Zaky Yamani; Seorang Sastrawan Menaklukan Depresi
Pada saat-saat puncak serangan depresi itu, Zaky mengaku dirinya tak lagi bisa membedakan realitas dan khayal. “Saya tidak tahu apa yang beberapa saat sebelumnya saya lakukan dan membuat istri takut,”kata dia. Dia baru sadar setelah sang istri, yang setia dan tabah mendampingi di hari-hari berat itu, menjelaskan apa yang sempat ia perbuat, barang apa yang ia rusak di saat semua gelap. Zaky cukup yakin, tekanan pada saat menjadi wartawan, punya cukup saham membuat datangnya waham.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Perkembangan kepengarangan Zaky Yamani–penulis yang novelnya,”Kereta Semar Lembu” meraih juara sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2021 dan Buku Sastra Pilihan TEMPO 2022–dalam pandangan saya tergolong cepat. Beberapa tahun sebelum 2014 itu ia baru seorang wartawan di Harian Pikiran Rakyat, Bandung. Kini, kalau pun nanti Zaky berpikir untuk kembali berkiprah sebagai jurnalis, tentu ia wartawan yang punya cum lain, sebagai sastrawan.
Nama Zaky mulai diperhitungkan dunia susastra Tanah Air saat ia meluncurkan novelnya, “Bandar” yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Sejatinya “Bandar” bukan karya pertamanya yang dibukukan, karena sebelumnya pun ia telah menerbitkan kumpulan cerpen (kumcer) “Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya” (Majelis Sastra Bandung, 2011).
Namun “Bandar”-lah memang, yang mulai melambungkan nama Zaky. Ibarat trampolin, bukunya yang lain, kumcer “Waktu Helena”, yang juga diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2020, kembali mengangkat nama Zaky, bahkan mengapungkannya lebih tinggi. Wajar bila kemudian kian banyak mata kritikus dan peminat sastra menyorot kepadanya. Situs kritik buku Goodreads.com untuk buku itu menulis,”Kumpulan cerita di dalam “Waktu Helena” mengisahkan kehidupan di dunia perbatasan, antara yang baru dan yang magis, antara yang lazim dan yang ganjil, antara mimpi dan kenyataan….”
Baiklah, komentar Goodreads itu saja telah cukup membuat Anda menghubungkan gaya Zaky dalam kesusastraan dengan realisme magis (magic realism) yang seringkali dinisbahkan kepada sastrawan pemenang Nobel asal Kolombia, Gabriel García Márquez, sebagai pengembangnya. Padahal, barangkali akar gaya itu sejatinya telah ada pada karya susastra yang lebih tua, misalnya saja, “Gulliver’s Travels” yang ditulis Jonathan Swift pada 1726. Lebih—ikut anak muda—kekinian, banyak kritikus sastra menyepakati bahwa novel penulis Jerman yang juga memenangi Nobel, Gunter Grass, “The Tin Drum” (1959), juga kental dengan gaya tersebut.
Kita tahu, gaya susastra itu kemudian berkembang menjadi tren utama dalam fiksi kontemporer, membentang dari karya-karya sastra Amerika Latin seperti “One Hundred Years of Solitude” (1967) karya Gabriel García Márquez, hingga novel ‘norte Americano’ seperti “Winter’s Tale”-nya Mark Helprin (1983). Dari Asia kita melihat kentalnya gaya itu dalam “Midnight Children”-nya Salman Rushdie (1981), yang juga telah di-Indonesia-kan penerbit Serambi pada 2009.
“Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa”, yang terbit 2021, seolah menegaskan bahwa Zaky telah memilih dan konsisten dengan pilihan gayanya itu. Sesuatu yang justru ditolak wartawan pemenang dua kali Adiwarta Sampurna semasa masih bertugas sebagai awak Pikiran Rakyat itu. Dalam perbincangan dengan Inilah.com, Rabu (18/1/2023) sore, Zaky dengan rendah hati mendaku bahwa hingga saat ini dirinya belum rigid memilih satu genre sastra tertentu. Apalagi, ‘masuknya’ dia ke dalam lorong realisme magis pun, menurutnya lebih karena ketidaksengajaan.
“Saya ingin mengeluarkan semua beban yang tak hanya mengganggu, tapi juga meracuni pikiran. Ingin memuntahkan segala hal yang membuat saya dicekam cemas, kuatir, tanpa saya tahu pasti apa sebabnya,”kata dia. Realisme magislah yang memungkinkan dirinya melakukan hal itu, melepaskan dirinya dari beban soal ganjil atau normal, dari ribetnya urusan untuk hanya mengangkat sisi faktual atau menoleransi pula hal-hal khayal.
Lebih jauh, Zaky pun merasa belum cukup banyak belajar, masih terbatas dalam menggali kemungkinan. Kehendaknya untuk bereksperimen dalam berkarya, tanpa harus secepat mungkin membatasi diri di satu genre tertentu, saat ini belum lagi surut. Alih-alih padam, kehendak itu kian berkobar. “Itu yang membuat saya merasa belum saatnya untuk hanya menulis pada satu genre,”kata dia, beralasan.
Namun, sepengetahuan saya, sastrawan sekaligus kritikus susastra Seno Gumira Ajidarma justru seolah telah menahbiskan Zaky sebagai sastrawan Indonesia pengusung realisme magis di era ini. Paling tidak, itu tersirat pada tulisan Seno di majalah TEMPO, “Dunia Jawa Semar Lembu”, yang terbit 8 Januari 2023 lalu.
Selain Zaky, tampaknya memang tak banyak penulis Indonesia era kini yang (kadang) menulis dengan gaya tersebut. Sebuah ulasan di situs British Council, britishcouncil.id, menyebut novelis Eka Kurniawan sebagai salah seorang di antaranya. Situs itu menyebut Eka, penulis “Cantik Itu Luka” yang masuk dalam daftar 100 buku paling bergengsi versi The New York Times, sebagai penulis yang karya-karyanya sarat akan realisme magis.
Secetek pengetahuan penulis, sebuah cerpen Linda Christanty, “Catatan Tentang Luta, Manusia yang Hidup Abadi”, juga kental dengan gaya tersebut. Pada karya itu Linda mengajak pembaca berkenalan dengan Luta, laki-laki immortal yang hidup di rimba Kalimantan. Dengan mahir dan tangkas, plus ramuan sekian banyak data menyangkut penulis HG Wells, antropolog Jerman Helmut Herzog, serta segala aspek mitologi lokal suku Dayak, seperti Panglima Burung, Hantu Bumburaya dan pasukan Kamang Tariu yang gemar mengayau kepala, Linda sukses membuat (sebagian) pembaca hanyut dan lupa. Tak sadar bahwa yang tengah mereka baca adalah sebuah cerpen, sebuah kisah fiktif, bukan laporan jurnalistik yang harus rigid diterungku fakta.
Ada persamaan kuat di antara Zaky dan Linda: keduanya sama-sama melangkah dari seorang wartawan. Keduanya juga sejak awal piawai mengubah fakta yang kering menjadi uraian yang basah dengan deskripsi.
Melihat keduanya, dan fakta mengapa justru García Márquez yang justru didaulat dunia sebagai pembangun realisme magis, urusan kekuatan deskripsi itulah yang tampaknya menjadi isu utama. Meski magnum opus Márquez adalah “A Hundred Years of Solitude”, dunia justru melihat novel lain Márquez, “A Very Old Man with Enormous Wings”, terbit 1972, yang justru menguatkan posisi itu.
Sastrawan AS, Dana Gioia, menyatakan, tidak kurang penulis sebelum Márquez menulis sesuatu yang mengindikasikan realisme magis. Namun menurut dia, kekuatan khusus Márquez datang dari detailnya yang luar biasa, yang jarang menjemukan, bahkan seringkali memesona. “Arak-arakan beraneka ragam orang dan benda (mulai dari pastor paroki biasa hingga wanita tarantula yang mempesona) berbaris sedemikian rupa sehingga pembaca tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya — yang misterius, yang duniawi, atau yang ganjil bin ajaib,” tulisnya tentang “A Very Old Man…”
“Efek mengganggu plus membingungkan itu sangat penting untuk pengalaman realisme magis, dan sampai batas tertentu, itulah elemen yang paling jelas membedakannya dari pendahulunya. Gogol, Kafka, dan Singer mungkin telah menciptakan mode fiksi serupa, tetapi mereka tidak pernah mencurahkan begitu banyak detail luar biasa, dengan sikap acuh tak acuh yang begitu boros,”tulis Gioia, menambahkan.
***
Jika Zaky sempat bicara soal rasa kuatir, ditodong rasa takut, dicekam kecemasan dan anxiety, ia tidak sedang mendramatisasi keadaan. Ia sempat menderita depresi yang akut, yang kalau diibaratkan unggun, meski apinya kian mengecil, gejala itu belum sepenuhnya padam. “Saya masih harus minum obat,”kata dia. Dan menulis, terus menulis, diakuinya sangat banyak membantu.
Pada saat-saat puncak serangan depresi itu, Zaky mengaku dirinya tak lagi bisa membedakan realitas dan khayal. “Saya tidak tahu apa yang beberapa saat sebelumnya saya lakukan dan membuat istri takut,”kata dia. Dia baru sadar setelah sang istri, yang setia dan tabah mendampingi di hari-hari berat itu, menjelaskan apa yang sempat ia perbuat, barang apa yang ia rusak di saat semua gelap.
Pernahkah terbersit, kausa apa yang menjadi alasan itu semua? Zaky sendiri mengaku tak bisa merunutnya. “Saya masih fokus pada penyembuhan, belum meminta ahli melakukan psikoanalisis yang bisa menemukan penyebab pastinya,”kata dia pada obrolan dengan penulis di Podcast “Inilah Interview”. Namun dirinya cukup yakin, tekanan pada saat menjadi wartawan, punya cukup saham membuat datangnya waham.
Dan itu bukan semata urusan deadline. Sebagai wartawan yang gandrung menginvestigasi, sementara manajemen kewartawanan di tempatnya berkiprah masih serupa manajemen kios kelontong, risiko memang nyaris sepenuhnya ditanggung si pewarta. “Bukan sekali dua saya diteror, ditelepon, didatangi orang-orang suruhan,”kata Zaky. Semua bisa dilalui tanpa menimbulkan persoalan berarti. Namun ternyata, diam-diam ada yang tersisa, entah di hati, atau kepala.
Pernah malam-malam Zaky pepak diisi berbagai mimpi. Beragam dan penuh aneka, manakala saya mencermati laman FaceBook-nya. Salah satunya, seperti ia ceritakan pada 18 Februari 2021.
“Mimpi ketemu idola, James Hetfield vokalis Metallica. Lalu kami berselisih paham tentang gitar, dia memukul saya di wajah. Saya balas dengan tendangan di wajahnya.
Paginya, istri saya bertanya, “Kamu mimpi berantem sama kuntilanak lagi?”
Saya jawab, “Bukan, mimpi berantem sama James Hetfield.”
“Atuh kamu sekali pukul ngajongkeng?” kata istri saya…”
Namun mimpi Zaky pun tak hanya berisi perseteruan, mambangm, jin dan Kuntilanak. Mimpinya pun menegaskan bahwa tekadnya untuk melawan gangguan, dan keterikatannya kepada Ibu yang melahirkan, begitu kuat. Di laman FB itu, ia juga menulis,”Mimpi bertemu Mama saya, dia berkata, “Kalau tangan kanan kamu hilang, kamu harus tetap menulis dengan tangan kiri.”
Tetapi justru bukan mimpiu-mimpi itu yang paling mengganggunya. Yang diakui Zaky paling menyiksa, psikis maupun fisiknya, justru ketika selama dua bulanan ia tak penah bisa memejamkan mata dan istirah dengan lelap.
Di saat-saat itulah, 15 Juni 2021, Zaky menulis,”Salah satu bagian terburuk dari kehidupan adalah saat kehilangan mimpi.”
Kita bisa menera penderitaan yang dialami sang sastrawan, dengan membaca postingannya pada 4 Oktober 2021, misalnya. Hari itu Zaky menulis:
“Hari-hari pengidap depresi
1. berjuang untuk bangun tidur sambil menasihati diri bahwa bagaimana pun hari ini harus dijalani
2. berusaha untuk tersenyum walau pikiran terasa kelam
3. berjemur agar tubuh terasa hangat dan hidup walau hati terasa dingin dan mati
4. mandi sambil berharap air bisa membuat pikiran terasa lebih segar
5. bersiap untuk kerja sambil mengulang-ulang kata-kata motivasi: kamu bukan anak sultan, maka harus kerja agar tidak kelaparan
6. pura-pura ceria dan bersemangat demi menjaga kepercayaan rekan kerja dan atasan
7. bekerja seharian sambil berjuang melawan pikiran buruk tentang bagaimana dunia dan kehidupan memperlakukan kita selama ini
8. menutup pekerjaan di sore hari sambil sekuat mungkin melawan kekhawatiran tentang hari esok
9. saatnya tidur lagi dan tak lupa mengucap syukur: setidaknya satu hari telah terlewati
10. tidur dengan beragam mimpi aneh “
Syukurlah, tak hanya dukungan istri, anak, keluarga dan sahabat, motivasi Zaky sendiri untuk menjalani hidup membuat semua beranjak membaik. Banyak sastrawan dan seniman besar yang pernah mengalami depresi percaya bahwa kreativitas mereka dipicu oleh kondisi emosi, amarah, kekecewaan, kesedihan dan kesepian. Mereka berjuang mengatasi keadaan jiwa yang berantakan itu dengan berbagai cara. Zaky, sepanjang obrolan, tampaknya berada di luar itu. Ia justru percaya bahwa menulis adalah bagian dari perjuangannya mengurai semua benang di sistem syarafnya kembali pada fungsi optimal. [dsy/INILAH.COM]