ISIS Mengaku Bertanggung Jawab Serangan Brutal di Wina
Serangan teror di Wina diklaim oleh phak ISIS. Kujtim Fejzulai masih menjadi satu-satunya tersangka penyerangan. Fejzulai berhasil mengelabui program deradikalisasi kehakiman. 14 orang ditahan untuk dimintai keterangan.
Jernih — Pada Selasa (3/11/2020) malam waktu Austria, Kantor Berita Amaq merilis sebuah pernyataan yang diposting di aplikasi perpesanan Telegram. Isinya menyatakan bahwa ISIS bertanggungjawab atas serangan teror di Wina yang menewaskan empat orang dan 22 orang lainnya tersebut.
Otoritas Austria telah merilis identitas pelaku teror bersenjata yang mengguncang Kota Wina Senin (2/11/2020) malam. The Guardian mengabarkan pria berkewarganegaraan Austria dan Makedonia Utara itu bernama Kujtim Fejzulai (20).
Sejauh ini, Fejzulai masih menjadi satu-satunya tersangka sebab belum ada bukti yang mengarah pada penyerang lainnya.
Di hari yang sama, pusat kota Wina ditutup dan dijaga ketat. Sekitar seribu petugas kepolisian berpatroli di jalan-jalan kota itu. 14 orang ditahan dan dimintai keterangan setelah pihak keamanan memeriksa 18 tempat, termasuk apartemen. Mereka diduga terlibat atau berafiliasi dengan jaringan ISIS tersebut.
Nehammer menyatakan bahwa Fejzulai yang membawa senapan otomatis AK-47, pistol, senjata tajam, dan mengenakan rompi bunuh diri palsu tersebut sempat mengunggah foto dirinya di Instragram sesaat sebelum penyerangan.
Pria ini ditembak mati polisi dalam sebuah baku tembak yang terjadi sembilan menit setelah serangan pertama di depan sinagog Yahudi di Wina pada pukul 8 malam waktu setempat.
Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer menyatakan, pria simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) tersebut pernah dijatuhi hukuman penjara 22 bulan sejak 25 April 2019 di Austria karena berupaya masuk Suriah melaui Turki secara ilegal namun gagal.
Fejzulai ditangkap otoritas Turki dan dideportasi ke Austria pada September 2018. Tujuannya ke Suriah tak lain untuk bergabung dengan ISIS. Namun, ia hanya menjalani hukuman kurungan tersebut selama lebih kurang tujuh bulan karena terkait hak-hak anak usia 18-20 tahun sesuai hukum Austria.
Pada 5 Desember 2019 ia bebas bersyarat dan dipantau secara rutin oleh lembaga terkait. Ia diharuskan mengikuti program deradikalisasi dari lembaga sosial bernama Derad yang bekerjasama dengan Kementerian Kehakiman Austria.
Menurut Nehammer, pria kelahiran Kota Mödling yang dilaporkan tertarik bergabung dengan ISIS sejak remaja ini “menipu” mentornya di program deradikalisasi.
Menteri dari Partai Rakyat Austria (ÖVP) yang konservatif itu menambahkan bahwa Fejzulai sengaja menciptakan kesan ketika bertemu dengan mentornya bahwa ia ingin kembali berintegrasi dengan masyarakat Austria.
“Kami melihat kesalahan dalam sistem kami. Ada pembebasan dini orang yang [masih] teradikalisasi,” tutur Nehammer.
Ketika tersandung “kasus ISIS” pada 2019, pernah ada upaya pencabutan kerwarganegaraan Fejzulai, namun gagal karena dianggap tidak ada cukup bukti yang mengarah pada aktivitas teroris yang ia lakukan.
“Faktanya, ia berhasil mengelabui program deradikalisasi kehakiman…kita perlu mengevaluasi dan mengoptimalkan sistem di sisi peradilan,” imbuh Nehammer.
Derad sendiri merupakan sebuah asosiasi yang berbasis di Wina. Ada 13 mentor di sana yang berkerja dengan “orang-orang radikal” atau orang yang sedang menjalani hukuman akibat kasus terorisme.
Program ini memungkinkan memantau seseorang yang dianggap berpotensi membahayakan masyarakat dalam jangka waktu yang lama, lebih lama dari pada orang tersebut berada diluar hukum penjara.
Direktur Derad, Mousa Al-Hassan Diaw, ia menolak laporan media Austria yang menyatakan bahwa lembaganya telah “meloloskan” Fejzulai sebagai orang yang tidak menjadi ancaman dan dengan demikian menjamin pembebasanya.
Hassan Diaw menyatakan, lembaganya hanya memberikan laporan berdasarkan pertemuan dua bulan sekali dengan para tersangka yang dapat ditarik ke pengadilan.
“Sampai program deradikalisasi dihentikan sepenuhnya, selalu ada unsur resiko,” kata Hassan Diaw.