Bali juga telah menjadi surga bagi bintang porno Rusia, Veronika Troshina, 22 tahun, yang segera menjadi musuh publik setelah videonya yang diposting di Pornhub.com tahun lalu, menunjukkan dirinya berhubungan seks di Gunung Batur, tempat suci bagi umat Hindu Bali.
JERNIH—Kini, tembok yang membentuk lorong-lorong gang di Bali tak hanya dihiasi untaian bunga kamboja kuning-putih yang merayap di sepanjang tembok. Di lorong-lorong itu kini mudah kita dapatkan poster buronan, terpacak menempel. Mereka bukan tersangka lokal, melainkan beberapa bule.
Foto pertama adalah seorang pria berusia 30-an dengan rambut pirangnya yang tipis. Yang kedua, seorang wanita pada rentang usia yang sama, dengan rambut cokelat dibob. “Imigrasi Ngurah Rai. Most Wanted,” tulis poster tersebut. “Andrei Kovalenka Alias Andrew Ayer dan Ekaterina Trubkina. Warga negara Rusia.”
Kovalenka baru saja menyelesaikan hukuman 18 bulan penjara di Lapas Kerobokan, karena memiliki lebih dari setengah kilogram ganja. Dia telah dipindahkan ke pusat penahanan imigrasi, menunggu deportasi ke Rusia atas surat perintah penangkapan di daftar merah Interpol, yang juga menyebut nama Trubkina.
Pasangan itu telah menghabiskan dua pekan di bulan Februari, sebelum mereka ditemukan di sebuah vila, hanya sekitar puluhan meter di sudut gang tempat foto-foto pencarian mereka terpampang, di pinggiran pusat kehidupan malam Bali di Canggu. Pada Maret lalu, Trubkina dideportasi dan Kovalenka diekstradisi.
Perbatasan Indonesia telah ditutup sejak 1 April 2020, namun ratusan ribu turis telah menemukan tempat berlindung di Canggu selama pandemi, banyak yang mendapatkannya dengan cara membayar agen imigrasi Bali untuk memasukkan mereka ke Indonesia dengan visa sosial-–celah hukum ditutup pada bulan Juli, ketika Indonesia sempat menjadi episentrum global pandemi. Namun pintu itu kini telah dibuka kembali.
Wisatawan ini berasal dari Amerika, Eropa dan sebagian Afrika, tetapi negara asal terbesar, terhitung 67.491 kedatangan pada tahun 2020, menurut Badan Pusat Statistik, adalah Rusia.
Tidak sulit untuk memahami mengapa begitu banyak anak muda Rusia, terutama mereka yang bekerja secara online atau di industri kreatif, ingin keluar negara itu. Ambil contoh, penggunaan dan penyalahgunaan aplikasi pelacakan Covid-19 oleh pemerintah Rusia. Ketika seseorang dites positif di Moskow, mereka harus mengunduh aplikasi yang terus-menerus memantau geolokasi mereka.
Jika aplikasi mendeteksi posisi lebih dari 50 meter dari rumah mereka, mereka akan didenda. Tetapi menurut Pusat Hak Asasi Manusia Memorial yang berbasis di Moskow, banyak orang terkena denda yang setara dengan puluhan ribu dolar AS, hanya karena aplikasi GPS yang tidak selalu akurat.
Narasi resmi pemerintah Rusia adalah, negara tersebut telah menangani pandemi dengan lebih baik daripada kebanyakan orang, dan sedang menuju pemulihan. Tetapi wallahu ‘alam. Asal tahu saja, Rusia adalah salah satu negara dengan tingkat kematian Covid-19 tertinggi di dunia.
Angka resmi yang diterbitkan oleh badan statistiknya, Rosstat, menunjukkan bahwa kematian karena Covid-19 di negara itu telah mencapai 660.000 sejak awal pandemi. Indonesia, sebagai perbandingan, telah mencatat lebih dari 143.000 kematian, di mana 3.000 di antaranya terjadi di Bali.
Analisis matematis oleh Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan Universitas Washington menunjukkan bahwa tingkat kematian sebenarnya di negara Asia Tenggara itu kemungkinan dua kali lipat dari angka itu, tetapi masih tidak seburuk di Rusia, yang memiliki setengah populasi Indonesia.
Pada bulan Agustus, Bali seharusnya berada di bawah pembatasan terberat sejak awal pandemi, tetapi restoran, pusat kebugaran, pasar, dan bahkan beberapa bar tetap buka. Vila-vila mewah yang pernah menetapkan harga sewa ratusan dolar per malam, dianggap harga yang “kecil” saja oleh pasangan atau kelompok yang tinggal selama berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-tahun, bekerja sebagai “pengembara digital” di Pulau Dewata itu.
Namun, dengan sedikit jaminan sosial dan lebih dari 100.000 pengangguran, rubel dan euro yang dihabiskan mereka di pulau itu selama 18 bulan terakhir bisa berarti pertolongan bagi ribuan warga Bali agar tidak tidur dalam keadaan lapar.
“Ada seorang pria Rusia di wisma saya yang memesan pizza setiap malam untuk makan malam,” kata seorang wanita Indonesia yang tinggal di wisma murah di Canggu, di mana setiap kamar selain miliknya ditempati oleh orang Rusia atau Ukraina. “Dia tahu putri saya suka pizza dan saya tidak mampu membelinya. Jadi dia selalu membeli dan membawakannya buat anak saya.”
Tapi anekdot tentang kehangatan dan keramahan orang Rusia adalah laporan yang sangat jarang. Di Bali, saat ini mereka lebih terkenal sebagai pelanggar hukum. Dari 157 orang asing yang dideportasi tahun lalu, lebih dari setengahnya memiliki kewarganegaraan Rusia, termasuk seorang wanita yang meninggalkan hotelnya dan ketahuan berjalan-jalan kelayapan setelah dinyatakan positif Covid-19.
Influencer Rusia, Sergey Kosenko, menjadi orang yang paling dibenci di Bali pada Desember 2020. Ia menunggang sepeda motor yang sangat bagus, meloncat terjun bersama motor itu dan seorang model Rusia berbikini di belakangnya. Semua hanya untuk bergaya di media social, tanpa peduli dengan kesengsaraan yang tengah diderita warga Bali.
Ia meminta maaf itu itu, memang—setelah klip itu diprotes banyak orang dan dia pun terbongkar bekerja secara ilegal di Indonesia. Namun Kosenko sempat mengadakan pesta besar di vilanya—yang terlarang dilakukan selama pandemi . Baru setelah itu dia dideportasi.
Daftarnya terus berlanjut. Pada bulan Mei tahun ini, model Rusia Leia Se masuk daftar personae non gratae Bali setelah melukis topeng di wajahnya untuk mengelabui seorang penjaga keamanan agar mengizinkannya masuk ke supermarket untuk aksi YouTube. Pada bulan Juni, polisi meluncurkan penyelidikan setelah klip video porno yang direkam di sebuah vila di Canggu, dengan musik Rusia yang diputar di latar belakang, menjadi viral di media sosial (pornografi adalah ilegal di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim).
Hanya dua dari selusin orang-orang ganjil yang membintangi film tersebut yang diidentifikasi-–sepasang orang Jerman yang meninggalkan pulau itu sebelum polisi dapat mengejar mereka–tetapi aktivitas Rusia dalam perdagangan tubuh di Bali terdokumentasi dengan baik.
Ada sejumlah iklan untuk pekerja seks Rusia kelas atas di situs web seperti escort-bali.com dan Locanto, selain para PSK Rusia itu pun memanfaatkan situs media social seperti Tinder. Pulau ini juga telah menjadi surga bagi bintang porno Rusia, Veronika Troshina, 22 tahun, yang segera menjadi musuh publik setelah videonya yang diposting di Pornhub.com tahun lalu, menunjukkan dia berhubungan seks di Gunung Batur, tempat suci bagi umat Hindu Bali.
Pada bulan Juli, kejahatan terkait Rusia di Bali kian meresahkan, ketika polisi menangkap seorang warga negara Rusia yang diidentifikasi hanya dengan inisialnya, EB. Dia diduga mengunjungi bisnis penyewaan sepeda motor milik seorang pria Ukraina di Canggu, menuduhnya beroperasi secara ilegal dan memaksanya untuk menyerahkan uang tunai dan sepeda motor senilai 27.661 dolar AS, sambil mengaku sebagai agen Interpol.
Untuk memastikan agar orang Ukraina diam, orang Rusia itu juga mengancam akan melaporkannya ke polisi secara tidak benar karena menjadi pengedar narkoba. “Kami hanya menangkap satu orang pelaku. Tetapi tampaknya dia menjadi bagian dari sebuah kelompok,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Umum Polda Bali, Djuhandhani Rahardjo, saat itu. “Kami yakin ada korban lain yang mungkin takut melapor ke polisi.”
Yuliya Zabyelina, profesor peradilan pidana internasional di City University of New York, sependapat dengan Djuhandhani. “Karena Bali tidak diatur dengan baik, ada celah keamanan. Turis tidak percaya pada polisi, jadi pemerasan seperti ini mulai terjadi,” kata Zabyelina.
Tingginya insiden perilaku buruk di antara orang Rusia dan kejahatan terkait Rusia telah membuat penduduk lokal dan turis menjadi kesal. Pada tahun 2019, situs berita Kumparan.com mengutip Ketua Dewan Pariwisata Bali Ida Bagus Agung Partha Adnyana, mengatakan “Orang Rusia suka membuat masalah. Itulah perilaku mereka. Mungkin kita perlu kontrol yang lebih ketat atas orang-orang Rusia ini?”
Victor Kriventsov, wakil konsul kehormatan Federasi Rusia di Pattaya, Thailand, mengatakan turis Rusia pada dasarnya berbeda dengan turis dari kebanyakan negara lain. Rumah adopsi Kriventsov di Thailand, sangat akrab dengan masalah yang muncul di Bali saat ini, menegaskan bahwa turis Rusia selalu “mencoba menciptakan lingkungan Rusia di mana pun mereka tinggal”.
“Mereka tidak melihat manfaat nyata dalam mempelajari bahasa lain,” katanya, “dan karena orang Rusia baru bepergian ke luar negeri selama 20 tahun terakhir, mereka tidak benar-benar merasa nyaman.”
Orang Rusia di Pattaya
Pattaya, yang terletak sekitar 150 km tenggara Bangkok, berkembang pesat sebagai tujuan R&R (istirahat dan pemulihan) bagi pasukan Amerika selama perang Vietnam, di mana semua kegiatan yang mungkin diharapkan dari tentara berkembang, telah mengatur nada untuk kota.
Pada 1980-an, Pattaya telah menjadi ibu kota seks dan tempat pelesiran para bajingan dunia. Pada tahun 1992, setahun setelah jatuhnya Uni Soviet, penerbangan dari Moskow melewatkan Bangkok sama sekali, dan mendarat di Bandara U-Tapao, bekas pangkalan Angkatan Udara AS di selatan Pattaya.
Jutaan orang Rusia datang untuk berjemur dan puluhan ribu lainnya menjadikan kota ini sebagai rumah mereka. Mereka berinvestasi di restoran Rusia, kondominium Rusia, toko kelontong Rusia, dan klub Rusia dengan nama, seperti Crazy Russian Girls, yang hanya menyisakan sedikit imajinasi. Mafia Rusia kemudian datang mengikuti.
“Lingkaran kejahatan yang diorganisasi Rusia hadir di Thailand pada 1990-an setelah runtuhnya Uni Soviet,” bunyi kabel diplomatik AS yang tidak diklasifikasikan dari 2009. “Sekarang ada banyak jaringan kejahatan terorganisasi Rusia di sekitar destinasi pantai populer di Thailand, Pattaya.”
Dalam “The Economic and Social Impact of Transnational Crime in Pattaya City”, sebuah studi yang dilakukan tahun 2012 oleh Universitas Burapha Thailand, Rusia diidentifikasi sebagai kebangsaan yang paling terlibat dengan kejahatan di kota itu: “Pencucian uang, perdagangan narkoba, investasi real estat, keuangan dan penipuan surat berharga, perdagangan manusia, pembunuhan, kejahatan dunia maya, dan penyelundupan kendaraan curian. Orang Thailand belum memikirkan bahaya kejahatan transnasional dari Rusia.”
Laporan tentang kejahatan terkait Rusia di Pattaya telah muncul dalam publikasi seperti Bangkok Post dan Pattaya Mail selama beberapa dekade. Terkadang orang Rusia menjadi korban–dirampok, diperkosa, atau dibunuh, seperti pada 2015, ketika seorang pria berusia 39 tahun dipukuli hingga tewas di lorong sebuah hotel.
Pada kesempatan lain mereka telah menjadi orang jahat, paling tidak pada tahun 2017, ketika polisi Pattaya menangkap 14 tersangka kejahatan, sebagian besar Rusia, selama serangan kilat selama sebulan. Matvey Shuvalov, dituduh menipu investor Rusia sebesar 250.000 dolar AS, telah bersembunyi di Thailand dengan identitas palsu selama lebih dari 20 tahun, dan telah membangun hubungan dekat dengan pejabat tinggi kota.
“Orang-orang ini telah membentuk geng kriminal, mencuri pekerjaan dari penduduk setempat–di restoran, tempat hiburan, bisnis penyewaan mobil, dan tempat-tempat lain,” kata Letnan Jenderal Polisi Nathathorn Prousoontorn kepada Bangkok Post pada saat itu. “Belum lagi mereka mengoperasikan bisnis ilegal di sector pariwisata dan terlibat dalam perdagangan seks dan narkoba.” [Bersambung—South China Morning Post]