Ini yang Membuat Kampanye Internasional Gerakan Kemerdekaan Papua Kandas
JAKARTA—Situs matamatapolitik.com, begitu pula situs thejakartapost hari ini menerjemahkan (pada Jakarta Post mengunggah ulang) sebuah tulisan dalam The Conversation. Di bawah kami ikut mengunggah tulisan yang membuat dua situs tersebut ikut menggunggah, tentu dengan penerjemahan dan interpretasi kami akan tulisan itu.
Pada Januari 2019, aktivis Papua menyampaikan petisi ke PBB, menuntut referendum kemerdekaan Papua.
Enam bulan kemudian, protes pecah setelah polisi menangkap 43 mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Rekaman penangkapan, menurut laporan The Conversation, polisi melakukan pelecehan ras terhadap mahasiswa asli Papua,.
Dalam beberapa bulan setelah insiden itu, para pengunjuk rasa turun ke jalan, menuntut diakhirinya diskriminasi rasial terhadap orang Papua di Indonesia, dan menyerukan referendum kemerdekaan untuk wilayah tersebut.
Menurut analisis Emma Kluge yang dimuat di The Conversation, protes baru-baru ini terbentuk di atas sejarah panjang aktivisme Papua dalam menanggapi penindasan pemerintah Indonesia, rasisme, dan penolakan terhadap keinginan Papua untuk kemerdekaan.
Pada awal 1960-an, kaum nasionalis Papua memperdebatkan hak mereka atas kemerdekaan, di bawah Deklarasi Dekolonisasi PBB tahun 1960, menyusul penarikan kontrol Belanda atas Indonesia. Namun, mereka gagal.
Pada 1960-an, para aktivis Papua berusaha menghubungkan kampanye dekolonisasi mereka dengan perjuangan kemerdekaan di seluruh Asia dan Afrika sebelumnya. Dipicu oleh ketidakstabilan selama era pasca-perang, negara-negara kolonial di Asia dan Afrika membentuk koneksi untuk mengakhiri kolonialisme.
Di PBB, aktivis Papua mencari dukungan dari delegasi Afrika yang mereka yakini merupakan sekutu. Mereka berpendapat, Papua dan Afrika memiliki sejarah penindasan ras dan keinginan untuk mengakhiri kolonialisme dalam segala bentuknya.
Walaupun para pemimpin Afrika bersimpati pada perjuangan para aktivis Papua, mereka sudah berkomitmen pada Gerakan Non-Blok (GNB) yang dipimpin oleh Indonesia.
Gerakan Non-Blok mendukung solidaritas Asia-Afrika dan para pemimpin yang berkomitmen untuk tidak ikut campur dalam urusan negara-negara lain. Ini melindungi mereka dari intervensi oleh bekas kekuatan kolonial Eropa dan dari politik Perang Dingin yang berkecamuk, karena mereka tidak memihak AS maupun Uni Soviet.
Berlawanan dengan namanya, Gerakan Non-Blok tidak menganjurkan agar tidak ikut Perang Dingin, tetapi bertujuan untuk menggunakan aliansi negara-negara Asia-Afrika untuk mengeksploitasi ketegangan Perang Dingin untuk tujuan Dunia Ketiga.
Indonesia, misalnya, membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat yang menjanjikan akses untuk menambang emas dan tembaga di Papua. Indonesia menolak bantuan Soviet, sementara juga menggunakan blok Asia-Afrika di PBB untuk mendapatkan dukungan untuk kontrolnya atas Papua, menurut laporan Emma Kluge.
Perang Dingin meningkatkan peluang bagi negara-negara yang sudah berkomitmen untuk membangun blok. Namun bagi orang Papua, yang merupakan pendatang baru dalam politik internasional, itu adalah penghalang untuk masuk ke dalam komunitas internasional.
Pada 1950-an, koneksi Asia-Afrika mulai menguat, dan keunggulan Indonesia dalam aliansi itu menghalangi keterlibatan Papua.
Pada saat para aktivis Papua memasuki arena politik pada 1960-an, Indonesia telah mengembangkan strategi Perang Dinginnya.
Orang Papua juga ditolak kemerdekaannya karena sistem PBB gagal mengindahkan seruan mereka. Setelah periode sementara administrasi PBB, Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian untuk mengalihkan kontrol Papua ke Indonesia pada 1962.
Perjanjian tersebut mencakup ketentuan yang mewajibkan Indonesia untuk berkonsultasi dengan penduduk Papua tentang apakah mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.
Setelah kampanye intensif oleh orang Papua, Indonesia akhirnya mengumumkan akan melakukan Pepera pada 1969. Namun, pada referendum itu, orang Papua sekali lagi tidak diberi suara untuk menentukan masa depan wilayah tersebut.
Dengan PBB dikecualikan dari sebagian besar proses, Indonesia leluasa memilih 1.000 orang untuk mengikuti referendum mewakili seluruh populasi Papua. Orang-orang terpilih ini, secara tidak mengejutkan, memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia.
Pada pertemuan Majelis Umum PBB untuk meratifikasi Pepera, banyak perwakilan Afrika tidak mau mendukung referendum tersebut tanpa perdebatan karena mereka yakin itu merusak prinsip dekolonisasi PBB.
Mereka menyoroti kemunafikan pendirian Gerakan Non-Blok dengan tujuan eksplisit menentang kolonialisme dan kemudian memungkinkan Indonesia untuk mendirikan pemerintahan gaya kolonial di Papua.
Terlepas dari perdebatan ini, tidak ada delegasi yang mau memberikan suara menentang Indonesia.
Majelis memilih untuk menerima Pepera karena, dalam pemungutan suara 84 berbanding 0 dengan 30 abstain, referendum itu memenuhi persyaratan dan tanggung jawab PBB berdasarkan perjanjian.
Walaupun orang-orang Papua telah meyakinkan para pemimpin Afrika tentang keinginan mereka untuk memiliki pemerintahan sendiri dan ketidakadilan kontrol Indonesia, para wakil Afrika tidak mau memilih untuk melawan Indonesia secara terbuka dan menghancurkan aliansi mereka di blok Asia-Afrika.
Melawan Indonesia akan membahayakan kedudukan politik dan perlindungan mereka di komunitas internasional. Delegasi kebanyakan memilih untuk abstain.
Beberapa faktor telah berubah di komunitas internasional sejak 1960-an, menurut Emma Kluge. Perubahan tersebut termasuk peningkatan keanggotaan para pemimpin dari Pasifik dan pengakuan hak-hak bagi masyarakat adat.
Namun, preferensi delegasi PBB untuk menghargai kedaulatan negara atas keadilan dan kesetaraan tetap sama.
Apakah para aktivis dapat memperoleh dukungan untuk referendum? Itu akan tergantung pada kemampuan mereka untuk mengubah gelombang politik di PBB, ujar Kluge.
Aktivis Papua saat ini telah mendapatkan dukungan dari para pemimpin Pasifik dan para pejabat Inggris.
Namun, mereka masih perlu mendapatkan dukungan yang signifikan dari delegasi Afrika dan Asia untuk memberi keseimbangan kekuatan.
Seperti yang ditegaskan Kluge dalam tulisannya, para pemimpin dunia sebaiknya mendengarkan suara-suara aktivis Papua, karena memilih untuk mengabaikan seruan mereka akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi orang Papua di Indonesia. [ ]