Keganjilan Dalam Rencana Pindah Ibu Kota
Hanya saja, jika pemerintah mau menerima dana tersebut, ada persyaratan berupa negara harus menghadirkan 5 juta orang penduduk di kawasan tersebut. Dan sudah tentu, membutuhkan rumah, sekolah, perkantoran dan lain sebagainya. Sementara investorlah yang menentukan dan membangun segala infrastruktur itu.
JERNIH-Publik masih bertanya-tanya, kenapa begitu cepat dan tergesa-gesa ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Kalau dihitung-hitung, tak sampai tiga tahun sejak pertama kali Presiden Jokowi menyatakan rencananya memindahkan ibu kota pada 26 Agustus 2019 lalu, Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara Baru (RUU IKN) langsung disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI.
Masih kalau dihitung-hitung pula, jika dibanding dengan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang pertama kali digulirkan pada 2016, hingga kini masih mangkrak di DPR RI. Penuntasannya, cuma dijanji-janjikan saja. Padahal, usia pembahasannya lebih tua tiga tahun ketimbang RUU IKN lho.
Apalagi, jika dilihat dari segi urgensinya, RUU TPKS terbilang sangat darurat sebab kejahatan seksual menurut data Komnas Perempuan dan Anak, hingga tahun 2021 sudah memakan korban sebanyak 400 ribu lebih.
Faisal Basri ekonom senior, mencium aroma tak sedap dalam pembangunan ibu kota baru tersebut. Dia bilang, ada sejumlah keganjilan dalam rencana tersebut. Pertama, terkait pembangunan pabrik semen baru di Kalimantan Timur. Soal ini, termasuk tiba-tiba. Padahal, industri semen nasional dalam posisi kelebihan pasokan.
Menurutnya, sudah seharusnya pembangunan ibu kota baru menyerap semen-semen dari pabrik yang ada. Sebab produksinya hanya terpakai 60 persen saja.
“Kenapa diizinkan pabrik semen baru Hongshi Group itu, dari China lagi,” katanya dalam acara bertajuk ‘Adu Perspektif’ detikcom, Rabu (26/1).
Keganjilan berikutnya, dari informasi yang Faisal punya, pengadaan air di ibu kota baru dilakukan oleh perusahaan milik Hasjim Djojohadikusumo, adik dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sementara pengadaan logistik pembangunan, masuk melalui pelabuhan yang dimiliki kongsi Sukanto Tanoto dan Hasjim juga.
Berikutnya, pembangunan ibu kota baru itu dikaitkan Faisal dengan rencana pengembangan di Kalimantan Utara yang akan disulap menjadi kota hijau dan mayoritas ongkosnya dibiayai dari investor Cina. Sementara sebagian lahan, dikuasai perusahaan milik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Jika dilihat luas areal, Faisal bilang awalnya ibu kota baru akan menggunakan lahan selebar 100 hektar lebih. Namun kemudian berkembang menjadi sekitar 250 ribu hektar. Dengan perluasan jangkauan wilayah itu, tanah milik Luhut akhirnya masuk ke dalam ring dua kawasan ibu kota.
Selanjutnya terkait anggaran pembiayaan. Awalnya, Presiden Jokowi dengan penuh percaya diri mengatakan kalau pembangunan tak akan menyentuh sepeser pun uang dari APBN. Namun belakangan, hal yang disampaikan Menteri Keuangan berbanding terbalik dengan rencana memasukkannya ke dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.
“Itu gara-gara pengambilan keputusannya dilandasi oleh pembisik. Jadi pembisik yang dibawa ke istana oleh siapa, saya nggak tahu, investor bilang ke Pak Jokowi bahwa saya siap dana US$ 100 miliar,” katanya.
Faisal bilang, dana senilai 100 miliar dolar AS kemungkinan cukup untuk pembangunan ibu kota baru. Pernyataannya itu, berdasar informasi yang dia terima dari seorang wakil menteri.
“Ini seorang Wakil Menteri yang cerita ke saya, saya bukan mengada-ada,” katanya.
Hanya saja, jika pemerintah mau menerima dana tersebut, ada persyaratan berupa negara harus menghadirkan 5 juta orang penduduk di kawasan tersebut. Dan sudah tentu, membutuhkan rumah, sekolah, perkantoran dan lain sebagainya. Sementara investorlah yang menentukan dan membangun segala infrastruktur itu.
“Akhrinya Pak Jokowi sadar, ‘Oh iya ya nggak boleh begini dong’. Makanya muncullah dana dari APBN itu,” kata Faisal.[]