The House of One, Rumah Ibadah Tiga Agama yang Terinspirasi Lakon Drama
Sekelompok umat di Berlin yang mewakili tiga agama besar dunia, yakni, umat Kristen, Islam dan Yahudi sepakat membangun rumah ibadah bersama sebagai bentuk toleransi antara agama-agama Abrahamik.
Jernih — Rumah ibadah telah menjadi salah satu struktur bangunan tertua yang pernah dibangun umat manusia. Sejak dimulainya peradaban, kecenderungan manusia untuk beribadah telah nampak.
Oleh karenanya, salah satu peninggalan pra sejarah yang kerap kali ditemukan oleh para arkeolog adalah struktur bangunan atau tempat yang dulunya berfungsi sebagai tempat ibadah.
Dari berbagaiagama yang ada di dunia, agama-agama yang digolongkan ke dalam agama Abrahamik adalah agama dengan pemeluk terbanyak di dunia. Agama Abrahamik merupakan istilah yang lazim digunakan untuk merujuk tiga agama yang sama-sama meyakini Abraham/Ibrahim sebagai salah satu pangkal utama pembawa ajaran agama yang mereka anut.
Abraham sering pula disebut sebagai Bapa Monoteisme Dunia sebab tiga agama yang “diwariskannya” sama-sama menganut monoteisme sebagai dasar teologinya. Tiga agama yang dimaksud adalah Yahudi, Kristen (Katolik, Protestan, dan lain-lain), serta Islam (Sunni, Syiah, dan lain-lain).
Data dari jewishvirtuallibrary.org menyebut bahwa populasi penganut Yahudi di dunia pada tahun 2019 berjumlah 14,7 juta jiwa. Sedangkan populasi umat Kristen dunia di tahun 2020 menurut data Paw Research Centre yang dikutip Wikipedia mencapai 2,4 milyar jiwa.
Adapun umat Islam sebagai populasi umat beragama kedua terbesar di dunia setelah Kristen, pada tahun 2020 mencapai jumlah 1,9 milyar jiwa menurut data worlpopulationreview.com.
Sejarah banyak bercerita mengenai persinggungan tiga agama ini sejak lama. Yahudi sebagai “kakak tertua” sempat menganggap Kristen sebagai salah satu sekte mereka di awal-awal Masehi hingga agama tersebut dituding sebagai sekte yang sesat.
Kristen dan Islam pernah terlibat “Perang Suci” yang panjang demi memperebutkan kota suci Yerussalem. Perang dengan dua tokoh ikonik Salahuddin Al-Ayubi dan Richard The Lion Heart ini dikenal luas sebagai Perang Salib.
Pemerintah Yahudi Zionis yang memerintah negara Israel hingga kini masih kerap bersitegang dengan tetangga muslim mereka di Palestina.
Sejarah memang tak bisa diubah. Tetapi, upaya-upaya dialog lintas agama terus dilakukan oleh para tokoh agama dari ketiga agama tersebut demi terciptanya perdamaian. Salah satunya dilakukan oleh komunitas Yahudi, Kristen, dan Islam di Jerman.
Di Berlin, sebuah proyek pembangunan rumah ibadah bersama tengah berlangsung. Namanya The House of One. Jika telah berdiri, bangunan ini akan menjadi bangunan satu-satunya di dunia yang menjadi rumah ibadah bagi tiga agama Abrahamik.
Situs resmi proyek ini, house-of-one.org, menyebut bahwa di bangunan unik ini, sinagog, gereja, dan mesjid akan berada di bawah atap yang sama. Tiga ruang ibadah tersebut terletak secara terpisah dalam satu bangunan.
Ketiganya akan terhubung oleh ruang bersama yang dibangun tepat di bagian tengah bangunan ini. Ruang bersama ini berfungsi sebagai tempat pertemuan di mana para pemeluk masing-masing agama dapat saling berdialog dan belajar tentang agama “saudara mereka” satu sama lainnya.
Arsitek Kuehn Malvezzi didaulat untuk merancang bangunan unik ini. Ia memutuskan untuk menggunakan pondasi gereja St. Petri yang telah dihancurkan di masa Perang Dingin silam. Malvezzi juga mengakomodir kebutuhan sinagog dan mesjid yang harus menghadap ke arah timur dari Berlin.
Proyek ini awalnya dicetuskan oleh Pendeta Gregor Hohberg dari Paroki Protestan St. Petri-St. Marein. Ia lantas mengajak Komunitas Yahudi Berlin melalui Rabbi Tovia Ben-Chorin dari Seminari Kerabian Abraham Geiger Kolleg.
Kalangan muslim awalnya tak ada yang tertarik untuk terlibat dalam kerjasama ini. Namun, sebuah komunitas muslim bernama Forum for Intercultural Dialog (FID), yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki, akhirnya menyambut ajakan kerjasama ini. Imam Kadir Sanci, salah seorang pemuka agama Islam menyatakan bahwa tujuan ketiga agama ini tetap sama meski menempuh rute yang belainan.
“Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama,” ujar Kadir Sanci seperti dikutip DW.
Aktivitasnya dalam proyek ini bukan tanpa cercaan. Tanggapan miring justru datang dari kelompok muslim lain yang menudingnya sebagai pengkhianat aqidah Islam. Disebut demikian, Kadir Sanci hanya mengatakan bahwa perdamaian adalah rahmat semua agama.
Celaan juga datang dari salah seorang pemuka agama Katholik Jerman, Martin Mosebach. Ia mengatakan bahwa arsitektur The House of One lebih mirip makam Firaun daripada sebuah bangunan suci.
Para penggagas rumah ibadah bersama ini menaggapi acuh tiap celaan dan kritik yang datang. Mereka justru menggalang kepedulian masyarakat melalui program pendanaan massal atau crowdfounding melalui situs resmi proyek ini. Hal ini dilakukan karena mereka menyadari pentingnya peran publik dalam proyek ini.
Dilaporkan DW, seluruh pendanaan proyek ini dibebankan pada pendanaan massal tersebut. Dari total 43 juta Euro yag dibutuhkan, kini telah terkumpul 1 juta Euro.
Terinspirasi Drama Nathan der Weise
Peletakan batu pertama bangunan ini dilakukan pada 14 April 2020. Tanggal ini sengaja dipilih karena bertepatan dengan pentas perdana drama Nathan der Weise (Nathan Sang Bijak) karya Gotthold Ephraim Lessing tahun 1783.
Lessing yang mengarang drama tersebut tidak pernah menyaksikan karyanya dipentaskan hingga tutup usia di tahun 1781. Karya sastrawan cum filsuf Jerman ini sempat dilarang dipentaskan oleh otoritas gereja di Jerman. 14 April 1783, drama ini pentas perdana di Berlin.
Drama ini mengambil seting di Yerusalem pada masa Perang Salib Ketiga (1189-1192). Ada tiga tokoh utama dalam drama ini: Nathan, seorang pedagang Yahudi; Sultan Saladin (Salahudin Al-Ayubi); dan kesatria dari Ordo Laskar Kenisah (Kesatria Templar).
Inti dari drama ini adalah promosi toletansi antar umat beragama, khususnya agama-agama Abrahamik. Dalam salah satu bagian dikisahkan Sultan Saladin bertanya pada Nathan, agama manakah yang paling benar. Perumpamaaan yang digunakan Nathan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah kisah cincin perumpamaan.
Alkisah ada sebuah cincin ajaib yang dapat membuat pemiliknya mulia di mata Tuhan. Cincin itu dimiliki oleh seorang ayah dengan tiga anak. Sang ayah berjanji akan mewariskan cincin itu pada anak-anaknya.
Karena ia mencintai ketiga anaknya, ia lalu membuat dua cincin tiruan yang sama persis dengan yang asli. Setelah ayahnya meninggal, ketiga anaknya berdebat tentang siapa yang mendapat cincin yang asli.
Perseteruan mereka dilerai oleh seorang hakim yang bijaksana. Ia menasehati ketiganya agar membuktikan kekuatan cincin itu melalui laku hidup diri mereka sendiri. Semua tergantung pada diri mereka untuk menunjukan melalui laku hidup mereka bahwa cincin itu benar-benar memiliki kekuatan untuk membuat pemiliknya mulia di mata Tuhan.