Di Nagorno-Karabakh Damai, Krisis Politik Merebak di Armenia
Yang jelas, bagaimana pun resminya Nagorno-Karabakh merupakan teritorial Azerbaijan, meski dihuni etnis Armenia dan Azeri sejak ratusan tahun lalu, sampai akhirnya gencatan senjata 1994 justru mengusir warga Azerbaijan dari kawasan tersebut.
JERNIH– Puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Armenia, Yerevan, menuntut mundur Perdana Menteri Nikol Pashinyan menyusul perjanjian damai di Nagorno Karabakh. Gencatan senjata itu dibuat usai militer Azerbaijan menduduki sejumlah wilayah kunci di kawasan yang dulu dikuasai militan Armenia.
Aksi protes yang digelar oleh kelompok oposisi dikabarkan disambangi hingga 10.000 orang. Sebagian demonstran terlibat baku hantam dengan aparat keamanan. Mereka meneriakkan “Nikol, pergi dari sini” dan “Nikol sang pengkhianat” di depan gedung pemerintah.
Ketegangan di Yerevan dipicu oleh perjanjian damai yang dimediasi Rusia dan Turki. Kesepakatan yang dirayakan di Azerbaijan, namun memicu rasa gundah di wilayah jiran yang bermusuhan itu, mensyaratkan militer Armenia harus mengembalikan wilayah yang didudukinya di luar Nagorno-Karabakah.
Kawasan yang harus dikembalikan termasuk wilayah Lachin, yang menjadi satu-satunya jalur penghubung antara Armenia dan Nagorno-Karabakah. Perjanjian damai mengusulkan pembentukan koridor kemanusiaan yang tetap dibuka dan dijaga oleh pasukan penjaga perdamaian Rusia.
Armenia juga diwajibkan membuka jalur khusus bagi Azerbaijan untuk mengakses wilayah teritorialnya di Nakhchivan yang dikelilingi oleh Armenia, Turki dan Iran. Kawasan eksklave tersebut terletak terpisah dari Azerbaijan.
Trauma sejarah
Tidak heran jika bagi sebagian warga Armenia, perjanjian tersebut mencederai keutuhan teritorial negara. Nagorno “adalah kebudayaan kami, jiwa kami yang sekarang hilang. Belum lagi mengingat pengorbanan cuma-cuma ribuan tentara kita, yang mati atau terluka,” kata Jenny, seorang mahasiswi di Yerevan yang ikut berdemonstrasi.
“Anda tidak akan mampu menghentikan seisi negeri,” kata anggota parlemen dari Partai Kesejahteraan Armenia, Arman Abovyan, yang ikut berorasi dalam aksi demonstrasi di Yerevan, meski adanya larangan berkumpul menyusul wabah corona.
Kepolisian mengumumkan telah menahan 135 orang, termasuk tokoh oposisi Gagik Tsarkuyan. Semua dibebaskan usai aksi protes bubar.
“Azerbaijan menang secara militer dan Armenia mengalami kekalahan telak. Dan perasaan dipermalukan bukan pondasi yang kuat bagi perdamaian berkelanjutan,” tulis International Crisis Group, dalam laporan terbarunya yang dirilis Kamis (12/11).
Bagi warga Armenia, keterlibatan Turki dalam perang di Nagorno memperkuat sentimen nasionalistik yang lahir dari trauma sejarah. Di laman editorial bulanan politik yang pro-Armenia, Le Monde Diplomatique, pakar Armenia Avedis Hadjian, menulis betapa sebagian warga meyakini, agresi Turki merupakan babak lanjutan dari episode kelam berupa genosida terhadap etnis Armenia di era Utsmaniyah antara 1914 dan 1923. Perang ini, kata dia yang tentu saja memiliki semangat dan cinta Armenia, dipandang sebagai cara “untuk menyelesaikan proyek yang dimulai seabad silam.”
Yang jelas, bagaimana pun resminya Nagorno-Karabakh merupakan teritorial Azerbaijan, meski dihuni oleh etnis Armenia dan Azeri sejak ratusan tahun lalu, sampai akhirnya gencatan senjata 1994 mengusir warga Azerbaijan dari kawasan tersebut.
Kekuasaan milisi Armenia di kawasan yang dinamakan Republik Artsakh itu sendiri tidak diakui oleh pemerintah di Yerevan. Namun Armenia membantu melindungi status quo dengan dukungan finansial dan militer.
Militer Armenia mengkhawatirkan Azerbaijan akan menduduki lebih banyak wilayah di Nagorno-Karabakh, usai menduduki kota kedua terbesar, Shushi, pada awal pekan lalu. Tidak heran jika amarah memuncak ketika damai disepakati saat tentara Armenia sedang terdesak mundur. Usai perang selama enam pekan, wilayah yang dikuasai Armenia menyusut tajam, termasuk di wilayah yang berada di luar Nagorno-Karabakh.
Bagi Perdana Menteri Pashinyan, situasi menjadi semakin runyam karena parlemen setuju membahas tuntutan mundur dari para demonstran pada Kamis (12/11). Dia berdalih tidak punya pilihan selain menyetujui butir perjanjian damai.
Pashinyan mengklaim, keputusan diambil atas desakan petinggi militer sendiri, yang khawatir militer Azerbaijan akan menduduki semua wilayah Nagorno, menyusul kejatuhan kota terbesar kedua, Shushi, tiga hari lalu.
Keputusan “ini adalah kesalahan besar dan sebuah bencana,” kata Pashinyan, Selasa (10/12) lalu. Dia mengatakan dirinya bertanggungjawab atas kekalahan di Nagorno, tapi menolak meletakkan jabatannya.
Senin lalu, sebelum perjanjian damai diratifikasi, sebanyak 17 partai menyerukan agar Pashinyan mengundurkan diri, termasuk oleh bekas Perdana Menteri Serzh Sarkisian yang dilengserkan Pashinyan pada 2018 silam.
Seruan itu juga diamplifikasi Vitaly Balasanyan, “pahlawan” Armenia dalam perang pertama melawan Azerbaijan pada dekade 1990an. Sosok berpengaruh itu menyerukan “semua kekuatan politik di Armenia” dan Karabakh “ untuk mendorong perdana menteri agar lengser.” [AP, AFP, Reuters, Deutsche Welle]