Yang Ribut, Yang Nyinyir, Ternyata Yang Pelit Saja
Kami cek di rekening koran, kami kroscek kepada auditor eksternal, hasilnya TIDAK ADA SATU PUN nama-nama mereka yang ribut itu ikut berdonasi. Kalau memang ada keluarganya yang katanya berdonasi, silakan sebut nama lengkap, nomor rekening, dan tanggal kapan menyumbangnya. Lengkap bisa kami sebutkan dengan jamnya dan berapa nominal sumbangannya. Jika memang ada. Sejauh ini, dana yang terkumpul sebesar Rp 30.880.110.889,54. Rekening korannya ratusan halaman, silakan kalau mau lihat. Datang ke kantor kami.
Oleh : Fahd Pahdepie*
JERNIH– Ada yang merasa berjasa, tapi kacau logika berpikirnya. Katanya, “Kalau kami tidak persoalkan, mungkin penyaluran donasi Palestina yang digalang UAH transparansinya tidak akan jelas.”
Mereka ini ikut menyumbang pun tidak, bertanya langsung tidak pernah, diajak tabayyun tidak mau, tapi langsung menuduh dan membuat framing-framing tertentu di tengah semua proses yang sedang dilakukan. Meminjam istilah Prof. Dr. Muzakkir, SH, MH, ahli hukum pidana dari UII Yogyakarta, di sana ada semacam ‘itikad buruk yang kriminal’.
Dalam kesempatan lain orang-orang yang sibuk menuduh, mem-framing, bahkan hingga menyerang secara personal ini berkilah, “Makanya pihak UAH tinggal buktikan saja transparansinya, laporannya, izinnya. Semestinya kalau itu dilakukan sejak awal, tidak akan ada fitnah.”
Logika ini lebih ngawur lagi. Ada orang yang difitnah, tapi kemudian pihak-pihak yang melakukan tuduhan menuntut yang difitnah itu seolah mengatakan, “Makanya kalau nggak mau difitnah, buktikan dong!” Kurang lebih begitu. Padahal yang salah adalah fitnahnya.
Dalam asas hukum, barang siapa yang mendalilkan, harus bisa membuktikan. Pihak-pihak yang menuduh ada penggelapan, ketidakjujuran, menilap dan seterusnyalah yang harus bisa membuktikan tuduhan mereka itu, bukan sebaliknya. Saya jadi ingat pernyataan ahli hukum pidana yang lain, Chudry Sitompul, SH, MH di salah satu dialog stasiun TV, katanya, “Awalnya tidak jelas subjek siapa yang menuduh. Tapi dengan wawancara ini, sudah ada semacam pengakuan, jadi makin jelas siapa subjeknya.”
Dari serangkaian tuduhan, serangan personal verbal di muka publik, framing ke sana kemari, beberapa wawancara di TV, aneka pemberitaan, rasanya publik bisa menilai siapa yang menuduh serta berargumen dengan logika yang kacau… dan siapa yang jelas serta runtut cara berpikirnya.
Ada yang bilang UAH dan pihaknya baper alias bawa perasaan, tapi di saat yang sama orang itu bikin status 10 menit sekali dengan bahasa yang kasar dibumbui nyinyir, tak jarang menuduh. Sementara kami santai-santai saja. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya baper?
Namun, kami tetap berani membuktikan. Ditanya ke mana saja disalurkan donasinya karena takut disalahgunakan, kami sebutkan lembaga-lembaga terkemuka bahkan institusi negara, dihadiri langsung pula oleh Dubes Palestina: Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), International Networ for Humanitarian (INH), Lazis Muhammadiyah (Lazismu), hingga Baznas RI. Tapi mereka ngeles lagi, “Mana bukti transfer banknya?”
Kami pun menunjukkan bukti transfer banknya. Tapi tetap ngeles lagi dengan pertanyaan-pertanyaan tidak bermutu. “Lho kok cuma dua? Cuma Rp 25 miliar? Mana yang Rp 5 miliar lagi?” Ribut di mana-mana. Padahal jelas kami minta datang langsung untuk melihat, bahkan kami tantang untuk ikut mengaudit, agar jelas semuanya. Karena menurut PP Nomor 16 Tahun 2016, pengumpulan dana masyarakat di atas Rp500 juta perlu dilaporkan denga cara audit. Itulah sebabnya kami melibatkan Kantor Akuntan Publik yang mengaudit, baik mengaudit yayasan maupun program donasinya.
Ternyata belum cukup, masih ngeles lagi, “Mana izinnya? Apakah yang mengumpulkan itu individu atau yayasan?” Sejak awal, diumumkan secara publik melalui video, tulisan, berita, bahwa yang menggalang dana adalah Yayasan Ma’had Islam Rafiah Akhyar (MIRA), dengan rekening resmi Bank Syariah Indonesia (BSI) milik MIRA, UAH berposisi menggerakkan jamaahnya dan publik untuk berdonasi atas dasar rasa empati kemanusiaan serta solidaritas.
Itupun mereka masih ngeles lagi, “Maksudnya, izin penggalangan donasinya apakah ada? Resmi?” Ngotot sekali bertanya di muka publik. Diikuti para pendukungnya yang meramaikan seolah-olah izin itu tidak ada. Kembali saya jawab dan tegaskan, izin itu ada, sesuai sebagaimana yang diatur dalam UU No 9 Tahun 1961 dan PP Nomor 29 Tahun 1980. “Mana tunjukkan dong izinnya!” Sekali lagi, silakan datang kepada kami untuk ditunjukkan. Karena tidak semua dokumen resmi organisasi bisa diunggah secara publik, bukan? Sebenarnya slip transaksi bank pun tidak disarankan diunggah secara publik.
Tapi memang rupanya tujuan utamanya memang bukan untuk bertabayyun atau mengklarifikasi. Bahkan setelah semua dijelaskan pun, tetap saja ngeles dan sekuat tenaga mencari-cari kesalahan. Misalnya, “Tanggal transfernya kok beda? Nggak hari itu juga” Padahal semua ada prosedurnya. Apalagi dana miliaran rupiah.
Saat diingatkan pakar hukum bahwa yang berhak bertanya sebenarnya adalah pihak yang ikut berdonasi, karena itulah legalitas moralnya, mereka masih berkilah. Apakah mereka ikut menyumbang? Mereka menjawab, “Kami takut riya kalau mengumumkan menyumbang, tapi setidaknya ada keluarga kami yang gelisah dan bertanya-tanya.”
Kami cek di rekening koran, kami kroscek kepada auditor eksternal, hasilnya TIDAK ADA SATU PUN nama-nama mereka yang ribut itu ikut berdonasi. Kalau memang ada keluarganya yang katanya berdonasi, silakan sebut nama lengkap, nomor rekening, dan tanggal kapan menyumbangnya. Lengkap bisa kami sebutkan dengan jamnya dan berapa nominal sumbangannya. Jika memang ada. Sejauh ini, dana yang terkumpul sebesar Rp 30.880.110.889,54. Rekening korannya ratusan halaman, silakan kalau mau lihat. Datang ke kantor kami.
Dengan semua itu, mudah-mudahan publik pun sadar bahwa yang dilakukan UAH benar dan semua langkah yang ditempuh sesuai prosedur yang berlaku. Mengapa diumumkan secara terbuka kepada publik? Tentu itu bukan sombong atau sok heroik seperti yang dituduhkan, justru itulah niat tulus transparansi. Bahkan karena UAH ini dianggap tepercaya dan amanah, PAN menyerahkan donasinya untuk Palestina melalui UAH sebesar Rp 3,7 miliar. Ini sebuah pernyataan publik yang besar maknanya. Dana ini nantinya akan diperuntukkan untuk anak-anak yatim di Gaza, tentu kami akan menggandeng lembaga kredibel lain untuk realisasinya, mungkin bisa Kemenlu, Lazis NU, atau lembaga kredibel lainnya.
Tapi, ya, memang wataknya ingin mencari keributan dan kekisruhan saja, bahkan rasa percaya sebuah partai yang penyerahannya dilakukan langsung oleh wakil ketua MPR, pimpinan DPR, dan lainnya itu pun (videonya bisa ditonton di channel Adi Hidayat Official) tetap dinyinyiri dan dikomentari buruk oleh mereka. “Oh jadi politis? Jadi UAH petugas partai? Jadi semua ini untuk kepentingan politik?” Memang tak ada habisnya orang-orang ini. Selalu tidak puas. Selalu ingin mencari kesalahan. Selalu ingin memecah-belah dan memprovokasi publik.
Yang paling membuat kita miris dari semua ini adalah mereka punya pengikut yang militan, yang bahkan karena terus termakan provokasi pembelahan seringkali membenturkan negara dengan Islam. UAH, karena dianggap figur publik Islam dengan jamaah yang besar, sering diframing berlawanan dengan negara, digolongkan kelompok kanan, dituduh takut dana donasi yang dikumpulkannya dipakai untuk membiayai teroris, dan seterusnya. Ini bahaya sekali. Upaya membenturkan negara dan Islam harus segera dihentikan!
Itulah sebabnya kami terus berkoordinasi dengan negara soal polemik ini. Kami meminta saran teman-teman di Kemenlu mengenai situasi di Palestina, kami menyalurkan donasi ke Baznas RI yang merupakan institusi negara—lembaga ini bahkan langsung bertanggung jawab kepada presiden. Penyalurannya pun kepada lembaga terpercaya seperti MUI dan Muhammadiyah. Semua prosedur dikerjakan sebaik mungkin, laporan dibuat sesuai aturan dan setransparan mungkin. Bahkan ketika mungkin ada kerugian hukum yang kami terima pun, kami berkomunikasi dengan pihak Polri, melibatkan kantor hukum kredibel, karena itulah prosedurnya yang harus dilalui. Itulah normanya. Kami ingin menunjukkan bahwa kami warga negara yang taat hukum.
Demikianlah, penuduh akan tetap menjadi penuduh. Yang tidak suka akan terus mencari-cari kesalahan. Karena memang barangkali itulah tujuannya awalnya, bukan itikad baik untuk bertanya. Dalih mereka, UAH mendahulukan bantuan ke luar negeri saja padahal di Indonesia pun masih banyak yang membutuhkan?
Mungkin Anda belum tahu. Ada ratusan pelajar Indonesia yang diberi beasiswa oleh UAH hingga ke luar negeri, 15.000 lebih keluarga penghafal Quran dibina UAH, lembaganya memberdayakan komunitas yang mengentaskan kemiskinan, dan seterusnya. Bahkan kemarin, pagi-pagi UAH berangkat ke Pandeglang khusus untuk bedah rumah seorang Nenek yang diberitakan menghuni gubuk tak layak—padahal lokasinya berdekatan dengan rumah keluarga besar Bupati.
Sudahlah. Kalau Anda tidak suka orang lain berbuat baik, minimal diam, jangan menuduh apalagi memfitnah. Kalau tak bisa berdonasi, jangan persoalkan orang berdonasi kemanusiaan apalagi menghalang-halanginya. Kalau terlanjur menuduh, tinggal minta maaf. Kalau diminta klarifikasi tak mau, diminta datang tak pernah datang, tapi di publik membangun persepsi merasa benar sendiri, mungkin memang diperlukan medium lain untuk memecahkan permasalahan ini.
Di sana akan jelas. Siapa yang mendalilkan, harus membuktikan. Tabik! [ ]
*Juru Bicara UAH dan Tim; judul telah mengalami pengubahan