Muslim di Timor Leste Makin Habis

Umat Muslim di Timor Leste berkurang dari 80.000 menjadi 200 di 1999. Data ini tak menunjukkan peningkatan hingga hari-hari ini.
JERNIH– Muslim dulu membentuk 10 persen dari penduduk Timor Leste yang didominasi Kristen, sebelum pemberian kemerdekaan dari Indonesia dua dekade lalu. Pada 1999 jumlahnya hanya mendekati 200 orang.
Padahal kaum Muslim telah tinggal di Timor Leste selama puluhan tahun, pasca-bermigrasi dari Sumatera dan provinsi terdekat lainnya di Indonesia di bawah program transmigrasi yang disponsori pemerintah Presiden Soeharto.
Tepat sebelum kekerasan dan kekacauan pada September 1999, setelah pemungutan suara kemerdekaan di Timor Leste, komunitas Muslim berjumlah hampir 80.000 orang. Menyusul kekacauan tersebut, banyak yang melarikan diri ke Timor Barat (NTT), Indonesia bersamaan dengan penarikan pasukan Indonesia dari provinsi tersebut.
Pemimpin komunitas Muslim Timor Leste, Jamal Jamun menyatakan kepada warga sipil Muslim di Timor Leste tidak dipolitisasi, jadi mereka tidak menimbulkan masalah bagi orang Timor. Bahkan selama puncak kekacauan, di mana para milisi mengamuk, menyerang pendukung pro-kemerdekaan, komunitas Muslim tetap tidak terluka. Meskipun beberapa rumah mereka dihancurkan oleh pembakaran di desa-desa di seluruh Timor Timur, kaum Muslim terhindar dari pembantaian yang merenggut nyawa ratusan orang Timor.
Namun, kaum Muslim lari berlindung di sebuah masjid di Dili di mana mereka terus hidup hingga saat ini, karena takut akan reaksi dari orang-orang Timor yang mungkin mencurigai kaum Muslim sebagai pendukung Indonesia.
Namun demikian, komunitas Muslim berbesar hati dengan jaminan yang diberikan oleh para pemimpin Timor-–Xanana Gusmao dan Uskup Carlos Belo-– bahwa umat Islam akan diterima di negara ini jika mereka tidak terlibat dalam politik.
Untuk menunjukkan ketulusan mereka, umat Islam telah menyuarakan kesiapan untuk menjadi warga negara Timor Leste, setelah jatuh cinta pada pesona bangsa baru yang kini siap mereka sebut sebagai kampung halaman, tulis Etan.org.
Dalam sejarahnya, para pendatang Arab Hadramaut yang beragama Islam bahkan sudah tiba di Timor Leste sebelum Portugis. Kala itu mereka memang belum menetap hingga abad ke-17. Setidaknya 26 fam Arab Hadramaut pernah menetap di Dili sejak 1678 hingga 1975. Konon mereka dicurigai pemerintah kolonial Portugis. Beberapa di antaranya pernah dipenjara tanpa ada sebabnya.
Masyarakat Arab Hadramaut tinggal di Kampung Alor, Dili bagian barat, sejak abad ke-19. Daerah ini lantas dijadikan lokasi pendaratan Marinir Indonesia dalam serangan besar-besaran atas Dili, 7 Desember 1975. Sebagaimana dicatat Melissa Johnston dalam “A ‘Muslim’ Leader of a ‘Catholic’ Nation”, sejumlah orang dalam komunitas Arab di Dili mendukung Partai Apodeti dan integrasi Timor Portugis ke Indonesia.
Penyebaran Islam di Timor Leste juga tak bisa dilepaskan dari andil Mari bin Amude Alkatiri, politikus kelahiran Desember 1949, yang notabene sudah dua kali jadi Perdana Menteri Timor Leste (2002-2006 dan 2017-2018). Ia disebut-sebut masih bertalian dengan fam keluarga Arab Hadramaut. Kakek Mari Alkatiri dari garis ayah tiba di daerah Timor Leste sekitar 200 tahun lalu. Mulanya ia berdagang, lalu menjadi petani, dan membeli lahan luas di Fatuhada, Dili.
Sampai akhirnya Indonesia menduduki Timor Leste, militer mendukung penyebaran Islam. Van Klinken mengatakan, para perwira dan prajurit yang aktif dalam Rawatan Rohani Islam, organisasi kerohanian tentara, gemar berdakwah di Timor Leste. Selain itu, organisasi Islam paling aktif di Timtim ialah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Kegiatan DDII didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI). DDII ini yang kelak kemudian mendirikan Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin).
Puncaknya pada referendum kemerdekaan yang disusul dengan kerusuhan besar, sebagian besar penduduk Muslim Timor Leste yang pro-Indonesia menyeberang ke NTT. Itulah sebabnya, jumlah penduduk Muslim di Timor Leste menyusut dibanding sebelum merdeka. [Etan.org]