Hak Khusus untuk Figur Istimewa, dalam Kasus Hunter Biden dan di Indonesia
“Jika Anda adalah putra presiden, Anda mendapatkan kesepakatan yang manis,”kata Ketua DPR AS, Kevin McCarthy, menyindir. Ia ucapkan di Washington, AS, namun gemanya kita dengar mendunia, terutama di telinga warga negara-negara dunia ketiga.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Tiada orang penting dan keluarganya di negara mana pun tanpa “privilege”. Bahkan di negara yang mendaku diri paling demokratis seperti Amerika Serikat sekali pun. Bedanya, mereka (terlihat) selalu berusaha untuk meminimalkan perlakuan tersebut dilakukan secara telanjang di depan hidung publik.
Datang dari bahasa Latin, privilegium, yang artinya hukum hanya untuk satu orang, pengertian umum privilege adalah keuntungan atau kesempatan khusus untuk melakukan sesuatu, yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Kamus Merriam Webster mengartikan privilege sebagai hak istimewa yang diberikan sebagai suatu manfaat, keuntungan, atau bantuan khusus, selain juga didefinisikan sebagai kekebalan yang melekat secara spesial pada suatu posisi atau jabatan.
Cambridge Dictionary mengartikan privilege dalam beberapa poin, yakni:-kelebihan yang hanya dimiliki oleh satu orang maupun sekelompok orang; -kesempatan istimewa untuk melakukan hal yang menyenangkan; -cara seseorang yang berasal dari kelas sosial yang tinggi, ras atau jenis kelamin tertentu, untuk memiliki banyak keuntungan dalam masyarakat, serta, -hak khusus yang dimiliki oleh beberapa orang berwenang, untuk melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain.
Sayangnya, meski semboyan liberte, egalite, fraternite telah berkumandang sejak 5 Mei 1789, hukum kesetaraan dalam Islam telah ditegaskan mulai 1.500-an tahun silam, setidaknya lewat surat Annisa (4) ayat pertama, dengan ungkapan “min nafsin wahidah” (dari diri yang satu), dan penegasan bahwa semua manusia mendapatkan perlindungan serta penghormatan tanpa melihat bangsa, agama, bahasa, etnis, ras dan lain sebagainya, privilege yang datang dari naluri purba manusia dan berlangsung sejak era manusia purba, masih senantiasa ada. Ia tak goyah meski raja seotoriter Hammurabi yang berupaya bersikap benevolent pada era Mesopotamia kuno (memerintah 1792-1750 SM), mengundangkan codex-nya yang konon adil.
Privilege bahkan masih hidup di ‘negara paling demokratis’ Amerika Serikat. Saya pakai ‘negara paling demokratis’, karena selain sekian banyak fakta terang benderang yang hingga kini terus disuarakan orang-orang kritis semacam Noam Chomsky, kita pun tahu, apa yang disebut kesetaraan, di AS pun masih fatamorgana. ‘Kesetaraan’ itu perlu terus Amerika gaungkan dan klaim sebagai jiwa negara mereka hanya untuk alasan ‘patriotisme’—lihat tanda kutip dari saya. Sementara, bukankah sejak abad 18 pun, paling tidak dari catatan sosiolog Prancis, Alexis de Tocqueville, yang dalam “Democracy in America”-nya bilang,”Tak ada yang lebih membikin kita rikuh dalam pergaulan hidup biasa, selain patriotisme orang Amerika yang gampang terusik.” Patriotisme? Mungkin saja lebih kepada narsisisme.
‘Patriotisme’ itu yang membuat mereka kini harus mempersoalkan Hunter Biden, putra kedua Presiden Joe Biden, yang tengah dalam sorotan publik negara itu. Pasalnya, Hunter, Biden junior yang menurut Reuters diberhentikan dari cadangan Angkatan Laut AS pada 2014 karena positif menggunakan kokain, itu kini tengah terancam hukuman. Kasusnya bukan satu dua. Tak hanya karena temuan kokain di bagian inti Gedung Putih, West Wing–kasus terbaru–, Hunter juga tengah dalam penyidikan terkait tidak menafkahi (bekas) keluarganya, ogah bayar pajak atas kekayaannya yang melebihi 1,5 jua dollar AS, tuduhan membeli senjata saat dirinya teler karena narkoba, dan sebagainya. Yang juga diusik dan diselidik di AS—yang mungkin di sini dianggap “lumrah bin biar sajalah”—adalah transaksi bisnisnya di Cina dan Ukraina. Hunter diketahui duduk di kursi dewan di perusahaan ekuitas swasta, China BHR Partners, dan memiliki 10 persen saham ekuitas di sana. Ia juga dipersoalkan karena bergabung dengan dewan perusahaan gas alam Ukraina, Burisma Holdings, yang untuk posisinya di sana, pria 53 tahun itu menerima bayaran sekitar 50 ribu dollar AS (‘hanya’ Rp 750 juta pada kurs 15 ribu) per bulan.
Persoalannya, publik AS, yang diawali ‘gugatan’ Donald Trump, melihat peran Presiden Biden di sana. Sang Presiden diduga kuat tahu peran, kelakuan dan bisnis sang anak yang pengacara dan konsultan keuangan itu di dua negara tersebut. Disebut-sebut Hunter (dan Biden senior), adalahpihak yang terlibat dalam pemecatan Jaksa Tinggi Ukraina, Viktor Shokin, yang tengah menyelidiki kasus di Burisma Holdings. House of Republicans menuduh Joe Biden dan Hunter meneri-ma bayaran masing-masing sebesar 5 juta dollar AS dari eksekutif Burisma saat itu, Mykola Zlochevsky, sebagai imbalan atas pemecatan Shokin tersebut.
“Jika Anda adalah putra presiden, Anda mendapatkan kesepakatan yang manis,”kata Ketua DPR AS, Kevin McCarthy, menyindir. Itu keluar setelah Departemen Kehakiman AS setuju untuk mengizinkan Hunter mengaku bersalah atas tuduhan pemerintah federal, yang memungkinkannya tidak akan menjalani hukuman penjara.
Perkembangan terakhir kasus itu, pekan ini otoritas federal AS akan menghadirkan mantan mitra bisnis Hunter Biden, Devon Archer. Konon, Archer akan bersaksi bahwa Joe Biden sangat terlibat dalam urusan bisnis Hunter di luar negeri, dengan langsung menghadiri pertemuan dan negosiasi, atau pun melalui telepon. Tentu saja ini masih konon, karena di sisi lain, sejak lama Biden membantah semua tuduhan dari Trump tersebut.
Namun yang menarik, ini kasus lama yang sudah diselidiki lima tahun lebih oleh David Weiss, seorang jaksa Delaware yang ditunjuk pemerintahan masa Donald Trump. Saat Pilpres AS memenangkan Biden pada 2020, dan sebagaimana biasa terjadi pembersihan sebagian besar personel pemerintahan, termasuk para jaksa di era Trump, Februari 2021, Weiss tetap berada di tempatnya sebagai cara untuk memastikan kesinambungan penyelidikan. Perubahan kekuasaan yang berbeda, yang bila di sini kemungkinan besar memastikan berhentinya kasus.
Ada banyak contoh yang dengan gampang kita Googling. Misalnya, hukum seringkali secara telanjang begitu tajam ke bawah, namun tumpul saat harus dipakai mengiris kalangan atas—apalagi yang diketahui publik memiliki hubungan dengan Istana. Dosen Universitas Negeri Jakarta dan pemerhati cum kritikus politik Ubedilah Badrun, pernah mengangkat terbuka soal tersebut. Dalam laporan yang ia serahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ubedilah membongkar adanya relasi antara grup usaha Sinar Mas dengan keluarga Jokowi. Ceritanya, PT Bumi Mekar Hijau, anak usaha Sinar Mas Group, menjadi tersangka pembakaran hutan dan dituntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membayar ganti rugi Rp7,9 triliun. Tiba-tiba, ada keputusan Pengadilan Negeri Palembang yang memangkas kewajiban bayar Bumi Mekar hijau dari Rp7,9 triliun menjadi Rp78 miliar saja.
Hal itu sukar dianggap kebetulan, karena keputusan itu muncul setelah adanya kerja sama bisnis antara dua putra Jokowi, Kaesang dan Gibran, dengan Anthony Pradiptya, anak dari Gandi Sulistiyanto, petinggi Sinar Mas Group yang belakangan diangkat menjadi duta besar untuk Korsel dan sejak 17 Juli lalu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Ada pula nama Dhony Rahajoe, petinggi Sinar Mas yang ditunjuk Presiden Jokowi menjadi wakil kepala Otoritas Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Sukar masuk di akal bila semua itu hanya kebetulan.
Belum lagi penciuman Ubedilah pun menengarai bahwa Sinar Mas merupakan salah satu penyokong modal bagi bisnis anak-anak Presiden. Pada laporannya ke KPK, 10 Januari 2022 itu, Ubed mencium aroma tak sedap dalam relasi antara penguasa dengan pengusaha tersebut. Menurut dia, kolaborasi yang bisa dipersoalkan di negeri Abang Sam itu menghasilkan perusahaan baru bernama PT Wadah Masa Depan. “Alpha JWC Ventures yang memiliki relasi antara Sinar Mas Group, juga langsung mengucurkan dana Rp99,3 miliar setelah perusahaan kerja sama itu terbentuk,” kata Ubedilah.
Anthony masuk sebagai pemegang saham di holding usaha kuliner bersama Gibran dan Kaesang, GK Hebat, yang berkantor di Generali Tower, kawasan bisnis Gran Rubina, Jakarta Selatan. Dalam waktu ala The Flash, GK Hebat telah setidaknya memiliki 10 usaha, mulai dari Sang Pisang, Yang Ayam, Ternakopi, Siap Mas, Let’s Toast, Enigma Camp, Markobar, Pasta Buntel, Goola, Mangkokku, Madhang Indonesia, Tugas Negara Bos, Kerjaholic, dan sebagainya.
Namun Ubed tampaknya harus bersabar. Tujuh bulan kemudian, KPK yang dilapori menyatakan laporan aktivis 1998 itu masih sumir. Saat itu Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan Ubed belum memiliki informasi uraian fakta dugaan tindak pidana korupsi tersebut. “Sejauh ini indikasi tindak pidana korupsi yang dilaporkan masih sumir tidak jelas,”kata Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (19/8/2022).
Ghufron juga menambahkan, sebagai pelapor Ubed pun belum mengajukan data pendukung dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara dalam dugaan korupsi yang dilaporkan. Menurut Ghufron, para pihak yang dilaporkan, belum menjadi penyelenggara negara saat peristiwa tersebut. Dengan demikian hubungan mereka hanya merupakan keperluan bisnis. “Jadi mohon maaf yang dilaporkan atas perbuatan yang perbuatan itu dilakukan pada saat itu oleh orang-orang yang bukan penyelenggara negara,” kata Ghufron.
Bisa jadi ada pembaca yang segera teringat sindiran Ketua DPR AS, Kevin McCarthy. [INILAH.COM]