Meneropong Arah Politik Luar Negeri Indonesia ke Depan
Wajah dunia akan tampak semakin suram jika situasi di atas tidak segera dipulihkan satu persatu. Jika tidak ada otoritas dan solidaritas global yang kuat untuk menghentikan perang Rusia di Ukraina, dan menghentikan kekejaman Israel di Palestina. Hadirnya negara kuat atau sekumpulan negara yang memiliki otoritas moral yang kuat untuk menyuarakan perdamaian dan menghentikan perang, sangat dibutuhkan dunia saat ini.
Oleh : Prof. Yuddy Chrisnandi *
JERNIH–Tahun 2024 menghadirkan lanskap geopolitik dunia yang sarat dengan ketegangan dan ketidakpastian. Perang Rusia di Ukraina yang sudah memasuki tahun ketiga sejak invasi Rusia, 24 februari 2022, masih membara, memicu krisis ekonomi berkepanjangan. Invasi Rusia ke wilayah Ukraina dengan pendudukan 15 persen wilayah timur kedaulatan Ukraina masih berlangsung.
Ancaman Presiden Rusia untuk menggunakan senjata Nuklir masih terdengar sete-lah Swedia resmi menjadi anggota NATO ke-32, awal maret 2024. Di Semenanjung Korea, ancaman datang dari Korea Utara yang acapkali menguji senjata nuklirnya melintasi perairan Jepang, membuat getir negara tetangga Korea Selatan dan memancing kewaspadaan seluruh Asia. Meningkatnya armada perang Angkatan Laut China di perairan Laut China Selatan (LCS), yang diklaim sepihak sebagai wilayah perairan China, membuat reaksi penolakan banyak negara pihak : Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan,Brunei dan Indonesia.
Armada laut Amerika Serikat sudah berada di sekitar LCS, siap menahan laju China yang berambisi besar menguasai perairan tersebut, sebagai buntut tidak tuntasnya Perjanjian San Francisco, 1951, yaitu penyerahan kekuasaan Jepang yang kalah PD-II. Itu terjadi seiring dengan perang dagang AS-China yang sedang berlangsung.
Situasi ini tidak hanya menghambat kerja sama internasional, juga mengganggu stabilitas transportasi rantai pasokan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, yang disebutkan World Bank maupun IMF tidak dapat melampaui tiga persen di 2024 ini.
Ancaman krisis global
Dalam 10 tahun terakhir ini, dunia telah menghadapi ancaman perdamaian dan konflik global. Hal itu melibatkan banyak negara, berlangsung di berbagai belahan dunia : Afganistan, Yaman, Syiria, Sudan, Irak, Kongo, Somalia, Venezuela, Arme-nia, Azerbaizan, Israel dan Palestina.
Kondisi paling parah saat ini dihadapi oleh rakyat Palestina. Sejak serangan Hamas ke wilayah Israel selatan pada 7 Oktober, dan ke Tel Aviv akhir Desember 2023, Israel melakukan pembalasan brutal dengan menghancurkan sekurangnya 75 persen infratruktur Palestina di Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 30 ribu jiwa yang sebagian besar anak-anak dan perempuan, bahkan memblokade jalur bantuan kemanu-siaan untuk masuk wilayah Palestina. Perang Israel di tanah Palestina ini tak hanya jelas melibatkan negara adi daya Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel, juga menyeret negara-negara lain bereaksi pro-dan kontra. Selain Iran dan Rusia yang sudah berseberangan dengan AS-Israel, negara-negara Timur Tengah sekutu AS seperti Saudi Arabia, Jordania, Mesir, bereaksi keras meminta dihentikannya perang dan dibukanya bantuan kemanusiaan bagi Palestina yang menderita.
Dua titik pusat konflik dunia saat ini yang terjadi di wilayah Eropa Timur- Ukraina dan Timur Tengah-Palestina, berdampak besar bagi situasi keamanan global, berpotensi memicu kekhawatiran Perang Dunia III, menebar terjadinya penurunan produktivitas perekonomian global, berdampak ke semua negara, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Negara besar seperti Inggris di Eropa yang telah mengumumkan negaranya terge-lincir dalam jurang resesi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi minus 0,3 persen selama dua kuartal berturut-turut. Juga Jepang di Asia, yang nyaris tergelincir resesi ekonomi dengan konstraksi 0,4 persen PDB pada akhir tahun 2023.
Menurunnya kinerja perekonomian dunia lebih disebabkan oleh situasi dunia yang tidak stabil atas merebaknya konflik berbagai negara, yang melibatkan negara- negara lainnya, menyedot sumber daya ekonomi yang tidak seharusnya, memicu kelangkaan energi dan bahan pangan, mendorong harga-harga komoditas dunia meningkat.
World Food Programme PBB pada akhir tahun 2023 telah melaporkan bahwa beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah sudah mulai menderita kelaparan akibat minimnya pasokan pangan yang meluas dengan tingkat ketidakcukupan pangan di atas 60 persen kebutuhan rakyatnya. Secara ekstrem hal itu dialami negara-negara : Somalia, Afganistan, Nigeria, Mali, Guinea, Haiti, Syuriah, Sudan selatan.
Inflasi dan krisis global sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari oleh semua negara, termasuk Amerika Serikat maupun China dan negara-negara kaya lainnya yang tergabung dalam G-20 hingga G-7.
Wajah dunia akan tampak semakin suram, jika situasi di atas tidak segera dipulihkan satu persatu. Jika tidak ada otoritas dan solidaritas global yang kuat untuk menghentikan perang Rusia di Ukraina, dan menghentikan kekejaman Israel di Palestina. Hadirnya negara kuat atau sekumpulan negara yang memiliki otoritas moral yang kuat untuk menyuarakan perdamaian dan menghentikan perang, sangat dibutuhkan dunia saat ini.
Berlarut-larutnya perang, panjangnya “peta damai” yang disyaratkan, hanya membuat semakin banyak korban berjatuhan, hancurnya peradaban dan semakin panjang penderitaan masyarakat di wilayah konflik, krisis kemanusiaan tak terhindari. Dunia dihadapkan pada ketidakpastian.
Ketidakpastian dapat melahirkan rasa frustrasi, ketidakpercayaan, yang pada akhirnya setiap negara terobsesi memilih jalannya sendiri guna mengatasi masalah-nya. Tidak ada lagi lembaga dunia yang dipercaya mampu menyelamatkan umat manusia. Tidak ada lagi negara sahabat yang tulus memberikan bantuan kemanusia-annya. Kondisi dunia dalam bahaya, bilamana kepercayaan berhimpun dalam organisasi dunia dirasakan sudah tidak berguna lagi.
Setiap negara untuk dirinya
Ian Bremmer, penulis buku “Every Nation For Itself”, 2012, sudah mengemukakan bahwa sejarah aliansi negara-negara di dunia, yang berawal dari rasa un-secure atas ancaman invasi perang menjadikan organisasi dunia sebagai kebutuhan untuk “berlindung”. Terbentuklah dua pilar besar berbagai poros organisasi dunia yang bertemakan kerja sama keamanan dan ekonomi.
Setiap Negara yang bergabung di dalamnya memiliki sekurangnya dua motif kepentingan, yaitu perlindungan dari an-caman perang dan kemakmuran masyarakatnya. Dalam perjalanannya, setiap negara berkompetisi untuk menjadi negara yang terkuat. Yang pada akhirnya setiap negara hanya memikirkan kepentingan nasionalnya sendiri.
Sejarah pembentukan organisasi antarnegara dunia yang berawal di abad ke-20 menjelang PD-I, 1914-1918, terus mencapai puncaknya setelah PD-II, 1939-1945, dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa, NATO, EU hingga organisasi kerja sama ekonomi 20 negara dengan PDB terbesar Dunia, G-20 (1991), pada akhirnya akan kembali pada kehendak masing-masing negara yang merasa sudah cukup kuat atau merasa tidak mendapatkan manfaat lagi. Metamorfosis G-20 akan kembali pada G-7 (Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Jepang) sebagai pemrakarsa terbentuknya G-20, sekaligus negara-negara terkaya di kawasan Eropa-Amerika.
Memperhatikan perbedaan kepentingan politik inter-nasional Amerika dengan China, India, Brasil, Rusia,Turki, Arab Saudi, serta sulitnya mencapai kesepakatan bersama menata keamanan global dengan berbagai kepentingan agenda ekonomi masing-masing, membuat organisasi-organisasi kerja sama menjadi sekedar tempat meredakan ketegangan tanpa solusi jalan yang memberi common benefit yang setara. Perbedaan pandangan negara-negara Eropa dengan kebijakan Amerika Serikat membiarkan kekejaman Israel di Palestina, juga dihentikannya bantuan persenjataan Amerika kepada Ukraina yang masih berperang melawan agresi Rusia, merupakan tanda-tanda “keretakan“ aliansi G-7. Sekalipun AS masih mendominasi perekonomian dunia, namun masalah-masalah perekonomian dalam negeri AS telah membuat negara itu tidak cukup memiliki anggaran untuk terus menjadi “Polisi Dunia”seperti sebelum era COVID-19.
Minimnya keterlibatan Amerika dalam politik domestik kawasan Amerika Latin seperti krisis politik Venezuela, Bolivia. Penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Penghentian bantuan militer ke Ukraina. Minimnya keterlibatan pada konflik Armenia-Azerbaizan. Hilangnya pengaruh Amerika terhadap pemerintah Israel untuk menghormati Hak Asasi Manusia di Palestina, merupakan tanda-tanda kemunduran dominasi Amerika Serikat atas dunia.
Dari 10 negara di dunia yang memiliki resiko ancaman keamanan/perang tertinggi berdasarkan data yang dirilis Security Threats Index 2023 (Ukraina,Afghanistan, Mali,Libya, Somalia, Syria, Burkina Faso, Burma, Philippines, Nigeria) hanya Ukraina yang mendapat perhatian signifikan dari Amerika Serikat.
Sekalipun perekonomian Amerika serikat tidak mengalami krisis dengan tingkat pertumbuhan PDB positif, 68 persen hasil jajak pendapat Gallup yang diadakan akhir Desember 2023 menyatakan persepsi perekonomian AS yang memburuk. Sebanyak 56 persen warga AS tidak setuju langkah Presiden Biden mengatasi ekonomi Amerika. Sebagai konsekuensinya pemerintah AS dituntut fokus ke dalam upaya pemulihan ekonomi domestiknya, di tengah ketidakpastian apakah Presiden Biden (Demokrat) akan terpilih kembali atau Donald Trump (Republik) yang akan dipilih rakyat AS untuk periode 2025-2029.
Di sisi lain, meningkatnya kemajuan teknologi militer dan perekonomian China, yang diperkirakan akan mampu sejajar, bahkan melampaui Amerika Serikat pada tahun 2050, tidak serta merta menjadikan China dominan. Inggris dan Jerman akan mempertahankan dirinya tetap sebagai negara kuat berpengaruh di Eropa. Negara-negara Eropa lainnya yang bergabung dengan Uni Eropa (EU), akan lebih visioner dan selektif memilih negara-negara mitra kerja sama yang setara.
AS secara efisien akan terlibat dalam agenda-agenda dunia yang langsung berhubungan dengan prioritas kepentingan nasionalnya dan hubungannya dengan mitra utama kerja sama globalnya, seperti China, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, sekutunya di Eropa, Arab Saudi dan Afrika Selatan. Kepentingan nasional menjadi doktrin kunci terciptanya hubungan antarnegara yang memer-lukan landasan aliansi yang saling memberikan keuntungan, perlindungan dan kenyamanan.
Kepentingan nasional Indonesia
James A Robinson, dalam bukunya “Why Nations Fail?” (2013), mengingatkan fakto-faktor yang dapat membuat negara gagal. Juga pandangannya membuat negara berhasil yaitu jika negara : memiliki pemimpin visioner berintegritas, sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil, SDM berpengetahuan unggul, SDA memadai, letak geografis strategis dan hubungan internasional yang efektif.
Periode waktu 2024-2029 bagi pemerintahan Indonesia yang baru adalah the golden moment yang begitu berharga untuk menata kedalam sekaligus merumuskan kembali pilihan-pilihan hubungan internasionalnya.
Indonesia saat ini berada pada posisi ke-17 dari 20 Negara dengan PDB terbesar dunia, 1,3 triliun dolar AS. Amerika Serikat menempati urutan pertama negara terkaya dengan PDB 24,5 triliun dolar AS, disusul China (17,4 triliun dolar AS). Goldman Sachs dan Price Water House consultant percaya, pada tahun 2050 Indonesia akan menempati ranking ke-4 negara terkaya di dunia dengan PDB sebesar 6,3 triliun dolar AS, mengungguli Jerman, Jepang dan negara lainnya. Prediksinya secara berurutan adalah China dengan PDB sebesar 41,9 triliun dolar AS, lalu Amerika Serikat dengan PDB 37,2 triliun dolar AS, disusul India pada peringkat ke-3 dengan 22,2 triliun dolar AS.
Dengan trend keyakinan seperti itu, Indonesia perlu terlibat dalam skenario pemu-lihan keamanan dan ketertiban dunia, sebagai landasan kerja sama dan kese-jahteraan bersama, juga menjadi common interest semua negara, sekaligus salah satu amanat konstitusi kita : “Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dengan prinsip ini, maka kerja sama internasional yang dibangun perlu lebih selek-tif, memilih mitra-mitra strategis dan jenis-jenis aliansi dunia yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai internasionalisme dan kesinambungan national interest Indonesia.
Adapun nilai-nilai internasionalisme yang menjadi pedoman universal adalah Ketuhanan dan Perikemanusiaan. Sementara kepentingan nasional kita adalah kedaulatan, persatuan, kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan pedoman ini, akan menjadi jelas bagi kita akan melanjutkan kerja sama hanya dengan negara-negara yang cinta damai, bukan negara yang memicu perang. Negara-negara yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), membangun kesetaraan, demokratis, serta negara yang berdasarkan hukum bukan kekuasaan. Kita juga harus bergabung dalam kerja ama dengan negara-negara yang menciptakan perdamaian dan kemakmuran Bersama, dan memilih bergabung dengan aliansi dunia yang sesuai dengan cita-cita kebangsaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, sejahtera, adil dan makmur.
Sekurang-kurangnya Indonesia memiliki lima portofolio basis kekuatan diplomasi politik luar negeri dalam memutuskan kebijakan internasional dan negosiasi perannya. Kelimanya itu adalah keberadaan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar ketiga di dunia yang berdaulat; negara moderat dengan penduduk Muslim terbesar di dunia; negara pendiri Gerakan Non-Blok pasca-PD II; negara pendiri sekaligus pemimpin kawasan ASEAN; dan negara kepulauan yang paling strategis letak geografisnya di kawasan Asia-Pasifik yang subur, kaya sumber daya alam mineral-energi.
Dengan pijakan itu kebijakan politik luar negeri (Polugri) Indonesia harus mampu mempercepat perjuangan Indonesia di fora internasionalnya, untuk segera menjadi negara dengan perekonomian yang sangat kuat dan tangguh, menguasai ilmu pengetahuan teknologi, sekurangnya di bidang energi, persenjataan, kedok-teran, pangan,informasi dan transportasi. Hanya negara dengan ekonomi yang sangat kuat dan menguasai teknologi, yang mampu menekan negara-negara lainnya untuk tunduk pada negosiasi diplomasi perdamaian yang ditawarkan.
Dalam lima tahun kedepan, Indonesia hendaknya dapat merevitalisasi peran-peran internasionalnya yang lebih progresif, terlibat dalam upaya menghentikan perang dan konflik yang melanda dunia, sebagai upaya menciptakan ketertiban dunia yang damai, yang menjadi prasyarat stabilitas kerja sama internasional untuk membangun kembali perekonomian dunia yang lebih cerah. Berbekal lima portofolio basis kekuatan diplomasi di atas, kebijakan Polugri Indonesia perlu me-review manfaat hubungan internasional dengan negara-negara di dunia yang tidak sekadar hubungan kesejarahan, namun lebih visioner melihat kepentingan nasional kita, sebagaimana semua negara melakukan hal yang sama untuk masa depan mereka.
Dengan demikian, di pengujung tahun 2034 nanti, Indonesia sudah memiliki plat-form kerja sama yang kokoh dengan negara-negara mitra strategisnya dalam bentuk perikatan strategic partnership yang menjamin roadmap Indonesia menuju target tercapainya negara dengan perekonomian terbesar ke-4 di dunia pada 2050. Dengan itu, Indonesia dapat menjadi tumpuan masyarakat dunia yang cinta damai dan mampu menciptakan ketertiban dunia. Insya Allah. [ Inilah.com ]
*Penulis adalah Guru Besar Ilmu Politik-Ekonomi Universitas Nasional, Duta Besar RI di Ukraina 2017-2021; Pengajar study geo-politic International di Golkar Institute of Leadership.