Tetapi kerja sama yang erat ini juga dimungkinkan karena Lukashenko dan Putin, meskipun mereka terkenal tidak menyukai satu sama lain, memiliki cara pandang yang sama untuk melihat dunia. Keduanya percaya bahwa kelangsungan hidup pribadi mereka lebih penting daripada kesejahteraan rakyat mereka. Keduanya percaya bahwa perubahan rezim akan mengakibatkan kematian, pemenjaraan, atau pengasingan mereka
Oleh : Anne Applebaum*
JERNIH–Masa depan demokrasi (Belarusia) mungkin akan diputuskan di gedung perkantoran yang menjemukan di pinggiran Vilnius, di sepanjang jalan raya yang penuh dengan pengemudi yang tidak sabar untuk berangkat ke luar kota.
Saya bertemu Sviatlana Tsikhanouskaya di sana musim semi ini, di sebuah ruangan yang hanya diisi meja rapat, papan tulis, dan tidak banyak lagi perabot lain. Timnya—lebih dari selusin jurnalis muda, blogger, vlogger, dan aktivis—sedang dalam proses pindah kantor. Tapi itu bukan satu-satunya alasan ruangan itu terasa basi dan ala kadarnya.
Tak satu pun dari mereka, terutama Tsikhanouskaya, yang benar-benar ingin berada di gedung jelek ini, atau bahkan di ibu kota Lituania itu sama sekali. Dia ada di sana karena dia mungkin saja memenangkan pemilihan presiden 2020 di Belarus, dan karena diktator Belarusia yang mungkin dia kalahkan, Alexander Lukashenko, memaksanya keluar dari negara itu segera sesudah pemilihan. Lituania menawarkan suaka padanya. Suaminya, Siarhei Tsikhanouski, masih mendekam di penjara Belarus.
Inilah hal pertama yang dia katakan kepada saya: “Cerita saya sedikit berbeda dari orang lain.” Kalimat itu dia katakan kepada semua orang—bahwa hidupnya bukanlah kehidupan khas seorang pembangkang atau politisi pemula. Sebelum musim semi 2020, dia tidak punya banyak waktu untuk nongkrong di depan televisi atau membaca surat kabar. Dia memiliki dua anak, salah satunya terlahir tuli. Pada hari biasa, dia akan membawa mereka ke taman kanak-kanak, ke dokter, atau ke taman.
Kemudian suaminya membeli sebuah rumah dan menabrak tembok beton birokrasi dan korupsi Belarusia. Karena jengkel, dia mulai membuat video tentang pengalamannya, dan pengalaman orang-orang lain. Video-video ini didistribusikan di YouTube dan menarik ribuan pengikut. Dia berkeliling negeri, merekam frustrasi sesama warga, mengendarai mobil dengan kalimat “Real News” terpampang di kiri-kanan body-nya. Siarhei Tsikhanouski mengangkat cermin ke masyarakatnya. Orang-orang melihat diri mereka di cermin itu dan menanggapi dengan antusiasme yang sulit diciptakan oleh siapa pun politisi oposisi di Belarus.
“Awalnya sangat sulit karena orang-orang pada takut,” kata Sviatlana Tsikhanouskaya kepada saya. “Tapi selangkah demi selangkah, perlahan, mereka menyadari bahwa Siarhei tidak takut.”
Siarhei tidak takut untuk mengatakan kebenaran saat dia melihat ketidakbenaran itu. Lalu ketidaktakutannya menginspirasi orang lain. Dia memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Rezim, yang mengakui kekuatan cermin Siarhei, tidak mengizinkannya mendaftarkan pencalonannya, seperti juga tidak mengizinkannya mendaftarkan kepemilikan rumahnya. Mereka bahkan mengakhiri kampanyenya dan menjebloskannya ke penjara.
Tsikhanouskaya tetap kukuh di jalannya, tanpa motif selain “untuk menunjukkan cintaku padanya.” Polisi dan birokrat membiarkannya. Karena bahaya apa yang bisa dilakukan ibu rumah tangga sederhana, wanita tanpa pengalaman politik ini?
Maka, pada Juli 2020, dia mendaftar sebagai kandidat presiden. Tidak seperti suaminya, dia takut. Dia bangun dengan “sangat ketakutan” setiap pagi, katanya kepada saya, dan terkadang ketakutan itu tetap menemaninya sepanjang hari. Tapi dia terus berjalan. Yang, meskipun dia tidak mengatakannya, dia sangat berani. “Anda juga bisa merasakan tanggung jawab ini. Anda bangun dengan rasa sakit ini untuk orang-orang yang berada di penjara, Anda pergi tidur dengan perasaan yang sama,”
Tanpa diduga, Tsikhanouskaya sukses—tidak terlepas dari pengalamannya, tetapi justru karena itu. Kampanyenya menjadi kampanye tentang orang-orang biasa yang menentang rezim. Dua politisi oposisi terkemuka lain mendukungnya setelah kampanye mereka sendiri diblokir. Ketika istri salah satu dari mereka dan manajer kampanye perempuan yang lain difoto bersama Tsikhanouskaya, kampanyenya menjadi sesuatu yang lebih: kampanye tentang perempuan biasa—perempuan yang terabaikan dalam politik Belarusia, wanita yang tidak bisa bersuara, bahkan hanya wanita yang mencintai suaminya.
Sebagai imbalannya, rezim menargetkan ketiga wanita ini. Tsikhanouskaya menerima ancaman anonim: anak-anaknya akan “dikirim ke panti asuhan.” Dia mengirim mereka bersama ibunya ke luar negeri, ke Vilnius, sementara dia sendiri tetap kukuh berada di Belarusia dan terus berkampanye.
Pada 9 Agustus, pejabat pemilihan mengumumkan bahwa Lukashenko telah memenangkan 80 persen suara, angka yang tidak dipercaya siapa pun. Internet terputus, dan Tsikhanouskaya ditahan polisi, untuk kemudian dipaksa keluar dari negara itu. Demonstrasi massal berlangsung di seluruh Belarusia. Ini adalah ledakan perasaan yang spontan—tanggapan populer terhadap pemilu yang dicurangi—dan proyek yang dikoordinasikan dengan hati-hati oleh orang-orang muda, beberapa berbasis di Warsawa, yang telah bereksperimen dengan media sosial dan bentuk komunikasi baru selama beberapa tahun.
Untuk sesaat, tampaknya perlawanan demokratis ini akan menang. Warga Belarusia berbagi rasa persatuan nasional yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Rezim memang segera menyerang balik, dengan brutal dan sadis. Namun suasana protes umumnya bahagia, optimistis; orang-orang benar-benar menari di jalanan.
Di negara berpenduduk kurang dari 10 juta, hingga 1,5 juta orang akan keluar dalam satu hari, di antaranya para pensiunan, penduduk desa, pekerja pabrik, dan bahkan, di beberapa tempat, anggota polisi dan dinas keamanan, yang beberapa di antaranya melepas lencana dari seragam mereka atau membuangnya ke tempat sampah.
Tsikhanouskaya mengatakan dia dan banyak orang lain secara naif percaya bahwa di bawah tekanan ini, diktator akan menyerah. “Kami pikir dia akan mengerti bahwa kami menentangnya,” katanya kepada saya. “Bahwa orang-orang tidak ingin hidup di bawah kediktatorannya, bahwa dia kalah dalam pemilihan.” Mereka tidak punya rencana lain.
Pada awalnya, Lukashenko sepertinya juga tidak punya rencana. Tapi tetangganya yang akrab, Rusia, melakukannya. Pada 18 Agustus, sebuah pesawat milik FSB, dinas mata-mata Rusia, terbang dari Moskow ke Minsk. Tak lama setelah itu, taktik Lukashenko mengalami perubahan dramatis. Stephen Biegun, yang merupakan wakil menteri luar negeri AS pada saat itu, menggambarkan perubahan itu sebagai pergeseran ke “cara yang lebih canggih dan lebih terkontrol untuk menekan penduduk.”
Belarus menjadi contoh textbook tentang apa yang disebut jurnalis William J. Dobson sebagai “kurva pembelajaran diktator”: Teknik yang telah berhasil digunakan di masa lalu untuk menekan massa di Rusia dengan mulus ditransfer ke Belarus, bersama dengan personel yang memahami cara menyebarkan mereka. Wartawan televisi Rusia tiba untuk menggantikan wartawan Belarusia yang mogok, dan segera meningkatkan kampanye untuk menggambarkan demonstrasi sebagai pekerjaan orang Amerika dan “musuh” asing lainnya.
Polisi Rusia tampaknya telah melengkapi rekan-rekan Belarusia mereka, atau setidaknya memberi mereka nasihat, dan penangkapan-penangkapan pun dimulai. Seperti yang diketahui Vladimir Putin sejak lama, penangkapan massal tidak diperlukan jika Anda dapat memenjarakan, menyiksa, atau mungkin membunuh hanya beberapa orang penting. Sisanya akan takut dan memilih mendekam di rumah. Akhirnya mereka akan menjadi apatis, karena mereka percaya tidak ada yang bisa berubah.
Paket penyelamatan Lukashenko, yang mengingatkan pada apa yang telah dirancang Putin untuk Bashar al-Assad di Suriah enam tahun sebelumnya, juga mengandung unsur-unsur ekonomi. Perusahaan Rusia menawarkan pasar untuk produk Belarusia yang telah dilarang oleh Barat yang demokratis—misalnya, menyelundupkan rokok Belarusia ke Uni Eropa. Beberapa di antaranya dimungkinkan karena kedua negara berbahasa sama. (Meskipun kira-kira sepertiga hingga setengah dari warga negara itu berbicara bahasa Belarusia, sebagian besar bisnis publik di Belarus dilakukan dalam bahasa Rusia.)
Tetapi kerja sama yang erat ini juga dimungkinkan karena Lukashenko dan Putin, meskipun mereka terkenal tidak menyukai satu sama lain, memiliki cara pandang yang sama untuk melihat dunia. Keduanya percaya bahwa kelangsungan hidup pribadi mereka lebih penting daripada kesejahteraan rakyat mereka. Keduanya percaya bahwa perubahan rezim akan mengakibatkan kematian, pemenjaraan, atau pengasingan mereka.
Keduanya juga belajar pelajaran dari Musim Semi Arab, serta dari memori yang lebih jauh dari tahun 1989, ketika kediktatoran Komunis jatuh seperti kartu domino: Revolusi Demokrasi itu menular. Jika Anda dapat membasminya di satu negara, Anda mungkin mencegahnya memulai di negara lain. Demonstrasi anti-korupsi, prodemokrasi tahun 2014 di Ukraina, yang mengakibatkan penggulingan pemerintahan Presiden Viktor Yanukovych, memperkuat ketakutan akan penularan demokrasi ini. Putin sangat marah dengan protes itu, paling tidak karena preseden yang mereka buat. Lagi pula, jika orang Ukraina dapat menyingkirkan diktator korup mereka, mengapa orang Rusia tidak ingin melakukan hal yang sama?
Lukashenko dengan senang hati menerima bantuan Rusia, berbalik melawan rakyatnya, dan mengubah dirinya dari kakek patriarki yang otokratis—semacam bos pertanian kolektif nasional—menjadi seorang tiran yang menikmati kekejaman. Diyakinkan oleh dukungan Putin, dia mulai membuat terobosan baru. Bukan hanya penangkapan selektif, tetapi juga penyiksaan. Setahun kemudian aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa lebih dari 800 tahanan politik telah berada di penjara. Bukan hanya penyiksaan tapi pemerkosaan. Bukan hanya penyiksaan dan pemerkosaan, tetapi juga penculikan dan, sangat mungkin, pembunuhan.
Penentangan Lukashenko yang mencibir terhadap aturan hukum—ia mengeluarkan penyangkalan yang keras tentang keberadaan represi politik di negaranya—dan segala sesuatu yang menyerupai kesopanan menyebar di luar perbatasannya. Pada Mei 2021, kontrol lalu lintas udara Belarusia memaksa sebuah pesawat penumpang Ryanair milik Irlandia untuk mendarat di Minsk sehingga salah satu penumpangnya, Roman Protasevich, seorang pembangkang muda yang tinggal di pengasingan, dapat ditangkap; dia kemudian membuat pengakuan publik di televisi yang tampaknya dipaksakan.
Pada bulan Agustus, pembangkang muda lain yang tinggal di pengasingan, Vitaly Shishov, ditemukan digantung di taman Kyiv. Pada waktu yang hampir bersamaan, rezim Lukashenko mulai mengacaukan tetangga Uni Eropa-nya dengan memaksa arus pengungsi melintasi perbatasan mereka: Belarusia memikat pengungsi Afghanistan dan Irak ke Minsk dengan tawaran visa turis, kemudian mengantar mereka ke perbatasan Lituania, Latvia, dan Polandia dan memaksa mereka dengan todongan senjata untuk menyeberang, secara ilegal.
Lukashenko mulai bertindak, dengan kata lain, seolah-olah dia tidak tersentuh, baik di dalam maupun di luar negeri. Dia mulai melanggar tidak hanya hukum dan kebiasaan negaranya sendiri, tetapi juga hukum dan kebiasaan negara lain, dan masyarakat internasional—hukum tentang kontrol lalu lintas udara, pembunuhan, perbatasan.
Orang buangan mengalir ke luar negeri; Tim Tsikhanouskaya bergegas memesan kamar hotel atau Airbnb di Vilnius, untuk menemukan sarana dukungan, untuk mempelajari bahasa baru. Tsikhanouskaya sendiri harus melakukan transisi lain yang bahkan lebih sulit—dari calon pilihan rakyat menjadi diplomat yang canggih.
Kali ini pengalamannya awalnya bekerja melawannya. Pada awalnya, dia berpikir bahwa jika dia bisa berbicara dengan Angela Merkel atau Emmanuel Macron, salah satu dari mereka dapat menyelesaikan masalah. “Saya yakin mereka sangat kuat sehingga mereka dapat memanggil Lukashenko dan berkata, ‘Berhenti! Beraninya kamu?’ ” katanya padaku. Tapi ternyata mereka tidak bisa, atau mungkin tak mau.
Jadi dia mencoba berbicara seperti yang dilakukan para pemimpin asing, berbicara dalam bahasa politik yang canggih. Itu juga tidak berhasil. Pengalaman itu menurunkan moralnya: “Kadang-kadang sangat sulit untuk berbicara tentang sesama warga seperti Anda, tentang penderitaan mereka, dan melihat kekosongan di mata orang-orang yang Anda ajak bicara.”
Dia mulai menggunakan bahasa Inggris sederhana yang dia pelajari di sekolah, untuk menyampaikan hal-hal yang sederhana. “Saya mulai menceritakan kisah-kisah yang menyentuh hati mereka. Saya mencoba membuat mereka merasakan sedikit rasa sakit yang dirasakan warga Belarusia.” Sekarang dia memberi tahu siapa pun yang mau mendengarkan persis apa yang dia katakan kepada saya: Saya adalah orang biasa, ibu rumah tangga, ibu dari dua anak, dan saya berpolitik karena orang biasa lainnya dipukuli dan ditelanjangi di sel penjara. Apa yang dia inginkan adalah sanksi, persatuan demokratis, tekanan pada rezim—apa pun yang akan meningkatkan biaya bagi Lukashenko untuk tetap berkuasa, dan bagi Rusia untuk membuatnya tetap berkuasa. Apa pun yang dapat mendorong elit bisnis dan keamanan di Belarus untuk meninggalkannya. Apa pun yang dapat membujuk Cina dan Iran untuk tidak ikut campur.
Yang mengejutkannya, Tsikhanouskaya menjadi, untuk kedua kalinya, sukses besar. Dia memesona Merkel dan Macron, dan para diplomat dari berbagai negara. Pada bulan Juli, dia bertemu dengan Presiden Joe Biden, yang kemudian memperluas sanksi Amerika terhadap Belarus untuk memasukkan perusahaan besar di beberapa industri (tembakau, kalium, konstruksi) dan eksekutif mereka.
Uni Eropa telah melarang berbagai orang, perusahaan, dan teknologi dari Belarus. Setelah penculikan Ryanair, UE dan Inggris juga melarang maskapai nasional Belarusia.
Apa yang dulunya merupakan perdagangan yang booming antara Belarus dan Eropa telah berkurang menjadi tetesan. Tsikhanouskaya menginspirasi orang untuk membuat pengorbanan mereka sendiri. Menteri luar negeri Lituania, Gabrielius Landsbergis, mengatakan kepada saya bahwa negaranya bangga menjadi tuan rumah baginya, bahkan jika itu berarti masalah di perbatasan. “Jika kita tidak bebas mengundang orang bebas lain ke negara kita karena entah bagaimana tidak aman, maka pertanyaannya adalah, bisakah kita menganggap diri kita bebas?” [Bersambung –The Atlantic]
*Anne Applebaum adalah penulis di The Atlantic, seorang rekan di SNF Agora Institute di Universitas Johns Hopkins, dan penulis “Twilight of Democracy: The Seductive Lure of Authoritarianism”. Tulisan ini awalnya berjudul “The Bad Guys Are Winning”