuat aturan sejenis dengan jeda dua jam. “Kami pun rapat intensif degan Pemprov DKI, akhirnya mereka setuju untuk merevisi peraturannya, disesuaikan dengan SE Gugus Tugas, yakni jeda tiga jam,” ujar Wisnu pula.
Evaluasi shift
Tentu, pelaksanaan sistem kerja dua shift akan menemui kendala. Pada galibnya, sesuatu yang baru selalu diawali dengan penyesuaian-penyesuaian. Misal, per tanggal 22 Juni kabar dari Bogor, masih terjadi penumpukan penumpang.
“Keseluruhan, beberapa hari sejak dilaksanakan sistem shift, situasi relatif terkendali,” ujar Wisnu.
Tak kalah penting adalah dukungan pemberitaan yang positif. Dalam sebuah bincang pribadi, Roso Daras, wartawan senior memberikan komentarnya dengan nada kelakar. “Bandingkan judul tulisan ‘Keren, Warga Patuh Antre Demi Protokol Kesehatan’ dengan judul ‘Akibat PSBB Antrean Mengular Sampai Satu Kilometer’. Padahal isi beritanya sama. Judul pertama memuat spirit positif sedangkan judul kedua insinuatif,”kata Roso.
Tak terkecuali pemberitaan seputar Surat Edaran Ketua Gugus Tugas Covid-19, tentang pengaturan shift. Sudut pandang media juga terbelah antara yang memilih angle positif dengan angle yang insinuatif. Secara positif, pengaturan shift harus dilihat sebagai sebuah keniscayaan dalam adaptasi kebiasaan baru.
Pengaturan shift akan mengurangi penumpukan manusia di stasiun dan terminal. Juga mengurangi kemacetan akut di Jakarta dan sekitarnya. Inilah kondisi yang dibutuhkan menyongsong adaptasi kebiasaan baru dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Hanya dengan cara ini, tujuan menyeimbangkan penanganan sektor kesehatan dan ekonomi bisa berjalan paralel.
Sebaliknya, angle negatif justru akan menyoal produktivitas pegawai, karena aset SDM seperti dibelah dua. Sudut pandang seperti ini, menurut Roso, kurang tepat. Sebab, kita sedang hidup dalam situasi yang tidak normal. Keliru jika ukuran kenormalan yang digunakan. “Bahasa sederhananya, ‘bisa bekerja saja sudah bagus’,” kata dia.
Semua pihak, tanpa kecuali, harus memahami kondisi ini. Persis seperti yang sering digaungkan Ketua Gugus Tugas Covid-19, Doni Monardo ihwal Pentahelix. Sebuah konsep gotong royong yang melibatkan unsur pemerintah (pusat dan daerah), unsur masyarakat, akademisi, pengusaha, dan media. “Jadi, judul dan isi pemberitaan termasuk yang harus bersinergi mengentaskan bangsa ini keluar dari pandemi Covid-19,” ujar Roso pula.
Adaptasi Kebiasaan baru yang digulirkan Presiden Joko Widodo harus disikapi secara positif dan optimis. Betapa pun, virus corona masih ada di sekitar kita. Karenanya kita harus berdamai dengan cara menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Para pimpinan instansi di pemerintah dan swasta, harus mulai membiasakan dengan era baru ini. Gugus Tugas bahkan merancang penyediaan semacam co-working space di stasiun-stasiun lengkap dengan sarana wifi. Dengan demikian, pegawai bisa bekerja di co-working space, daripada memaksakan naik KRL yang berjubel. Setelah senggang, baru berangkat naik KRL.
Kemudian, ada juga beberapa jenis pekerjaan yang tidak harus berhadapan dengan orang lain. Jenis-jenis pekerjaan seperti ini, sudah semestinya tidak harus masuk kantor. Ia bisa bekerja dari rumah. Bahkan, sistem absen pun sekarang bisa sistem digital dan online. “Contoh, di kedeputian saya, Deputi 1, banyak staf yang terdiri atas pemikir. Mereka tidak harus masuk kantor. Sebab, jenis pekerjaan mereka bisa dikerjakan dari rumah,” kata Wisnu Wijaya memberi contoh.
Meski begitu, Wisnu mengakui, situasinya masih sangat dinamis. Sebab, kebijakan itu pun masih akan terus dipantau dan dievaluasi.
Salah satu kegiatan evaluasi dilakukan hari Minggu (21/6). Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 tingkat Nasional mengundang Rapat Koordinasi via Vicon Zoom membahas pengaturan jadwal kerja karyawan ASN, BUMN dan swasta Jabodetabek agar tidak terjadi kepadatan lalu lintas. Artinya, selain agar tidak terjadi kepadatan di stasiun KRL, pemerintah juga mengatur agar tidak terjadi kepadatan lalu-lintas.
Menurut Wisnu, jika hasil evaluasi sistem kerja dua shift ini terbukti efektif, maka besar kemungkinan untuk segera diterapkan di daerah lain. Utamanya di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makassar dan lain-lain.
Doni Monardo pun ikut sumringah. Setidaknya, hampir tiga bulan dihadapkan sejumlah resep mengurai penumpukan penumpang, perlahan terjawab. Dan semua itu akhirnya tertopang karena ada nyali untuk mengeksekusinya, bukan sekedar tatanan konsep di atas kertas.
Begitulah, setiap kesulitan terkadang adalah awal jalan baru menuju kemudahan. Tabik. [ ]