Moron

Papia Tugu

Di tahun 1970-an, Yacobus Quiko – generasi tua Mestizo di Kampung Tugu, Jakarta Utara, saat itu – berinisiatif mendirikan Escola Papia Tugu. Sebuah sekolah yang mengajarkan Papia – bahasa creole-Portugis – kepada anak-anak Mestizo, masyarakat keturunan Portugis.

Sekolah terletak tepat di depan Gereja Tugu. Meski tidak besar, dan relatif sederhana, sekolah bisa menampung beberapa puluh anak-anak Kampung Tugu. Andre Juan Michiels, salah seorang tokoh masyarakat Tugu saat ini, adalah salah satunya.

“Saya masih kelas satu SD ketika sekolah itu dibangun,” kenang Andre, lelaki berusia 45 tahun yang aktif sebagai pemimpin kelompok musik Keroncong Tugu.

Andre tidak ingat lagi berapa lama sekolah itu berdiri. Yang dia tahu, tahun 1978, Jacobus Quiko meninggal dunia, dan Escola Papia Tugu menemui ajalnya. Sejak saat itu, Papia – lebih sering disebut creole, atau campuran Bahasa Portugis dan Melayu – lenyap dari masyarakatnya.

Creole, Decreolisasi

Sejenak melihat ke belakang, eksistensi masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara, berawal dari kekalahan Portugis di Malaka tahun 1641. Sebagai pihak pemenang perang, VOC berhak atas koloni dagang Portugis di kawasan itu, plus pemukim Mestizo.

VOC menjadikan Mestizo sebagai budak. Sebagian dibawa ke Batavia, dan dipekerjakan sebagai penengah transaksi dagang antara VOC dengan penguasa lokal di Batavia dan Banten. Saat itu, creole-Portugis – atau bahasa campuran Portugis dan Melayu – telah menjadi lingua franca di hampir seluruh pelabuhan di Asia Tenggara.

VOC menjadi sangat tergantungan kepada keturunan Portugis ini. Di Batavia, sebanyak 23 kepala keluarga (KK) – dengan jumlah jiwa mencapai 150  – menjadi middleman suksesk bagi pedagang Belanda.

Tahun 1661, VOC menawarkan kebebasan kepada Mestizo dengan sejumlah syarat; bersedia pindah agama dari Kalolik ke Protestan, dan menanggalkan nama-nama berbau Portugis. Keluarga Mestizo tidak punya pilihan selain menerima tawaran itu.

Mestizo berubah menjadi Mardijker, atau orang yang dimerdekakan, dan menyandang nama-nama baru. Mereka dimukimkan di kawasan rawa-rawa yang kini disebut Kampung Tugu. Di kantor-kantor dagang VOC, mereka menduduki posisi rendahan dengan peran sangat penting.

Sampai lebih 100 tahun setelah penaklukan Malaka, creol-Portugis masih menjadi bahasa bisnis di Batavia dan kota-kota pelabuhan dagang di Asia Tenggara lainnya. Pegawai-pegawai VOC ‘terpaksa’ belajar creole untuk berkomunikasi dengan pedagang setempat, dan mencoba mengurangi peran Mestizo.

Upaya itu hanya menghasilkan perkawinan antara lelaki Belanda dan perempuan Mestizo. Akibatnya, budaya Mestizo menjadi sedemikian dominan di Batavia. Orang-orang Belanda, meski mendominasi, secara budaya seolah tak berdaya.

Tiga tahun setelah Pembantaian (peranakan) Tionghoa di Batavia 1740, Baron van Imhoff – yang baru diangkat sebagai gubernur jenderal VOC di Batavia – memulai politik decreolisasi. Ia mendirikan beberapa institusi untuk pengembangan kebudayaan Belanda, dan perlahan-lahan mengurangi dominasi budaya Mestizo.

Ia mendirikan sekolah memasak makanan Eropa, terutama Belanda, mengharuskan pejabat VOC mempekerjakan pelayan dan pegawai dari Eropa. Puncaknya, tahun 1750, Van Imhoff mengeluarkan keputusan tidak boleh ada bahasa selain Belanda di rumah-rumah pegawai VOC dan pemukim kulit putih di Batavia.

Jacob Mossel, gubernur jenderal berikutnya, memperkenalkan Bahasa Belanda di sekolah-sekolah dan gereja. Upaya ini nyaris gagal, karena creole masih terlalu dominan. Bahkan , pejabat VOC putus asa akibat tidak bisa menyampaikan pesan ke bawahannya dengan menggunakan Bahasa Belanda.

Lebih serius lagi, anak-anak keturunan Belanda di Batavia mulai kehilangan kemampuan menggunakan bahasa nenek moyangnya akibat lingkungan budaya Mestizo yang dominan. Mossel merespon situasi ini dengan mengeluarkan peraturan baru; tidak boleh ada posisi untuk mereka yang lahir di Hindia-Belanda, kecuali bisa menggunakan Bahasa Belanda dengan baik.

Betapa tidak mudah mendecreolisasi Batavia. Perlu waktu lama, dan upaya keras terus-menerus, sampai akhirnya Bahasa Belanda menjadi dominan. Namun creol tidak benar-benar mati. Masyarakat Mestizo, berbekal pengalaman berinteraksi dengan berbagai etnis, mempelajari Bahasa Belanda dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan penguasa. Di rumah, mereka berbicara dalam bahasa creole dengan anak-anak, istri, atau kerabat dekat.

Decreolisasi berjalan, dan kian intensif setelah VOC bangkrut dan Hindia-Belanda secara resmi menjadi jajahan Kerajaan Belanda. Pertengahan abad ke-19, bahasa Belanda relatif telah menjadi tuan di negeri jajahannya. Creol-Portugis bertahan sedemikian rupa di lingkungan Kampung Tugu.

Ensiklopedia Wikipedia mencatat situasi ini berlangsung sampai 1940, dan mengalami penurunan drastis setelah Belanda meninggalkan Hindia-Belanda, dan Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan penuh lewat meja perundingan.

Upaya Quiko

Di banyak bekas koloni Portugis di muka bumi, campuran bahasa Portugis dan lokal kerap disebut creole. Namun di Malaka dan Kampung Tugu, bahasa ini disebut Papia. Teori sementara menyebutkan Papia adalah sebutan spesifik untuk Português de Malaca. 
Papia Tugu adalah bahasa orang keturunan Portugis yang berasal dari Malaka. Belakangan, di Malaka bahasa ini disebut Papia Kristang. Kristang adalah sebutan orang Melayu untuk orang Kristen, menggantikan Serani untuk kata Nasrani.

Creole berkembang sebagai bahasa oral, bukan tulis. Bahasa ini juga tidak diajarkan di sekolah-sekolah.

Namun ketika para penuturnya melihat ancaman akan punahnya bahasa ini, sebagai akibat kebijakan politik nasionalisme, upaya penyelamatan dimulai. Di Malaka, upaya ini relatif mudah, karena Papia Kristan digunakan lebih 5.000 keturunan Portugis.

Di Kampung Tugu, menurut Andre, Papia adalah bahasa oral yang digunakan generasi tua. Itu pun tidak setiap hari, tapi hanya pada saat-saat kumpul dalam satu pertemuan, atau saling berkunjung.

“Di rumah, ayah saya berbicara Bahasa Indonesia –terkadang Bahasa Belanda – dengan ibu,” kenang Andre. “Ibu saya tidak bisa berbahasa Papia, karena orang Minahasa.”

Yakobus Quiko bukan satu-satunya orang yang sadar akan pentingnya melestarikan Papia, tapi dia yang melakukan tindakan nyata; mendirikan sekolah dan berupaya mengajarkan bahasa itu kepada setiap anak-anak Kampung Tugu.Sayangnya, upaya itu gagal.

Sampai tahun 1980-an, menurut Andre, Papia masih digunakan generasi tua Kampung Tugu. Ada pula upaya sebagian orangtua mengajarkan bahasa itu kepada anak-anaknya.

“Salah satunya adalah ayah saya,” kata Andre. “Namun ayah mengajar dengan keras. Akibatnya, saya dan adik-adik saya bersedia belajar hanya agar tidak dimarahi ayah.”

Andre juga mengatakan Papia tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Dasar Papia adalah Portugis. Maka, kita harus lebih dulu belajar Bahasa Portugis.

“Belajar Bahasa Portugis tidak mudah, karena menggunakan abdjad berbeda dan menggunakan sistem maskulin dan feminim,” tutur Andre.

Penyebab lain kepunahan Papia Tugu adalah terdapat kecenderungan bahasa itu menjadi semacam bahasa rahasia para orangtua. Misal, para orangtua membicarakan sesuatu – dan pembicaraan itu tidak boleh diketahui anak-anak – maka yang digunakan adalah Papia.

Situasi serupa juga terjadi di rumah-rumah yang dihuni suami-istri penutur Papia. Para orangtua terkadang asyik sendiri berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti anak-anaknya. Sedangkan sang anak asyik bercengkerama dalam bahasa masyarakat sekitar.

“Yang mungkin saya ingat hanya beberapa. Misal, saat ayah menyuruh makan, atau memerintahkan sesuatu,” ujar Andre. ‘Ya, hanya itu.”

Sebagai entitas budaya, dan bagian dari sejarah negeri ini, masyarakat Kampung Tugu telah kehilangan salah satu warisan paling berharganya, yaitu bahasa. Ia hanya bisa menyesali keadaan ini, tapi belum berbuat apa pun untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang.

Sebagai bahasa oral, Papia nyaris tidak terdokumentasi dalam bentuk teks. Kalau pun ada mungkin hanya pada lagu-lagu klasik Keroncong Moresko. Generasi tua pemain keroncong di Kampung Tugu relatif masih menguasi lagu-lagu lama, meski mungkin tidak terlalu sering lagi memainkannya.

Back to top button