Bom Molotov di Taman Puisi: Ketika Kata-Kata Jadi Senjata

Oleh Irzi
Puisi “Vox Populi Vox Dei” karya Doddi Ahmad Fauji adalah semacam kombinasi antara khutbah jalanan, manifesto revolusioner, dan panduan DIY meracik bom molotov versi pujangga. Bukan dalam artian literal, tentu saja — ini puisi. Tapi gaya bicara Doddi terasa seperti suara yang menyeruak dari celah-celah poster usang demonstrasi, menyala dengan retorika membara dan simbolisme yang kasar namun efektif. Kalimat pembuka “sambil mempelajari teknik meracik bom molotov” langsung menghentak pembaca seperti lagu punk yang tidak menunggu intro. Ia memadukan kekerasan simbolik dengan tempat manis seperti pohon linden, menciptakan kontras imajinatif yang absurd tapi menarik: dari situ kita tahu ini bukan puisi yang ingin berdamai-damai saja.
Di bait-bait selanjutnya, Doddi tidak malu-malu menggunakan diksi yang lugas dan bahkan kasar untuk menyatakan sikap politisnya. Kalimat seperti “rakyat tak punya senjata untuk berhadapan dengan aparat” menunjukkan kesadaran struktural yang pahit — puisi ini sadar bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat politis, tapi juga militeristik dan brutal. Istilah “anjing peliharaan koruptor” pun seperti terlempar dari halaman koran rakyat murka, bukan dari halaman puisi klasik. Tapi begitulah gaya Doddi — dia sengaja mengaburkan batas antara puisi dan pamflet, antara estetika dan agitasi, lalu berdiri di tengahnya sambil menyeringai: “Jangan takut, kawan!”
Apa yang menarik adalah bagaimana Doddi menyeimbangkan antara kemarahan dan iman — “suara rakyat adalah firman Tuhan.” Di sinilah puisinya melompat dari sekadar orasi menjadi bentuk spiritualitas politik. Konsep “Vox Populi Vox Dei” yang dalam sejarah digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan demokratis, di tangan Doddi menjadi mantra subversif. Ia menyandingkan kekuatan rakyat dengan Kehendak Tuhan — semacam doktrin revolusioner suci. Ini bukan puisi yang hanya ingin berteriak, tapi puisi yang ingin membakar altar kekuasaan dengan obor suci dari hati nurani.
Namun, kekuatan besar puisi ini juga menjadi tantangan: seberapa jauh puisi bisa dan boleh menyerukan bentuk perlawanan yang (di permukaan) tampak destruktif? Apakah metafora bom molotov bisa tetap dibaca sebagai simbolik dan tidak literal di zaman yang gampang sekali tersulut oleh paranoia? Di sinilah posisi puisinya jadi penting: ia berdiri di pinggir, menegangkan batas antara kritik dan agitasi, antara estetika dan militansi. Tapi justru di situ letak keberanian Doddi. Ia tidak pura-pura manis. Puisinya tidak bermain di taman bunga, tapi di jalan yang penuh batu dan gas air mata.
“Vox Populi Vox Dei” adalah puisi yang sadar kelas, sadar sejarah, dan sadar resiko. Ia bukan sekadar puisi marah; ia adalah puisi yang tahu kenapa marah itu perlu. Dalam semesta sastra Indonesia hari ini, keberanian semacam ini — untuk menulis bukan hanya yang indah, tapi juga yang genting — adalah sesuatu yang tak boleh diabaikan. Sebab, seperti kata Doddi, ketika kebenaran terus-terusan mereka kangkangi, kita butuh lebih dari sekadar puisi indah — kita butuh puisi yang mengguncang. Dan puisi ini tahu betul cara menyalakan sumbunya.
IRZI : 2025
Berikut puisi lengkap Puisi Doddi Ahmad Fauji
VOX POPULI VOX DEI
Sambil mempelajari
teknik meracik bom molotov
aku berfirman di pohon linden
tempat tawon gemar bersarang
kami siap menjadi gerombolan ronin
Maka wahey saudara satu hari nurani
singsingkan jauh-jauh ketakutanmu
asah kembali jurus-jurus pamungkas
karena nyata rakyat tak punya senjata
untuk berhadapan dengan aparat
dengan anjing peliharaan koruptor
Ketika penguasa dikendalikan cukong
mereka jadi begitu gemar berbohong
mereka telah tuli, buta, dan bisu, untuk
mendengar, melihat, dan mengucapkan
kebenaran yang menyala di hatinya juga
Jangan takut, kawan!
suara rakyat adalah firman Tuhan
sekejam dan sekuat apapun Orde Baru
tak berkutik melawan Kehendak Tuhan
yang bersarang di hati nurani Rakyat
kelak meledak bersama bom molotov
yang telah kuracik hingga matang
jika kebenaran terus-terusan
mereka kangkangi!
Bandung, 2025