Hingga berita ini dirilis, belum ada satu pun kandidat vaksin yang mendapat izin resmi untuk segera digunakan dan diedarkan.
JERNIH—Itulah pertanyaan yang sering kali terdengar di antara kita, seirig pandemic yang telah berlangsung sekian lama. Hampir setahun!
Di seluruh dunia saat ini tercatat ada 160 kandidat vaksin. Lima puluh diantaranya sudah melakukan uji klinis, untuk mengetes kandidat potensial vaksin virus corona penyebab Covid-19. Namun hingga berita ini dirilis, belum ada satu pun kandidat vaksin yang mendapat izin resmi untuk digunakan dan diedarkan.
Perusahaan Bio-farmasi Jerman BioNTech yang digandeng Pfizer dari AS, yang pertama mengumumkan kandidat vaksin mereka yang diberi nama BNT162b2 terbukti punya keampuhan 95 persen. Disusul perusahaan bio-farmasi AS, Moderna yang mengumumkan kandidat vaksinnya, mRNA-1273 memiliki keampuhan hingga 94,5 persen.
Sejauh mana kemajuan pengembangan vaksin?
BioNTech sudah menguji coba kandidat vaksinnya pada tahapan ketiga dengan lebih dari 43.500 responden. Moderna melaporkan melakukan uji coba tahap tiga pada lebih dari 30.000 responden. Sementara Sinovac dari Cina melakukan uji klinis tahap ketiga pada 29.000 responden.
Selebihnya, sebagian besar kandidat vaksin Covid-19 masih berada dalam tahapan uji pra-klinis. Dalam arti, ujicoba baru dilakukan di laboratorium dan dites pada binatang, bukan pada manusia.
Jika uji klinis dinyatakan sukses, sebuah perusahaan bisa mengajukan permohonan resmi ke jawatan regulasi, untuk mendapat izin penggunaan oleh publik.
Sejauh ini ada tiga jawatan regulasi obat, vaksin dan makanan yang reputasinya diakui secara global, yakni : The Food and Drug Administration (FDA) di AS, European Medicines Agency (EMA) di Eropa, dan Pharmaceuticals and Medical Device Agency di Jepang.
Perusahaan mana yang sudah uji klinis tahap lanjut?
Saat berita ini dirilis, ada lebih dari 100 tim peneliti di seluruh dunia, yang meneliti dan mengembangkan vaksin Covid-19. Namun sejauh ini baru ada 10 tim atau perusahaan yang sudah memasuki fase tiga yang merupakan tahapan akhir uji klinis kandidat potensial vaksin Covid-19.
Lima perusahaan tercatat melakukan uji klinis secara ekstensif dengan sampel skala besar. Perusahaan Belgia, Janssen Pharmaceutical, melakukan uji coba kandidat vaksinnya pada sekitar 90.000 orang di AS, Argentina, Brazil, Colombia dan Belgia. Vaksinnya berbasis vektor virus non-replicating, yang tidak tidak bisa berkembang biak dalam tubuh manusia.
University of Oxford berkolaborasi dengan AstraZeneca di Inggris, melakukan uji klinis kandidat vaksinnya pada sekitar 60.000 orang di AS, Chile, Peru dan Inggris. Vaksinnya berbasis vektor virus non-replicating.
Perusahaan Cina Sinopharm bekerja sama dengan Beijing Institute dan Wuhan Institute, melakukan uji klinis bersama pada sekitar 55.000 orang responden di Bahrain, Yordania, Mesir Maroko, Argentina dan Peru. Vaksinnya berbasis virus yang inaktif.
Perusahaan Jerman BioNTech melakukan uji klinis pada 44.000 orang responden di AS, Argentina dan Brazil. Vaksinnya berbasis teknologi paling anyar messenger RNA atau mRNA.
Perusahaan Cina lainnya, CanSino, melakukan ujicoba kandidat vaksinnya pada sekitar 41.000 orang di Pakistan.
Kapan vaksin tersedia?
Normalnya, perlu beberapa tahun untuk mengembangkan vaksin yang efektif dan aman. Di masa lalu, rata-rata dibutuhkan waktu antara 10 hingga 12 tahun bahkan lebih lama lagi. Misalnya pengembangan vaksin HIV sudah dilakukan sejak awal tahun 1980-an, namun hingga kini tidak menunjukkan keberhasilan.
Dalam kasus pengembangan vaksin Covid-19, ada anomali. Para peneliti ibaratnya tancap gas, ngebut untuk mengejar waktu, menimbang pandemi yang sudah menginfeksi dan membunuh jutaan orang. Walau ada tekanan pandemi, World Health Organization (WHO) tetap menegaskan, tidak ada kompromi dalam masalah keamanan vaksin.
Kini para peneliti mengupayakan akselerasi, agar dalam masa pandemi, waktu untuk pengembangan dan keluarnya izin rata-rata bisa dituntaskan dalam 17 bulan.
Namun itu baru tahapan awal. Jika uji coba fase tiga sukses dan vaksin diberi izin serta diproduksi secara massal, para periset mulai dengan fase empat, yakni memonitor progresnya pada orang yang mendapat vaksinasi.
Prioritas dan alokasi vaksin perdana
Jika sebuah vaksin sudah mengantungi izin, tidak serta merta semua orang bisa divaksinasi. Pasalnya, mula-mula vaksinnya harus diproduksi secara massal. Vaksin Covid-19 misalnya, BioNTech dan Moderna mengklaim, hingga akhir tahun akan mampu memproduksi ratusan juta dosis. Diperkirakan hingga akhir tahun 2021 sudah bisa diproduksi miliaran dosis vaksin Covid-19.
Setelah itu ada rantai logistik yang rumit dan panjang, mengingat produk vaksin dan obat-obatan perlu penanganan khusus dan teknologi tinggi. Para politisi dan lembaba dunia kemudian harus memutuskan, siapa saja yang mendapat prioritas vaksinasi perdana.
Namun pada akhirnya, masing-masing individu yang harus memilih, mau divaksin atau tidak? Banyak warga di Jerman misalnya, menolak tegas imunisasi alias vaksinasi dengan beragam alasan. Namun riset di 35 negara menunjukkan, mayoritasnya justru meminta segera mendapat vaksinasi Covid-19.
Tidak ada vaksin yang sepenuhnya efektif
Juga yang harus dipahami orang awam, tidak ada vaksin atau obat yang aman atau menjamin keampuhan hingga 100 persen. Selain itu, vaksin Covid-19 juga dibuat dengan beragam cara dan teknologi. Artinya, keampuhan atau efek sampingannya akan berbeda pada tiap vaksin dan tiap individu.
Para ilmuwan menekankan, vaksinasi bertujuan memicu sistem kekebalan tubuh pada virus SARS-Cov-2 pemicu Covid-19 dan juga menyimpan memorinya. Dengan itu, jika di kemudian hari terpapar virus yang asli, sistem imunitas tubuh bisa memeranginya.
Juga diwanti-wanti, tidak ada kekebalan tubuh yang abadi terhadap virus yang terus mengalami mutasi sesuai hukum evolusi. Kekebalan tubuh terhadap virus corona terus menurun seiring waktu, dan ada kemungkinan tubuh terinfeksi ulang. Namun diharap, gejalanya tidak parah, karena tubuh sudah dipersiapkan menghadapinya. [Gianna Grün/ Deutsche Welle]