SolilokuiVeritas

Bermula Sebagai “Hope”, Akankah Citra Politik Jokowi Su’ul Khatimah?

Artikel tersebut bukan satu-satunya yang ditulis Handelsblatt akhir-akhir ini tentang Jokowi. Lima hari sebelum turunnya tulisan itu, koran terkemuka Jerman itu pun melansir artikel berjudul “Wie Regieren in Asien zum Familiengeschäft wird– Bagaimana pemerintahan di Asia sudah menjadi bisnis keluarga”, yang ditulis  Mathias Peer, Kamis, 26 Oktober 2023. Artikel itu mengutip ilmuwan politik jebolan Northwestern University, AS, yang menulis disertasi berjudul “Dynasty Inc.: The Emergence and Endurance of Political Dynasties in Indonesia”, Yoes C Kenawas. “Rencana tersebut bertujuan untuk mempertahankan pengaruh dinasti Jokowi bahkan setelah tahun 2024,”kata  Yoes.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Boleh jadi, sebagian dari kita masih bisa mengingat momen penting ini: beberapa hari menjelang pelantikannya sebagai presiden RI, pada Rabu, 15 Oktober 2014, majalah terkemuka dunia, Time, memasang foto close-up Jokowi sebagai gambar sampulnya. Mengenakan busana khas Indonesia, kemeja batik warna cokelat, Jokowi terlihat serius. Matanya sedikit terpicing, tanpa senyum.

Pada sampul itu tertulis dengan huruf berukuran besar, “A New Hope” (Harapan Baru—bukan nama komplek perumahan di Bekasi, tentu). Di bawahnya, seakan menyuarakan euphoria, Time menulis,”Indonesia President Joko Widodo Is A Force of Democracy—Presiden Jokowi adalah kekuatan demokrasi”. Tak cukup memuji di cover, artikel tentang Jokowi di halaman utama dibuka dengan gambaran kesederhanaannya. Time menuliskan bagaimana Jokowi berbaur dengan masyara-kat lewat pilihannya duduk di kursi ekonomi pada penerbangan Garuda Indonesia, GA 226, menuju Solo, beberapa waktu sebelumnya.

Darmawan Sepriyossa

Time flies so fast. Belum sepekan lalu, harian bisnis terkemuka Jerman, Handelsblatt, memuat tulisan muram tentang Jokowi. Artikel berjudul “Abschied von der Demokratie”—“Selamat Tinggal Demokrasi”, yang dimuat Selasa, 31 Oktober, terkesan kuat menyayangkan beberapa peristiwa politik terkini di Indonesia yang menurut harian itu terkait Jokowi. “Fakta bahwa Gibran yang masih berusia 36 tahun akan segera mengambil peran sentral di tingkat nasional adalah berkat keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi pekan lalu,” tulis Handelsblatt.

Dengan cara seperti itu, Handelsblatt yakin, bahwa “Pada akhirnya nanti hanya orang kaya harta atau yang punya jaringan keluarga dengan penguasa, yang dapat tampil di puncak kekuasaan,”tulis artikel itu.

Dengan cara berpikir khas Barat yang linear, Handelsblatt juga meyakini, ke depan Gibran akan menjadi presiden Indonesia. “Siapakah penerus yang akan datang? Waktunya telah tiba untuk seorang anak, Presiden yang akan datang dan Wakil Presiden,”tulis Handelsblatt, lebih lanjut. “Presiden muda Indonesia, Gibran, akan melanjutkan perjalanan politik ayahnya. Kami yakin bahwa dia akan memegang kendali dalam dunia politik dengan kuasa baru yang menggantikan sang ayah,”tulis surat kabar bisnis terbitan kelompok Handelsblatt Media Group, yang telah terbit sejak 1946 itu.

Artikel tersebut bukan satu-satunya yang ditulis Handelsblatt akhir-akhir ini tentang Jokowi. Lima hari sebelum turunnya tulisan itu, koran terkemuka Jerman itu pun melansir artikel berjudul “Wie Regieren in Asien zum Familiengeschäft wird— Bagaimana pemerintahan di Asia sudah menjadi bisnis keluarga”, yang ditulis  Mathias Peer, Kamis, 26 Oktober 2023. Artikel itu mengutip ilmuwan politik jebolan Northwestern University, AS, yang menulis disertasi berjudul “Dynasty Inc.: The Emergence and Endurance of Political Dynasties in Indonesia”, Yoes C Kenawas. “Rencana tersebut bertujuan untuk mempertahankan pengaruh dinasti Jokowi bahkan setelah tahun 2024,”kata  Yoes.

Artikel itu menulis bahwa “Secara resmi Jokowi membantah dirinya sedang mengurus urusan politik keluarganya sendiri. Saat ditanya soal hal tersebut beberapa waktu lalu, ia menegaskan tak ingin ikut campur dalam keputusan anak-anaknya. Apalagi pada akhirnya rakyatlah yang menentukan siapa yang mendapat kekuasaan. Namun, upaya keluarganya untuk menduduki posisi politik penting menjadi semakin jelas dalam beberapa bulan terakhir: putra bungsu Widodo, Kaesang Pangarep, dinyatakan sebagai pemimpin partai pada bulan September, tiga hari setelah bergabung dengan partai kiri-tengah PSI. Kakak laki-lakinya, Gibran, yang kini mencalonkan diri sebagai wakil presiden, sudah menjadi wali kota Surakarta—tempat Jokowi juga memulai karir politiknya di kantor ini.”

Bukan hanya Handelsblatt yang mengkritik keras permainan politik ala Jokowi itu. Bila di awal kekuasaan Jokowi—seperti ditulis di awal artikel, Time memuji Sang Presiden, kini majalah itu terang-terangan menyebut Jokowi telah mencoreng citra baiknya sebagai pendobrak demokrasi. “Jokowi berhasil menjadi presiden dengan latar belakang sebagai tukang kayu dari Solo. Namun, apa yang dipertontonkan ke masyarakat, kini Jokowi kembali membangun dinasti politik yang mematikan demokrasi,”tulis Time pada artikel berjudul “Indonesia’s President Joko Widodo Once Symbolized Democratic Hope—His Plan for a New Capital Represents a Darker Legacy“, yang terbit Jumat, 27 Oktober 2023. Pikiran yang juga termuat dalam tulisan Mathias Peer di Handelsblatt.

Time juga mengutip komentar Indonesianis terkemuka dari  Murdoch University, Australia, lan Wilson, yang menilai bahwa selama 10 tahun terakhir pemerintahan Jokowi, di matanya Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. “Jika melihat analisis yang lebih luas, selama 10 tahun terakhir di masa pemerintahan Jokowi, menunjukkan adanya kemunduran demokrasi yang sangat nyata,”ujar lan Wilson dalam artikel Time itu.

Artikel Time itu kemudian menggarisbawahi pernyataan Prof. Vishnu Juwono, guru besar administrasi publik di Universitas Indonesia.  Sempat dipandang sebagai orang luar dunia politik Indonesia yang memberikan harapan, seiring dengan berlalunya dekade pemerintahan Jokowi, ia mungkin akan lebih dikenang karena mengantarkan era baru kemunduran demokrasi.

Secara khusus artikel itu mengkritik proyek IKN, yang disebut Time sebagai proyek ambisius untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan, meski menuai banyak skeptisisme dan kritik. Diurainya beragam kritik mulai dari konsultasi publik yang tidak memadai, sengketa lahan dengan masyarakat adat, hingga kekhawatiran mengenai investasi Cina.

Belum lagi tatkala Time membandingkan niat pembangunan IKN dengan Pembangunan Naypyidaw, ibu kota administratif Myanmar yang terpencil, serta Ibu Kota Administratif Baru bentukan Presiden Abdel Fattah El-Sisi di Mesir. Keduanya memang disebut-sebut dibangun dengan tujuan melindungi para pemimpin militer negara tersebut dari demonstrasi dan pemberontakan massa.

“Ibu kota baru (ini) dibangun sebagai proyek kesayangan suatu pemerintahan tertentu, namun juga melibatkan proses memisahkan pemerintah dari masyarakat sipil yang lebih luas,” kata Wilson dalam artikel itu. “Saya pikir sangat sulit untuk tidak melihat Nusantara dalam perspektif seperti itu, jika kita melihat analisis yang lebih luas mengenai 10 tahun terakhir pemerintahan Jokowi, yang telah menunjukkan kemunduran demokrasi yang nyata.”

                                                ***

Dengan masa bakti—untuk tak terlalu vulgar menyebutnya sebagai waktu kekuasaan—yang akan berakhir Oktober tahun depan, kira-kira bisakah Jokowi memperbaiki citra politiknya, Kembali sebagai seorang demokrat? Bahkan untuk rakyat Indonesia yang mayoritas pelupa, satu tahun tampaknya terlalu singkat untuk memulas jejak kusam menjadi cemerlang.

Bila demikian, akankah Jokowi yang memiliki citra gemilang di awal, justru harus mengalami akhir kekuasaan dengan kesan buruk alias suúl khatimah? Kita berharap hal itu tidak terjadi. Setahun sebenarnya waktu yang cukup untuk benar-benar menjadikan amanah kekuasaan sebagai alat menjadikan Indonesia lebih baik. Meski tentu saja, kalau pun sebagaimana kata Imam Syafii adalah pedang—ia pedang bermata dua. Alhasil, setahun ke depan pun sebuah tantangan tersendiri bagi Jokowi, apakah ia mencintai negeri dan 270-an juta warganya, atau hanya keluarga kecilnya sendiri.      

Tetapi dalam Islam, akhir justru menentukan posisi baik-buruknya seseorang. Sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d Al-Sa’idi RA menyatakan, “…sesungguhnya semua amal sangat tergantung pada amal terakhirnya.”

Akan halnya mengapa Allah memberikan pengaturan tersebut, menurut  ulama terkemuka dari kalangan thabiit thabiin,  Ibnu Baththah Al-‘Ukbari (wafat 997 M/387 H), dirahasiakannya akhir amal seseorang sejatinya memiliki hikmah yang sangat besar. Hal itu juga sebuah pengaturan takdir yang sangat tinggi. Sebab,  seandainya manusia mengetahui akhir amalannya, mungkin saja dia akan menjadi sombong dan malas berbuat. “Maka perkara tersebut dirahasiakan agar manusia tetap hidup antara takut dan harap,” kata Ibnu Baththah.

Semua Muslim berharap husnul khatimah. Bahkan dalam tarikh Islam, ulama terkemuka Abu Darda’ dan wali sufi Sofyan Al-Tsauri, termasuk yang selalu menangis manakala mengingat mati dan peluang suúl khatimah dalam perjalanan menuju kepulangan itu. Mereka khawatir terhadap dosa-dosa yang menyebabkan diri terhalang dari husnul khatimah.

Sementara tentang penyebab utama seseorang jatuh pada perangkap suúl khatimah, ulama besar Abdul Haq Al-Isybily meyakini hal itu terjadi karena tenggelamnya seseorang dalam merebut, menuntut dan mengonsentariskan diri kepada harta dunia. Wallahu álam. [Inilah.com]

Back to top button