Politeia

Kasus Penembakan Laskar FPI Disengaja atau Tidak?

Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus ini. Sebenarnya ada satu orang lagi yang harusnya duduk di kursi pesakitan yakni, Ipda Elwira Priadi. Namun nama terakhir sudah meninggal akibat kecelakaan.

JERNIH- Bagaimana perkembangan kasus penembakan terhadap enam orang anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek yang mengakibatkan meninggal ? Benarkah dua orang anggota Polisi yang didakwa, pada saat itu tengah membela diri atau dengan sengaja menghabisi para korban?

Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/1), dihadirkan dua ahli pidana oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Keduanya, menyodorkan pendapat berbeda terkait penembakan tersebut.

Dian Adriawan, saksi ahli dari Universitas Trisakti mengatakan, jika merujuk kepada pasal 388 KUHP, penembakan tersebut bisa dilakukan sengaja sebagai tujuan atau sengaja dengan kesadaran. Sebab unsur ‘dengan sengaja’ merupakan salah satu bentuk kesalahan yang dilihat dari kealpaan atau kelalaian.

Awalnya, dari enam orang korban, dua orang telah dalam kondisi tewas akibat luka tembak. Kemudian, empat orang lainnya dibawa menggunakan mobil dan masih dalam kondisi hidup. Saat itulah, terjadi perselisihan antara petugas Polisi dengan keempat korban hingga terjadi insiden penembakan.

Menurut Jaksa dalam uraian terkait penembakan tersebut, terdakwa Briptu Fikri Ramadhan mengaku dianiaya sebab anggota Laskar FPI yang berada di sampingnya berusaha merebut senjatanya. Lehernya tercekik, tangannya ditarik ke belakang dan kepala Fikri dipukuli korban yang berada di belakangnya.

Kemudian, terdakwa Fikri berteriak meminta pertolonngan kepada rekannya yakni, terdakwa Elwira yang duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi. Lantas, Elwira melakukan penembakan terhadap anggota FPI tersebut.

Selanjutnya, hasil visum yang dipaparkan Jaksa, ditemukan luka tembak pada dada kiri korban. Sementara itu, kuasa hukum terdakwa mempertanyakan kepada saksi ahli, jika peristiwa penembakan itu terjadi saat terdakwa mengalami penganiayaan dan senjatanya hampir direbut kemudian membahayakan nyawa rekannya, apakah hal tersebut termasuk pembelaan atau tidak.

Dian kemudian menyebutkan, para terdakwa saat itu tengah membawa seseorang yang diduga melanggar hukum. Maka sudah semestinya petugas Polisi dalam posisi sigap. Sebab jika terjadi perlawanan, itu merupakan resiko pekerjaan.

“Ini kan posisinya membawa orang yang diduga melawan hukum. kalau membawa orang yang kejahatan itu dia kan harusnya dalam posisi siap sigap,” kata Dian.

Dian juga mengatakan, dalam insiden tersebut, ada ketidak seimbangan. Di satu sisi, petugas Kepolisian memegang senjata sedangkan korban tak memegan senjata. Jadi, kalaupun tangannnya ditarik ke belakang oleh salah satu korban, itu merupakan resiko petugas dalam membawa pelaku pidana.

“Kemudian ditembak dari depan ya menurut saya sih itu sudah termasuk berlebihan ya, karena satu bersenjata dan satu tidak bersenjata. Kecuali kalau misalnya si korbannya juga bersenjata atau dilucuti,” kata Dian menilai.

Di lain sisi, Dian menilai, posisi terdakwa Yusmin Ohorela dalam insiden tersebut merupakan pembantu dalam kejahatan sebab ikut membawa korban ke dalam mobil namun tak melakukan penembakan.

“Tindakan Yusmin membawa pelaku dalam mobil dia melakukannya membantu, bukan turut serta karena dia tidak melakukan apa yang dilakukan terdakwa lain tapi hanya melakukan pembantuan. Sedangkan pembantuan hanya membantu saja melakukan kejahatan. Dia sebagai sopir mengendarai mobil,” katanya.

Di lain pihak, ahli pidana dari Universitas Pancasila, Agus Surono, menyebutkan peristiwa tewasnya dua anggota Laskar FPI di lokasi berbeda hingga terjadinya penembakan 4 orang lainnya di kilometer 50 merupakan satu rangkaian peristiwa. Dia bilang, kasusnya lebih cenderung dirujuk pada pasal 49 ayat 1 KUHP yakni, perbuatan pembelaan karena adanya serangan.

Bunyi pasal 49 ayat 1 KUHP tersebut, adalah sebagai berikut :

“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Agus menilai, dalam konteks yang dia pahami maka disimpulkan bahwa dalam peristiwa tersebut sesuai dengan yang dikualifikasikan sebagai pasal 49 ayat 1 KUHP.

Dalam diskusi antara Jaksa dan Agus Surono sebagai ahli pidana dalam persidangan tersebut, Jaksa menyoroti luka tembak pada dada kiri korban. Dia pun mempertanyakan kenapa petugas Polisi tak melakukan pelumpuhan saja. Sebab menurut Jaksa, senjata belum direbut.

Agus mengatakan, kondisi saat itu hanya ada dua pilihan yakni, apakah terdakwa yang menjadi korban atau sebaliknya. Sedangkan, peristiwa berlangsung singkat dan mendesak. Jika tak dilakukan tindakan tegas, Agus menilai, tak dapat dipastikan apa dampaknya.

“Saya tadi sudah menjawab dalam kondisi ketika seseorang dalam situasi yang terdesak saya yakin seyakin yakinnya bahwa mau tidak mau apakah pilihannya apakah saya akan menjadi korban atau pelaku yang akan menjadi korban. Pilihannya ada kedua ini, ini yang saya pikir ini sulit, karena kalau tidak melakukan pembelaan maka konsekuensinya juga dia yang menjadi korban,” kata Agus memaparkan.

Terkait pembelaan diri, menurut Agus tak ada teori proporsionalitas yang mengharuskan ‘alatnya seimbang’. Misalnya, jika seseorang melakukan pembelaan diri, bisa saja mengenai orang lain sampai menyebabkan kematian.

Sekedar catatan. Seperti diberitakan Detik, Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus ini. Sebenarnya ada satu orang lagi yang harusnya duduk di kursi pesakitan yakni, Ipda Elwira Priadi. Namun nama terakhir sudah meninggal akibat kecelakaan.[]

Back to top button