Kompleks Percandian Batujaya, Jejak Tertua Kerajaan Tarnumanagara
Teriknya matahari diatas Karawang membuat udara semakin gerah. Sejauh pandang areal pesawahan tampak luas membentang. Gerumbulan pepohonan yang menaungi pemukiman penduduk terlihat merambati garis horizon di kaki langit. Pepohonan itu, diantaranya tumbuh diatas unur-unur yang dibawahnya tersimpan jejak peradaban Sunda. Tepat di kordinat 107o09’14” BT 06o 02’21” LS berdiri dengan anggun Candi Blandongan. Sosoknya yang terkubur berabad-abad silam terlihat menawan di areal pesawahan bagaikan teratai merah yang berpayung langit. Candi yang berukuran 10 m x 10 m, dan tinggi 2,44 m menyampaikan pesan kemegahan masa lalu ketika agama budha berkembang pesat di pesisisr Karawang di abad 6 M sampai 9 M.
Candi Blandongan tidak sendiri, namun bersama puluhan unur lainnya yang perlahan-lahan dikupas tanahnya oleh para arkeolog sehingga tampak jejak strukturnya. Dari hasil penelitian dan penggalian yang dilakukan berkelanjutan, telah didapatkan rangkaian informasi yang menjangkapi kronik sejarah di tatar sunda. Di tatar Sunda, masih jarang ditemukan bukti primer berupa bangunan berdiri seperti candi. Oleh karena itu kompleks Percandian Batujaya adalah monumen penting yang mengungkap Kerajaan Tarumanagara dan Sunda.
Untuk memahami Candi Blandongan yang merupakan candi terbesar di kompleks Percandian Batujaya, hasil penelitian Hasan Djafar dalam buku Kompleks Percandian Batujaya patut menjadi rujukan. Dalam kajiannya, Hasan Djafar menuliskan bahwa Candi Blandongan secara arsitektur merupakan candi yang terlengkap. Satu-satunya candi yang mempunya empat tangga naik atau pintu masuk. Demikian pula dari temuan artefak-artefak yang bersifat idiofak, yaitu artefak yang berfungsi didalam komponen ideologi dari sistem sosial. walau sangat terbatas namun cukup memberikan gambaran rekontruksi latar keagamaannya.
Candi Blandongan dibangun dalam dua tahap . Hal itu terlihat dari adanya perubahan dan penebalan di sudut-sudut kaki candi dan di hiasan pilar semu (pilaster). Sehingga diperoleh bukti adanya peninggian halaman candi dengan cara pengurugan. Kemudian permukaan halamannya diperkeras dengan beton stucco untuk melapisi bagian bata di bawahnya. Beton stucco merupakan campuran stucco dan batu kerikil dan berkadar kalsium oksida tinggi (85%).
Sedangkan setucco berkadar kalsium oksida rendah digunakan untuk lepa dinding bangunan candi. Bahan dasar stucco adalah kapur yang telah dibakar pada suhu 900-1000oC dan disebut kapur tohor. Peroses perubahan pada Candi Blandongan tersebut tahap kedua dikarenakan tahap pertama bangunan candi mengalami pelapukan dan kerusakan.
Dari hasil penelitian, badan candi ini dikelilingi oleh selasar yang lebar dengan pagar langkan sebagai penghubungnya. Di ke empat sisinya terdapat relung seperti altar berukuran 4,50 x1,40 m dengan tinggi 2 m. Dasar candi rata dan tidak utuh sehingga tidak ada tanda-tanda kedudukan arca Buddha. Kemungkinan tanda tersebut sudah terangkat ketika pengerukan dari timbunan reruntuhan bata diatasnya.
Pada tradisi Buddhis, seperti di Nepal, biasanya di relung-relung tersebut disimpan empat arca Dhyani Buddha, yaitu Aksobhya, Ratnasambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi. Maka, diduga kuat di empat sisi bawah Candi Blandongan yang berbentuk bujur sangkar, terdapat relung yang sebelumnya diisi oleh Dhyani Budhha.
Hal menarik lainnya dari Candi Blandongan ini adalah satu-satunya candi yang dipastikan menyisakan atap bangunan berbentuk stupa. Sisa bagian puncak bangunan tersebut berupa bulatan kubah stupa yang tertumpuk di lantai lorong selasar. Bulatan kubah tersebut garis tengah lingkaran alasnya sekitar 6 m dan terbuat dari beton stucco dengan tebal 20 cm yang melapisi bata di bagian dalam kubah.
Candi Blandongan juga memiliki cungkup dengan penyangga tihang kayu. Demikian pula pada ke empat pintu masuk di sisi bangunan candi diberi bingkai kayu. Jejak bingkai tersebut berupa rongga masih terlihat. Demikian pula di pagar langkan terdapat jendela-jendela yang menggunakan bingkai kayu.
Ekskavasi tahun 2002 oleh Asdep Arkeologi Nasional dan EFEO menemukan sebaran lapisan arang di bawah reruntuhan bata sekeliling candi. Menurut penelitian P.Y. Manguin dan Budi Utomo, diduga kuat candi ini pernah mengalami kebakaran yang menyebabkan kerusakan dan dibangun kembali. Dari hasil analisa pertangalan berdasarkan carbon dating (C14) dari sisa arang kulit padi pada bata Candi Blandongan tersebut didapat angka tahun 710 sampai 980 M. Kisaran tahun tersebut merupakan fase kedua dari pembangunan Candi Blandongan ketika pengaruh Nalanda mulai masuk.
Arsitektur Candi Blandongan juga dihiasi dengan pilar semu berbentuk bejana yang disebut kumbha-stambha (berkembang pada zaman Maurya di abad 3 SM). Temuan artefak yang penting lainnya adalah pecahan kepala arca batu dari bahan batu dan fragmen arca perunggu bagian kaki sebanyak 3 buah berukuran telapak 3,7 cm sampai 4,6 cm. Kemudian ditemukan pula terakota (votive tablet) yang dibakar dan hampir utuh sebanyak 10 buah dan 50 buah berupa pecahan. Rata-rata materai terakota ini berukuran tinggi 6 cm x lebar 4 cm dengan tebal 0,5 cm. Relief terakota tersebut menggambarkan figur-figur Budha dalam berbagai sikap duduk dan berdiri.
Votive tablet dibuat secara masal dalam cetakan logam, dan temuan votive tablet yang dibakar di Batujaya ini tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Karena secara umum votive tablet yang ditemukan tidak dibakar. Pada relief terakotanya menurut P.E.J Perdinandus merupakan penggambaran “Keajaiban Sravasti”, yang terdapat dalam agama buddha Hinayana.
Temuan mengesankan di Candi Blandongan adalah ditemukannya 2 prasasti lempengan emas yang beraksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Masing-masing berukuran 12 cm x 1,2 cm dan 5 x 2,5 cm, ditemukan tahun 2002 dan 2004. Isinya tentang ayat-ayat suci agama budha. Prasasti emas juga ditemukan di Situs Segaran II-A (Unur Lempeng) namun belum bisa dibaca. Aksara dan bahasa prasasti emas di Candi Blandongan ditemukan persamaannya dengan koleksi Musium Nasional.
Di Musium Nasional terdapat 11 prasasti lempengan emas (inv.786,a-k) yang asal temuannya diduga dari percandian Batujaya. Tiga diantaranya termuat ayat-ayat Buddhis yang isinya memiliki kesamaan dengan Lempengan emas Candi Blandongan. Demikian pula dari palaeografisnya memiliki kesamaan bentuk aksara. J.G.De Casparis mengemukakan bahwa prasasti emas di Musium Nasional berasal dari masa Tarumanagara dan ditulis antara 650 M dan 800 M. Sedangkan prasasti emas dari Candi Blandongan diperkirakan tahun 680-980 M.
Temuan lainnya di Candi Blandongan berikutnya adalah pecahan gerabah sebanyak 5773 keping dan dari 784 keping yang dijadikan sampel berhasi dianalisa 23 bentuk gerabah yang terdiri dari periuk, kendi, pasu, piring, mangkuk dan tempayan (Indradjaja 2005a). Secara umum gerabah Batujaya berasal dari masa sebelum masehi atau masa perundagian karena ditemukan di kedalaman 1.50 m yang merupakan lapisan dari masa sebelum Masehi.
Hal tersebut memberi gambaran bahwa Kompleks Percandian Batujaya berdiri di atas tanah yang mengandung kebudayaan nirleka. Sedangkan temuan gerabah dari masa klasik umumnya sedikit karena pada masa berikutnya kompleks percandian Batujaya bukanlah pemukiman, namun kompleks religi.
Kemudian ditemukan pula alat batu berupa kapak neolitik, 10 buah pipisan , perhiasan berupa manik-manik batu kalsedon. gelas kaca, dan tulang manusia. Di Situs Segaran II ditmukan kerangka manusia dalam kubur primer dari masa akhir prasejarah, Kerangka tersebut ditemukan bersama bekal kubur berupa periuk, kendi dan mangkuk, parang, pisau, perhiasan manik-manik batu dan gelang emas. Dari analisa fragmen kranial oleh Harri Widianto, kerangka tersebut digolongkan kepada manusia mongoloid yang berasal dari abad 3 M.
Dari gambaran keseluruhan maka Situs-situs batujaya mewakili masa perundagian dari 1000 SM sampai 500 M, dilanjutkan pada masa peralihan ke masa elasik berlangsung 60-540 Masehi (sampel arang di C Blandongan), dilanjut ke masa Hindu-Buddha dari 450 M sampai 980 M. (Pd)