POTPOURRIVeritas

Bali Dalam Potensi Cengkeraman Mafia Rusia Sebagaimana Pattaya dan Goa?[2]

“Kalau begitu, siapa yang mengatur Goa?”ujar sepotong pertanyaan dari Times of India pada tahun 2012. “Tanyakan pada rata-rata pria di jalan dan mereka akan memberi tahu Anda dengan senyum penuh pengertian-–mafia. Pertama mafia Israel dan sekarang mafia Rusia yang sangat kuat.

JERNIH– Laporan kejahatan terkait Rusia di Pattaya telah melambat selama pandemi karena penutupan perbatasan Thailand, sama dengan menjadi lambannya gerak mafia Rusia. Pada bulan Maret, polisi menggerebek sebuah rumah di Pattaya, di mana orang Rusia, Irina Prokasheva dan Alexey Luptov, menjalankan situs web yang memberikan pernyataan palsu dari bank di Rusia untuk klien yang mencari visa penduduk di Thailand.

Beberapa minggu kemudian, Garanin Konstantin, seorang Rusia yang telah tinggal di Pattaya selama enam tahun, ditangkap karena menjual shabu kepada pekerja seks. Ia juga diketahui sering menerima pelayanan seksual sebagai ganti pembayaran.

Sekitar 2.500 km sebelah barat Pattaya terletak Goa, negara bagian pantai barat India dengan pantai yang panjang, tempat maraknya praktik spiritual yang penuh warna dan sinkretis antara Hindu dan Katolik yang ditinggalkan oleh Portugis, dan trik pesta yang berlimpah. Para hippie dan backpacker Eropa Barat telah berkunjung ke sana sejak awal tahun 60-an, menghisap obat-obatan psikedelik di pesta dansa yang sering berlangsung berhari-hari, yang sampai melahirkan genre musik mereka sendiri, Goa trance.

Pada tahun 90-an demografis berubah. Datang bergelombang para pemuda Israel melakukan dekompresi setelah wajib militer, mulai mendominasi panggung pesta. Pada tahun 2010, situasi telah berbalik dan orang Rusia melampaui orang Israel sebagai kelompok pengunjung terbesar di Goa, dengan setengah juta kedatangan setahun.

Tangkapan layar dari video aksi sepeda motor Kosenko yang kemudian bermasalah. Foto: Instagram / Sergei Kosenko

“Kami menyambut semua turis internasional, termasuk Rusia. Siapa pun yang akan meningkatkan ekonomi kami,”kata Michael Lobo, anggota Majelis Legislatif Goa untuk Calangute, mengatakan kepada media Rusia pada 2014. “Tetapi ada beberapa orang Rusia yang melakukan bisnis ilegal di sini.”

Menteri Kesehatan Goa saat itu, Laxmikant Parsekar, dikutip media massa mengatakan: “Orang-orang Rusia ini memiliki semua jenis kejahatan dan saat turis Rusia datang ke satu tempat semua turis lain melarikan diri dari sana.”

Dalam tiga setengah tahun hingga Agustus 2014, polisi di Goa mencatat 182 kasus narkotika terhadap warga negara Rusia.

“Kalau begitu, siapa yang mengatur Goa?”ujar sepotong pertanyaan dari Times of India pada tahun 2012. “Tanyakan pada rata-rata pria di jalan dan mereka akan memberi tahu Anda dengan senyum penuh pengertian-–mafia. Pertama mafia Israel dan sekarang mafia Rusia yang sangat kuat. Tidak ada yang mau mengambil urusan dengan mereka. Kelas politik menyukainya karena mereka tidak perlu melakukan terlalu banyak upaya untuk dapat uang. Yang harus mereka lakukan hanyalah mendukung mafia.”

Sebuah laporan pada tahun yang sama oleh The Economic Times menyatakan: “Di Goa, mafia Rusia ada di mana-mana. Anda diberi tahu tentang perampasan tanah dan sindikat kejahatan serta jaringan narkoba dan prostitusi yang dioperasikan oleh orang Rusia.”

Sudeep Chakravarti–seorang penulis India yang novelnya tahun 2018, “The Baptism of Tony Calangute” menampilkan gembong narkoba Rusia yang brutal bernama Sergei Yurlov-– percaya bahwa kejahatan terorganisasi Rusia di India mencerminkan apa yang pernah dilakukan Yakuza Jepang di Hawaii pada tahun 1950-an.

“Dunia bawah Jepang mengikuti tujuan utama para pelancong Jepang ini dengan investasi di hotel dan kondominium. Rumah perjalanan, seks, dan obat-obatan hiburan yang dikendalikan Yakuza menjadi akibat wajar. Secara keseluruhan, ini juga merupakan cara yang nyaman untuk mencuci uang tunai di luar sistem dan membangun front bisnis yang sah,”tulis penulis.

“Model serupa kini telah tiba di Goa bersama Rusia, yang telah menghubungkan dan memperluas sirkuit narkoba dan seks yang sudah kuat di Goa yang melayani pengunjung pesta dari beberapa negara, dan beberapa negara bagian di India.”

Mafia Rusia juga mengendalikan sejumlah rumah bordil di Goa, di mana pekerja seks “dalam segala hal adalah budak majikan mereka, yang membuat mereka dipukuli secara brutal jika mereka berani memprotes dengan dalih apa pun”, Goa Chronicle melaporkan hal itu, April lalu. “Keluhan dari pelanggan tentang seorang gadis yang tidak kooperatif dapat mengakibatkan hukuman cambuk yang parah dengan sabuk kulit bertabur baja.”

Goa dan Pattaya bukan satu-satunya tujuan wisata yang terpengaruh oleh raket rekreasi Rusia. Di Costa del Sol, magnet wisata Spanyol, warga negara Rusia telah menciptakan ribuan perusahaan cangkang sebagai kedok untuk pencucian uang yang digunakan untuk membiayai operasi perdagangan narkoba dan manusia, menurut Kepolisian Nasional Spanyol.

Mafia Rusia juga telah membangun kehadiran yang signifikan di Dubai, menurut dokumen 2019 yang disusun oleh Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan.

Tetapi sampai sekarang tidak ada data atau pernyataan dari lembaga penegak hukum yang menunjukkan bahwa semua itu telah direplikasi di Bali. Beberapa ahli mengatakan, lonjakan kejahatan baru-baru ini terkait Rusia di Pulau Dewata itu mungkin hanya merupakan efek samping yang tidak diinginkan dari pandemi.

Apakah fenomena tersebut akan berlanjut pascapandemi, masih harus dilihat. Tetapi seperti yang ditunjukkan oleh berita-berita utama yang ada, mereka telah memulai dengan awal yang buruk.

Beberapa politisi di Bali telah menyarankan untuk melarang orang Rusia mendapatkan visa pada saat pariwisata internasional mulai pulih. Tetapi ini tidak akan mencegah transplantasi kriminal dari Rusia, kata Zabyelina dari City University of New York: “Selalu ada cara untuk mendapatkan visa dengan dokumen palsu atau masuk ke negara itu secara ilegal.”

Sarannya sesederhana menyediakan cara bagi turis Rusia untuk berkomunikasi dengan polisi, imigrasi, dan lembaga pemerintah lainnya. “Saya akan merekomendasikan adanya hotline 24/7—24 jam penuh selama sepekan bulat–dengan pekerja berbahasa Rusia. Dengan begitu ada cara yang jelas bagi wisatawan dan pemilik bisnis berbahasa Rusia untuk berkomunikasi dengan pihak berwenang guna melaporkan kejahatan seperti pemerasan,” katanya. “Mereka perlu tahu bahwa polisi akan menanggapi informasi mereka dengan serius dan menanganinya dengan hati-hati.

“Akan sangat membantu jika komunitas berbahasa Rusia di Bali meningkatkan kesadaran di kalangan wisatawan Rusia tentang beberapa kemungkinan risiko yang mungkin menunggu mereka. Itulah yang hilang sekarang dan ini adalah bagaimana Bali dapat memulai tanggapannya terhadap meningkatnya ancaman kejahatan terorganisasi Rusia di Indonesia.”

Oh ya, Polda Bali, Polisi Pariwisata, Dinas Pariwisata Bali, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dirjen Imigrasi, Dirjen Pemasyarakatan, Lapas Kerobokan dan setiap instansi pemerintah yang dihubungi menolak untuk mengomentari kejahatan terkait Rusia di Pulau Dewata itu.

Keheningan yang memekakkan telinga adalah produk dari berbagai faktor yang saling terkait: protokol kesehatan Covid-19 yang mengamanatkan jumlah staf yang rendah di kantor-kantor pemerintah; fakta bahwa orang Indonesia lebih suka menghindari konflik dan menghindari diskusi tentang topik yang tidak menyenangkan di depan umum; dan, seperti halnya Goa dan Pattaya, Bali adalah sarang korupsi. Indeks Persepsi Korupsi global Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 102 dalam daftar 180 negara. Thailand di peringkat 104, dan India 86.

Suap terdokumentasi dengan baik dalam proses pidana di Indonesia, dan sebelum pandemi, banyak polisi di Bali menghabiskan hari-hari mereka menarik turis karena pelanggaran lalu lintas yang tidak ada atau kecil, kemudian menuntut ratusan dolar untuk penyelesaian.

Sampai saat ini, seseorang dapat membayar suap sebesar 600 dolar AS di Bandara Internasional Jakarta untuk menghindari karantina wajib. Semua orang mulai dari maskapai penerbangan, imigrasi, keamanan bandara, dan agen visa terlibat dalam penipuan.

Lalu ada mafia Italia, yang bisa memberi Anda visa jangka panjang dan izin kerja di Bali-–dokumen yang membutuhkan waktu berbulan-bulan jika melalui saluran resmi–– dalam hitungan jam.

Zabyelina mengatakan dia tidak berpikir kejahatan terorganisasi Rusia merupakan “ancaman mendesak” ke Bali. Tetapi ia memperingatkan bahwa studi tentang raket rekreasi Rusia, dengan Goa dan Pattaya sebagai contoh textbook, menunjukkan satu dekade dari sekarang segalanya bisa sangat berbeda.

Zabyelina percaya orang Rusia yang menyamar sebagai agen Interpol di Bali dan rekan-rekan konspiratornya kemungkinan adalah “penjahat kecil yang mencoba mencari nafkah” untuk menghindari pulang ke rumah, dan malah menghabiskan hari-hari mereka bersantai di pantai. Dia juga percaya pandemi “mungkin ada hubungannya dengan” peningkatan kriminal, karena banyak orang asing terjebak di Bali tanpa uang untuk pulang, atau tidak ingin pergi karena penguncian di negara asal mereka.

“Menjebak turis dengan narkoba di negara seperti Indonesia, dengan hukuman berat untuk pelanggaran, termasuk hukuman mati, adalah pemerasan jahat lainnya,” kata Zabyelina. “Begitulah cara organisasi kriminal memulai di lokasi asing karena tidak memerlukan modal atau keterampilan tertentu.”

“Dan jika tidak ditangani sejak awal, kelompok tersebut mungkin dapat menetap di Bali lebih permanen dan bahkan beralih ke perusahaan kriminal yang lebih canggih dan menguntungkan, seperti perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan perdagangan satwa liar,” tambahnya, mengacu pada 2019 insiden di mana orang Rusia,  Andrei Zhestkov, dihentikan di Bandara Bali dengan bayi orangutan terbius di kopernya. Zhestkov mengklaim bahwa dia telah membelinya dari orang Rusia lainnya seharga 3.000 dolar AS.

“Tidak ada bukti yang menunjukkan mana yang lebih dulu-–pariwisata Rusia atau kejahatan terorganisasi. Saya pikir mereka berjalan beriringan di tempat-tempat eksotis di mana orang Rusia suka pergi berlibur untuk menghindari iklim yang dingin,” kata Zabyelina.

“Yang Anda butuhkan agar kejahatan semacam ini berkembang adalah pasukan polisi yang tidak responsif terhadap turis dan tidak mampu atau tidak mau memberi mereka keamanan.” [South China Morning Post]

Back to top button