Apakabar Timor Lorosae Alias Timor Leste Hari Ini?

Ketika Komunisme tak lagi menjadi momok, maka Timor-timur pun lama-lama hanya menjadi kerikil dalam sepatu Indonesia, seperti ungkapan menteri luar negeri saat itu, Ali Alatas.
JERNIH– Jason Woodroofe, seorang penulis yang bergiat di Organization for World Peace (OWP), mengenang momen ketika berdiri di bawah patung Yesus Cristo Rei setinggi 27 m, menatap ke bawah perbukitan, menikmati indahnya kota Dili. Berdiri di sana, menurut dia, bisa membuat orang lupa bahwa Timor Leste memiliki masa lalu yang kelam seiring penjajahan, pendudukan dan kerusuhan sipil. Timor Leste alias Timor Lorosae, adalah negara terbaru ketiga di dunia.
Timor Leste adalah koloni Portugis hingga 1975, ketika kudeta di Portugal menyebabkan negara Eropa itu meninggalkan koloninya. Didorong kemungkinan Timor Leste menjadi negara komunis dan diundang sebuah faksi internal yang bertikai, sembilan hari kemudian Indonesia menyerbu wilayah yang tengah kalut tersebut, mendeklarasikannya sebagai provinsi ke-27 NKRI dengan nama Timor Timur.
Tapi wilayah itu lama-lama hanya menjadi beban bagi Indonesia. Kemiskinan akibat tanahnya yang kering tak subur, bertahun-tahun menjadi beban Indonesia. Apalagi di dunia internasional, manakala Komunisme tak lagi menjadi momok, maka Timor-timur pun lama-lama hanya menjadi kerikil dalam sepatu Indonesia, seperti ungkapan menteri luar negeri saat itu, Ali Alatas.
Dana pembangunan dari APBN Indonesia pun mengucur deras ke Dili, dan tampaknya menjadi bancakan para elit di sana pada zaman itu. Untunglah, berkah kemudian datang ke kedua pihak, baik rakyat Timor Leste maupun Indonesia, ketika pada 1999 hasil resmi Referendum akhirnya menegaskan wilayah itu berpisah dari Indonesia. Tiag tahun kemudian, 20 Mei 2002, Republik Demokratik Timor Leste dideklarasikan sebagai negara baru pertama di abad 21.
Namun 18 tahun berjalan, negara baru itu belum lagi ajek berdiri. Bahkan pada 2006, Timor Leste kembali jatuh ke dalam krisis dengan berperang di antara mereka sendiri. Saat itu diperkirakan lebih dari 100.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Timor Leste baru kembali tenang setelah Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta meminta Australia, Selandia Baru, Portugal, dan Filipina mengirimkan pasukan untuk membantu mereka.
Bagaimana kondisi negara tersebut saat ini? Laporan resmi Bank Dunia tahun 2020, yang beredar Juli lalu mencatat pertumbuhan ekonomi Timor Leste lambat dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Republica Democratica de Timor Leste itu masih menjadi salah satu negara yang masuk ke dalam katagori sebagaimana lagu dangdut Hamdan ATT, “Termiskin di Dunia”.
Laporan United Nations Development Programme (UNDP), Timor Leste berada di peringkat 152 negara sebagai negara termiskin dari 162 negara. Pendapatan per kapita Timor Leste diperkirakan mencapai 2.356 dollar AS atau sekitar Rp 34,23 juta (kurs Rp 14.532) pada Desember 2020—sesuatu yang pasti tak akan tercapai karena pandemic. Bandingkan dengan negara tetangga—Indonesia, yang juga tidak bagus-bagus amat, tetapi tercatat 4.174,9 dollar AS atau sekitar Rp 60 juta pada 2019 lalu.
Ekonomi Timor Leste bahkan sangat bergantung pada Australia dan Indonesia, terutama untuk barang-barang impor. Neraca fiskal Timor Leste juga terbilang buruk, karena anggaran pengeluaran publik yang terus meningkat. Sementara itu, mengutip data Timor Leste Economic Report yang dirilis Bank Dunia pada April 2020, ekonomi Timor Leste bakal semakin terpuruk di 2020 karena pandemi virus corona (Covid-19) dan kondisi politik yang belum stabil.
Wajar bila pekan lalu beredar berita yang kemudian terbukti hoaks, bahwa banyak warga Timor Leste yang memimpikan kembali bergabung dengan Indonesia dalam bingkai NKRI.
Bila ukuran-ukuran di atas lebih dekat kepada angka statistik yang rigid dan mati, mungkin Indeks Pembangunan Manusia (HDI) bisa mencerminkan apa yang dirasakan warga. Timor Leste berada di peringkat 131 dari 189 negara pada indeks pembangunan manusia (HDI) PBB. HDI memberi negara skor berdasarkan faktor-faktor seperti harapan hidup, pendapatan, dan pendidikan. Posisi itu membuat kondisi Timor Leste lebih dekat dengan negara-negara Afrika sub-sahara daripada kebanyakan tetangganya di Asia Tenggara. Ketika HDI disesuaikan untuk memperhitungkan ketidaksetaraan yang sangat besar di negara tersebut, skor Timor diturunkan menjadi hanya 0,450 yang akan menempatkannya tepat di bawah Yaman, sebuah negara yang tengah mengalami krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Kementerian Keuangan Timor Leste melaporkan pada 2011, sekitar 40 persen penduduk harus bertahan hidup dengan 30 dolar AS (sekitar Rp 330 ribu) per bulan atau kurang. Pendapatan Nasional Bruto (GNI) negara pada 2019 hanya 1.890 dolar AS (atau sekitar 160 dolar sebulan). Sementara, rata-rata elit pemerintah Timor Leste memiliki gaya hidup mewah yang laiknya bumi dengan langit bila dibandingkan apa yang dialami rakyat kebanyakan.
Selama ini, pemasukan Timor Leste sangat tergantung kepada minyak dan gas. Minyak Timor terletak di ladang minyak dan gas Bayu-Undan dan Greater Sunrise. Bayu-Undan menampung sekitar 350-400 juta barel minyak, dan Greater Sunrise memiliki sekitar 200 juta barel.
Persoalannya, sejarah membuktikan negara-negara tak bisa berharap kepada semata sumner daya alam. Anthony Fensom menulis artikel “Time (and Oil) Running Out for Timor-Leste“, mencatat 78 persen dari 1,38 miliar dolar total anggaran belanja pemerintah Timor Leste tahun 2017 dibiayai dari pemasukan negara sektor migas. Selama 10 tahun terakhir, sektor migas memberi pemasukan negara sebesar 20 miliar dolar.
Tapi masa itu mungkin tengah senja kala. Dengan 30-an persen penduduk dikategorikan miskin, tingkat pengangguran tinggi, dan tingkat pendidikan rendah, kini Timor Leste dihadapkan pada persoalan pelik: Bayu-Undan yang selama ini menjadi ladang migas sumber utama pemasukan negara diperkirakan bakal kering dua hingga empat tahun mendatang.
Dalam laporan “Timor Leste: Consistent Decline in Oil Revenues” yang dirilis oleh The Extractive Industries Transparency Initiative, disebutkan bahwa sektor migas menyumbang 1 miliar dolar pada 2015, atau 85 persen dari total pendapatan negara. Jumlah itu turun dari 3,8 miliar pada 2012, dan terus turun seiring harga minyak yang juga kian jeblok.
Pemerintah dan rakyat Timor Leste harus memutar otak untuk mencari pemecahan masalah mereka. [theowp.org dan sumber-sumber lain]