Bukan Anti-Anak Muda dan Cinta Gerontokrasi, Rakyat Kangen Meritoktasi
Sejarah Indonesia sejatinya untaian riwayat perjuangan kaum muda. Bung Karno mendirikan PNI pada usia 26 tahun. Bung Hatta memasuki kancah pergerakan politik di usia anak-anak generasi Z masih dimabuk cinta monyet, 19 tahun, dan mengasuh serta mengubah nama majalah “Hindia Putera” menjadi “Indonesia Merdeka”. Soetan Sjahrir, setelah berjuang sekian lama, terpilih menjadi perdana menteri pertama RI saat baru 36 tahun. Rakyat cinta pemimpin muda, kalau mereka mumpuni.
JERNIH–Baru Jumat (27/10) lalu, Paetongtarn Shinawatra, putri mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, terpilih menjadi ketua umum Partai Pheu Thai, yang kini berkuasa. Paetongtarn, 37 tahun, terpilih “seng ada lawan”, dengan aklamasi nyaris bulat. Padahal putri bungsu Thaksin itu baru dua tahun lalu terjun ke dunia politik. Tak ada riak berarti pada permukaan “danau politik” Thailand.
Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, dua hari sebelumnya resmi mendaftar sebagai calon wakil presiden untuk capres Prabowo Subianto. Kita tahu, bukan hanya sejak Rabu (25/10) itu wacana politik Indonesia dipanaskan kata “Gibran”. Berbilang hari bahkan pekan sebelumnya pun, nama itu terus mengisi headline media-media Indonesia. Pada pertengahan bulan ini, Senin (16/10) lalu, langsung atau tidak telah mendorong sekitar 200-an tokoh masyarakat, budayawan, seniman, cendikiawan, bergabung menyerukan Maklumat Juanda. Isi maklumat itu antara lain pernyataan kekecewaan akan kemunduran Reformasi, merosotnya demokrasi, serta menguatnya fenomena politik dinasti.
“Reformasi dan demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati,”kata para penanda tangan maklumat tersebut.
Gejala apa ini, hingga membuat banyak orang marah, bahkan cenderung gusar? Bukankah sejak 1990-an pun telah bergulir apa yang disebut ‘Asian style democracy’, seperti dipopulerkan Prof (saat ini emeritus) Clark D. Neher, guru besar ilmu politik dari Northern Illinois University, AS? Gaya demokrasi seperti itu yang konon membuat para pemimpin politik di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan negara-negara lain di rumpun geografi kita saat ini, selalu punya hubungan (darah) dengan para pendahulunya.
Lalu mengapa banyak warga Indonesia harus (iseng) mempersoalkan Gibran? Tidakkah ini hanya karena terjangkit trend di Amerika Serikat, yang usia presidennya, Joe Biden, kini telah merambah angka 81? Tidakkah gejala memersoalkan Gibran ini pun semata karena publik tengah gandrung gerontokrasi (pemerintahan para uzur), sekaligus cenderung belum percaya pada kaum muda?
Tampaknya tidak juga. Buktinya, di hari Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, terutama soal batas usia capres dan cawapres, dengan mengubahnya menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah, aktivis politik Jawa Tengah, Gus Miftah, langsung mendukungnya. Miftah menilai keputusan MK itu menjadi kemenangan para pemimpin muda berprestasi. Ia menyebutkan, putusan itu membuat para pemimpin muda Indonesia tidak terjebak dalam batasan umur untuk memimpin bangsa ini. “Sehingga kepala daerah terpacu bekerja untuk rakyat, menunjukan prestasi, melayani masyarakat dengan baik, yang kemudian diapresiasi. (Itu) membuat peluang menjadi pemimpin nasional tanpa terjebak dalam batasan umur,”kata Miftah dalam keterangan pers yang diterima banyak media.
Bukti lain dari tidak alerginya warga terhadap pemimpin muda ditunjukkan dengan relatif banyaknya kursi kepemipinan daerah yang diduduki kaum muda. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, saat ini setidaknya ada 42 kepala daerah yang usianya di bawah 40 tahun. Di antara mereka adalah Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak (39); Wali Kota Banjarbaru, Aditya Mufti Arifin (39); Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar (37); Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi (36), dan—tentu saja– Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka (36).
Apalagi sejarah Indonesia pun sejatinya adalah untaian sejarah perjuangan kaum muda. Pada saat dirinya mendeklarasikan pembentukan partai baru menyusul pecahnya organisasi Syarikat Islam (SI), kala lahirnya Perserikatan Nasional Indonesia (nama PNI sebelum partai) 4 Juli 1927 itu, usia Soekarno baru 26 tahun!
Pada usia anak-anak muda generasi Z tengah dimabuk cinta monyet, 19 tahun, Bung Hatta telah masuk pergerakan politik di tanah penjajah, Belanda. Dua tahun kemudian ia sudah mengasuh dan mengganti nama majalah “Hindia Putera” menjadi “Indonesia Merdeka”.
Sementara Soetan Sjahrir, setelah berjuang sekian lama, terpilih menjadi perdana Menteri pertama RI saat usanya baru 36 tahun!
Alih-alih gerontokrasi, sejatinya trend dunia pun lebih cenderung ke arah kemunculan para pemimpin muda. Lihat saja, misalnya Arab Saudi, yang selama ini dikenal sangat meyakini para pemimpin matang yang alot dan kenyang mereguk berpengalaman. Saat ini, perdana menteri Arab Saudi justru Mohammad bin Salman (MBS) yang baru berusia 37 tahun. Ada pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un yang baru berumur 41,40 atau bahkan 39. Pasalnya, Wikipedia sendiri menulis Jong-Un lahir 8 Januari, dengan tahun 1982, atau 1983, atau 1984, karena tak pernah jelas. Ada pula Perdana Menteri Montenegro, Dritan Abazovic (37).
Beberapa negarawan muda yang kini memimpin tersebut menunjukkan prestasi yang memukau dunia. Misalnya, Perdana Menteri Finlandia, Sanna Marin, yang berusia 34 tahun saat dilantik pada 2019. Atau Sebastian Kurz, kanselir Austria yang menjabat dari tahun 2017 hingga 2019, dan kembali memegang amanah pada tahun 2020 hingga 2021. Kurz lahir pada Agustus 1986. Ada pula Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru yang lahir pada 1980. Ardern telah menjabat sebagai perdana menteri Selandia Baru sejak 2017, pada waktu berusia 37 tahun. Ia dikenal karena kepemimpinannya yang empatik. Namanya di dunia Muslim melambung seiring kasus penembakan dua masjid di Christchurch, 2019, yang menimbulkan korban jiwa 51 orang Muslim.
Alhasil, tepatlah apa yang dikatakan juru bicara salah seorang capres, Sudirman Said, bahwa yang diperlukan negeri ini adalah berjalannya meritokrasi. Terma gagah ini sederhananya adalah sistem (politik) yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Meski konsep meritokrasi telah hidup berabad-abad lamanya seiring penggunaan akal sehat manusia, istilahnya sendiri baru muncul sekitar 1958, saat sosiolog Michael Dunlop Young menerbitkan bukunya yang penuh satir,”The Rise of the Meritocracy”.
‘Gibranisasi’, sisi plus-minus
Mencelatnya ‘maqam’ Gibran dari wali kota menjadi calon wakil presiden memang telah memunculkan wacana tersendiri di masyarakat, terutama di media sosial. Umumnya, selain sisi kemudaan yang tampaknya digaungkan para pendukungnya, muncul juga wacana soal ‘nepotisme’.
Datang dari kata Italia “nepotismo”, nepotisme berakar dari kata Latin “nepos” yang berarti keponakan. Pasalnya, sejak abad pertengahan yang penuh kegelapan hingga akhir abad ke-17, beberapa paus dan uskup Katolik—yang karena terikat janji selibat tidak memiliki keturunan sah– memberikan preferensi hak-hak khusus kepada para keponakan mereka.
Dalam kasus Gibran dan hubungannya dengan ketua MK, sejarah para paus itu bisa menjadi metafora yang seolah pas. Makanya tak heran bila mulai pekan-pekan lalu dengan mudah kita jumpai aneka meme dan konten sindiran di medsos, baik yang langsung tertuju kepada Gibran, Ketua MK Anwar Usman, serta lembaga negara tersebut. Yang paling banyak berkeliaran di berbagai grup WA tentu saja lagu anak-anak “Kemarin Paman Datang” yang liriknya telah diubah habis.
Selain itu, sempat pula beredar konten semacam Google maps yang menuliskan titik lokasi MK sebagai “Mahkamah Keluarga”. Soal kepanjangan MK yang diplintir itu pun pernah muncul menjadi meme yang dimuat di akun Instagram @pbhi_nasional.
Tentu saja, selain ‘keuntungan’ yang datang seiring keputusan MK pada 16 Oktober itu, ada sisi ‘kerugian’ yang secara kontan diterima Gibran—dan Prabowo, segera setelah menjadikannya cawapres. Bukan tak mungkin akan muncul istilah ‘Gibranisasi’ di area publik, untuk menyederhanakan proses dan fenomena yang telah terjadi dalam sejarah politik Indonesia itu.
Maknanya tentu akan lebih luas dan melebar dari sekadar ‘nepotisme’, salah satu tuntutan utama dari pemberantasan secara tuntas KKN—kolusi, korupsi dan nepotisme—yang menjadi elan vital Reformasi 1998. ‘Gibranisasi’ mungkin saja akan diartikan sebagai nepotisme melalui atau melibatkan lembaga (tinggi) negara, yang menyiratkan adanya kebaruan dan—maaf—inovasi pada sisi dekilnya.
Tetapi seperti juga firman Allah bahwa “tak ada sesuatu pun yang tercipta sia-sia– ma khalaqta hadza bathila”, ‘Gibranisasi’ pun bukan tanpa sisi positif. Seiring kian mendekatnya ‘deadline’ bonus demografi, meski sudah bergeser jadi lebih lama (dari 2036 ke 2041), tetap saja kita harus bersicepat dengan waktu. Bila gagal, artinya mungkin pula Indonesia pun gagal melompat menjadi negara maju karena terjepit middle income trap. Dengan ‘Gibranisasi’, boleh jadi menjadi satu pendorong tersendiri untuk kian terlibatnya anak-anak muda pada seluruh geliat bangsa, dan membuat meningkat pesatnya produktivitas kaum muda.
Politik dinasti, bolehkah?
Fenomena kemunculan Gibran menjadi ‘tokoh nasional’ pun kerap menghadirkan urusan politik dinasti dalam wacana yang berkembang kemudian. Tampaknya, pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti, termasuk kalangan yang mulai memakai istilah itu di awal-awal wacana ini mencuat. Bivitri saat itu mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan mereka terhadap gugatan batas usia capres-cawapres tersebut. Sebab, menurut dia, keputusan itu terasa sangat mengakomodasi kepentingan putra Jokowi, Gibran, untuk maju dalam Pemilu 2024 mendatang.
“Meneguhkan politik dinasti yang bahkan sudah jauh lebih parah dari zaman Soeharto,” ujar Bivitri, dalam seminar daring bertajuk “Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?”, Ahad, 15 Oktober 2023.
Meski era monarki sudah lewat, menurut analis politik dan akademisi Ubedilah Badrun, bukan berarti ‘pewarisan’ kekuasaaan sudah tak lagi menjadi cara yang dipakai dalam regenerasi kepemimpinan. Mengutip Christhope Jaffrelot (2006), Nandini Deo (2012) dan Yoshinori Nishizaki (2022), Ubedillah mengatakan, cara pewarisan itu tak jarang masih dilakukan di era demokrasi ini. Dinasti Politik yang dipilih melalui pemilihan umum, secara teoritik disebut sebagai “Dynastic Democracy”, alias praktik demokrasi prosedural tetapi penguasa dinastik-lah yang terpilih. “Jadi dinasti politik tidak hanya terjadi pada masa kerajaan tetapi juga pada sistem demokrasi. Sebab ada keluarga tertentu yang terus berhasrat melanggengkan kekuasaan secara turun temurun melalui pemilihan umum,” tulis Ubedillah dalam satu artikel mutakhirnya.
Ubedillah menegaskan, sejatinya sejak lama sejarah telah menolak dinasti politik. Saat orang-orang Eropa menyadari sisi agung kemanusiaan dengan mengubah motto hidup dari “memento mori—ingat mati” menjadi “memento vivere—ingat hidup!” pada masa Renaisance–pencerahan, muncul perubahan sosial besar-besaran, di antaranya karena menghendaki kekuasaan berjalan secara demokratis. Kekuasaan monarki absolut yang dinastik, otoriter, dan penuh kediktatoran pun menyingkir, terutama memuncak melalui Revolusi Prancis, 1789.
“Jadi, dinasti politik sesungguhnya sudah ditolak sejak abad ke-18 itu. Mereka yang masih memelihara politik dinasti sesungguhnya seperti hidup di abad kegelapan dan abad pertengahan,” kata Ubedillah.
Penolakan publik atas dinasti politik itu, antara lain, karena menghambat proses kualitatif konsolidasi demokrasi. Proses konsolidasi yang seharusnya membuka lebar akses politik untuk setiap warga negara, dengan kehadiran Dinasti Politik dengan segala sumber dayanya, menutup peluang itu secara jalan pintas (bypass). Selain itu, kata Ubedillah, Dinasti Politik juga melemahkan kaderisasi dalam tubuh partai politik, karena keluarga dinasti jauh lebih mudah menduduki jabatan politik dibanding kader partai yang merangkak dari bawah.
Kepada pihak-pihak yang menunjuk bahwa di Amerika Serikat pun seorang anak presiden bisa pula jadi presiden, Ubedillah meminta mereka tidak mengaburkan fakta terang benderang. “Di AS, George H. W. Bush dan anak tertuanya, George W. Bush, pernah menjadi presiden. Tetapi (mereka) tidak berurutan. Mereka menjadi presiden AS di waktu yang berbeda,”kata Ubedillah. George Bush senior memang menjadi presiden pada 1989-1993, sedangkan George Bush yunior menjadi presiden pada 2001-2009. “Artinya ada jeda waktu dua periode Amerika Serikat dipimpin orang lain dulu, yaitu Bill Clinton, baru kemudian George Bush Yunior,” kata Ubedillah, menerangkan.
Menariknya, di Indonesia sendiri ‘politik dinasti’ bukanlah hal terlarang. Hal itu bahkan dikuatkan secara hukum. Menurut Fahmi Ramadhan Firdaus dari PusatPengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI), Fakultas Hukum Universitas Jember, dalam artikelnya di situs hukumonline.com, 3 Januari 2022, meski menjadi masalah serius ketatanegaraan kita karena dianggap menjadi salah satu penyebab korupsi, secara implisit aturan hukum terakhir tidaklah melarangnya.
Memang kata Fahmi,negara pernah mengatur larangan tumbuhnya politik dinasti, yakni dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU 8/2015”). Aturan itu menyebutkan: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan, yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Namun dalam guliran waktu, Pasal 7 huruf r UU 8/2015 di atas telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan menjadikan ketentuan pasal ini dibatalkan. “Dengan dibatalkannya pasal tersebut, sepanjang penelusuran kami tidak ada lagi ketentuan larangan politik dinasti di Indonesia,”kata Fahmi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang kini menjafdi salah satu hakim MK, Prof Saldi Isra, dalam “Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional”, menilai (aturan sebelumnya itu) “membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi Pilkada merupakan pengaturan yang jauh dari proporsional dan berlebihan sekalipun hanya satu periode. Sebab, kata Prof Saldi, seharusnya objek yang dibatasi petahana yang memegang jabatan politiknya kepala daerah atau wakilnya, bukan keluarga petahana.
Alih-alih menggelindingkan atuan sebelumnya, MK menilai pengaturan larangan terhadap politik dinasti justru dianggap bertentangan dengan, antara lain, Pasal 21 angka 1 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi “Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.”
Aturan lma itu pun menyelisihi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”): “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.
Juga Pasal 15 UU HAM: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”, dan Pasal 43 ayat (1) UU HAM: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mantan Ketua MK, Mahfud MD, waktu ditanya wartawan terkait putusan MK saat itu, menjawab bahwa putusan tersebut sudah tepat.”Menurut saya putusan MK ini sudah sangat tepat bahwa tidak boleh keluarga pejabat itu dilarang untuk menjadi calon karena bisa jadi dia punya kapasitas yang lebih bagus dari yang akan diganti,” kata Mahfud, pada Rabu malam, 8 Juli 2015. Waktu itu, tampaknya hanya pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, yang berpendapat lain. Menurutnya, MK seharusnya tidak hanya mempertimbangkan sisi hukum, tapi juga dari sisi keadilan masyarakat. Putusan MK itu, kata Hendri, bakal kian membuat subur politik dinasti yang seharusnya diperangi seluruh rakyat Indonesia. “Ini bakal mempersulit regenerasi dan menutup ruang bagi tokoh baru potensial yang tak memiliki trah politik dinasti,”kata Hendri. Masing-masing kita bisa menilai benar tidaknya prediksi Hendri itu, hari ini. [Inilah.com]