BAGEN: Luka yang Tak Mau Dirapikan

BAGEN…
(Puisi karya Syamsudin Bahar Nawawi)
Biar kata nyelab
tetep abang
sengget ati eneng.
Abang simpen di pangkeng
Bagen orang mao
ngomong apa.
Markeseng Lu!
Bagen…
Biar kata nih ati
jadi ora semenggah
Bagen…
Montong di aru-aru
Ati gua udah
telanjur mengkelap,
Ntakan ora keduman
Bagen…
Bakalan gua simpen
di leger kalo emang
di pangkeng
udah ora
keduman tempat.
***
BAGEN: Luka yang Tak Mau Dirapikan
oleh : IRZI Risfandi
“Markeseng lu!” tiba-tiba muncul bukan sebagai umpatan lepas, tapi sebagai penanda letih. Bukan letih yang datar, melainkan semacam titik batas antara perasaan yang ingin bicara dan kenyataan yang enggan mendengar. Kalimat itu mengantar kita masuk ke dalam dunia puisi “BAGEN…”, bukan dari depan, tapi dari tengah—di mana relasi sepasang kekasih telah sampai pada tahap saling mengabaikan dengan bahasa yang dipatahkan. Bang Syamsudin Bahar Nawawi tidak merapikan larik, tidak membentuk rima, tidak menyusun klimaks naratif. Ia hanya meletakkan potongan-potongan perasaan yang retak, digerakkan oleh logika hati yang mengelak, bukan oleh struktur puisi yang logis. Ini bukan puisi tentang cinta yang menggebu atau ratapan patah hati, melainkan tentang ketegangan yang tertahan di antara dua orang yang terlalu lama saling menyimpan, dan kini mulai saling mengendapkan luka dalam bahasa sehari-hari yang getir.
Puisi ini menghidupkan kembali bahasa Betawi sebagai arena emosi yang paling mentah. Kata-kata seperti “nyelab” (terlalu manis), “mengkelap” (naik darah), “pangkeng” (kamar), atau “leger” (bambu di dinding) bukan hanya aksesoris lokalitas, tetapi perangkat emosi yang sangat konkret. Mereka membawa kita ke dalam ruang-ruang kehidupan domestik: kamar tidur, dinding rumah, suara tangisan yang ditahan, dan perasaan yang dibiarkan meresap. Relasi antara “abang” dan “eneng” di sini tidak sedang manis-manisnya. Mereka sudah sampai pada tahap “tetep sengget”—masih terikat, masih ditarik, tapi tidak lagi utuh. Dan baris “bagen orang mao ngomong apa” bukanlah sikap pasrah dalam pengertian spiritual, tapi bentuk retoris yang getir—semacam pengakuan bahwa apa pun yang dikatakan, tak akan bisa mengubah apa-apa.
Di setiap pengulangan kata “bagen”, kita tidak sedang membaca penegasan, melainkan penahanan. “Bagen” dalam puisi ini adalah semacam rem. Ia tidak menyelesaikan pertengkaran, tetapi menahannya agar tidak meledak. Ini sangat khas dari bentuk afek sehari-hari dalam relasi pasangan urban yang sudah lelah dengan pertikaian. Tidak ada yang benar-benar menang, tidak ada yang benar-benar pergi. Yang ada hanya ruang yang makin sempit, kata yang makin pendek, dan kemarahan yang berubah menjadi diam. Inilah relasi cinta yang tidak ingin dinarasikan sebagai tragedi, tetapi juga tidak sanggup menjadi komedi.
Dalam hal ini, puisi bekerja seperti fragmen kehidupan yang tidak ditampilkan di sinetron: cinta yang tetap ada tapi tidak lagi diberi tempat. “Abang simpen di pangkeng” adalah simbol afeksi yang dulu, tapi sekarang “udah ora keduman tempat”. Maka tubuh si kekasih disimpan “di leger”—di tepi, di antara dinding, di tempat yang tidak untuk ditinggali tapi cukup untuk ditaruh. Ini adalah metafora keintiman yang retak: bukan perpisahan keras, melainkan penggeseran perlahan. Dalam konteks relasi pasangan, ini sangat nyata—terutama dalam hubungan yang telah kehilangan percakapan namun tetap saling hadir karena tak tahu cara keluar.
Yang membuat puisi ini terasa begitu kuat adalah keputusannya untuk tidak menyelesaikan. Setiap larik dipecah, diberhentikan mendadak, seolah meniru pola bicara orang yang menahan tangis atau amarah. Ini bukan estetika kemiskinan atau kesengajaan acak. Ini adalah bentuk kontra-estetika, di mana puisi tidak tunduk pada tuntutan kerapihan formal. Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa perasaan dalam relasi yang remuk memang tidak pernah bisa rapi. Dan bahasa Betawi dalam puisi ini justru memperkuat aura itu: ia kasar, ia hidup, dan ia menolak dibakukan.
Puisi ini juga berfungsi sebagai arsip mikro dari cinta yang berantakan tapi tidak diumumkan. Tidak ada deklarasi putus, tidak ada kata pisah. Yang ada hanyalah tubuh yang tidak diberi tempat, hati yang mengkelap, dan kamar yang sudah terlalu sempit. Dalam dunia sastra yang sering menuntut narasi utuh tentang relasi, puisi ini memberi kita pengalaman yang lebih nyata: bahwa sebagian besar cinta tidak selesai dengan tanya-jawab, tapi dengan saling diam dan saling menjauh dari pusat. Dan “bagen” menjadi mantra yang menandai titik itu—satu kata yang mengandung seribu luka yang enggan diurai.
Jika kita membaca ini sebagai potret hubungan, maka kita membaca cinta yang tetap terhubung oleh bekasnya, bukan oleh keinginannya. “Tetep abang sengget ati eneng”—cinta tetap ada, tapi hanya sebagai tarikan. Bukan pelukan, bukan doa. Cinta sudah menjadi sesuatu yang harus disingkirkan secara perlahan ke dinding rumah. Dan justru karena itu, puisi ini tidak menawarkan katarsis. Ia tidak memberi ruang untuk menyeka air mata. Ia hanya memberi ruang untuk menunda bicara. Untuk berkata, “baiklah,” bukan karena rela, tetapi karena terlalu lelah untuk meneruskan.
Dan di akhir larik, ketika tidak ada penutup megah, kita hanya mendengar: “kalau emang di pangkeng udah ora keduman tempat.” Kalimat ini menggantung tanpa makna literal yang selesai. Ia tidak menyuruh, tidak melarang, hanya memberi tahu bahwa cinta yang terlalu lama tinggal bisa kehilangan kamar tidur. Dan di situlah puisi ini berhenti—bukan sebagai akhir, tapi sebagai ruang sisa tempat luka dibiarkan menempel. Tak dirapikan, tak ditertibkan. Cukup ditaruh. Cukup, Bagen!.
2025
Glosari Istilah Betawi dalam Puisi “BAGEN…”
Bagen berarti “baiklah” atau “tidak apa-apa” dalam pengertian sehari-hari. Namun dalam konteks puisi ini, ia mengandung nada getir dan pasrah—bukan penerimaan damai, melainkan bentuk penahanan emosi yang tidak bisa diungkapkan dengan amarah terbuka. Kata ini diulang sebagai refrain yang menyimpan tekanan psikologis dan perasaan yang belum tuntas.
Nyelab merujuk pada sesuatu yang “kemanisan” atau terlalu manis secara berlebihan. Dalam puisi, kata ini digunakan untuk menggambarkan cinta yang dulunya terasa manis tapi kini justru menyakitkan—terlalu manis hingga terasa menyesakkan.
Sengget berarti dikait atau ditarik menggunakan alat galah yang tajam, biasanya untuk memotong buah di pohon tinggi. Dalam puisi, ini menjadi metafora bagi hubungan yang penuh keterikatan emosional, tapi sifatnya menusuk dan menyakitkan, bukan lagi lembut atau nyaman.
Ati (ati gua) mengacu pada hati atau perasaan yang terdalam. Dalam bahasa Betawi, “ati” sering jadi pusat dari ungkapan emosi. Di puisi ini, “ati” digunakan untuk menandai bahwa luka, marah, dan kecewa semuanya mengendap dalam batin, bukan sekadar di permukaan.
Pangkeng adalah kamar tidur, ruang paling privat dalam rumah. Dalam konteks puisi, kamar ini jadi simbol dari ruang batin, tempat seseorang disimpan dalam kenangan atau rasa. Ketika “di pangkeng udah ora keduman tempat,” itu berarti cinta atau sosok kekasih sudah tidak lagi punya tempat dalam hati.
Markeseng merupakan ungkapan untuk menyebut seseorang yang “banyak tingkah”, sok gaya, atau bertingkah melebihi batas. Dalam puisi, ini muncul sebagai ungkapan kejengkelan yang spontan, menunjuk pada ketidaksabaran terhadap sikap pasangan.
Semenggah berarti pantas atau layak dilihat. Namun di sini, “ati jadi ora semenggah” mengisyaratkan bahwa perasaan sudah kehilangan martabatnya—terlalu babak belur untuk terlihat indah atau wajar.
Mengkelap adalah kondisi saat emosi sudah memuncak, mirip dengan istilah “naik pitam” atau “darah naik ke kepala”. Ungkapan ini memperlihatkan betapa tekanan batin sudah melewati batas kendali.
Montong di aru-aru artinya “jangan dibahas-bahas lagi” atau “cukup sudah”. Ini adalah penanda seseorang yang ingin mengakhiri percakapan emosional karena sudah terlalu lelah untuk menjelaskannya.
Ntakan bermakna “disebabkan oleh” atau “dikarenakan”. Kata ini menandai bahwa kemarahan dalam puisi bukan datang dari dalam diri, tapi reaksi terhadap perlakuan yang dirasa tak adil atau menyakitkan.
Keduman artinya mendapat bagian, urusan, atau perhatian. Saat dikatakan bahwa “ora keduman tempat,” itu menandakan sudah tidak dianggap lagi, tidak diurus, atau tidak menjadi prioritas.
Leger adalah potongan bambu atau kayu horizontal di tembok rumah tradisional, tempat menyandarkan benda. Dalam puisi, “disimpen di leger” adalah metafora menyakitkan: ketika seseorang tak lagi diberi tempat utama (di kamar atau hati), hanya cukup diselipkan di pinggir, diam-diam, di tempat yang tidak hangat lagi.