POTPOURRI

Hari Ini di 1499: Kaum Muslim Spanyol Angkat Senjata Menentang Paksaan Pindah Agama

JAKARTA—Setelah penaklukan Granada, basis terakhir komunitas Muslim di Spanyol pada 1492, kaum Muslim Spanyol hidup sebagai muldejar. Status hukum sebagai orang Muslim dengan hak-hak untuk menjalankan ibadah agama tersebut diakui kekuasaan tiga monarki yang ada di Spanyol saat itu.

Saat itu populasi Muslim di Spanyol tinggal sekitar 500-600 ribu, kebanyakan tinggal di Granada. Lainnya sudah habis dibantai, mengungsi karena peperangan berlarut-larut, atau terpaksa berpindah keyakinan seiring kejatuhan kekuasaan Muslim di Spanyol. Para muldejar itu masih bisa hidup meski sebagai minoritas dalam kekuasaan tiga kerajaan Kristen: Kastilia, Velencia dan Aragon.

Persoalan bermula saat pada 1499, Uskup Agung Toledo, Kardinal Francisco Jiménez de Cisneros, memulai kampanye untuk memaksa para Muslim Granada berpindah agama. Caranya sistematis, dengan melakukan pemenjaraan dan pemenjaraan. Itulah yang kemudian memicu perlawanan kaum Muslim. Padahal, dalam perjanjian yang disahkan tahun 1491, Muslim diizinkan hidup dan melakukan aktivitas keagamaan, dalam status muldejar tersebut.

Gerakan perlawanan tersebut bermula di kota Granada. Karena kurang terkoordinasi dan lemah dalam segala hal, perlawanan itu segera bisa dipadamkan. Para pelakunya tak hanya disiksa, tetapi langsung dieksekusi mati.

Tetapi percikan perlawanan itu menjadi bara lebih besar yang membakar perlawanan  lain selama sekitar dua tahun. Tak hanya terjadi di Granada yang berada di bawah Kastilia, perlawanan yang lebih serius Meletus di Alpujarras.

Sayang, alih-alih sadar telah melakukan kesalahan mendasar, kekuasaan Katolik justru menjadikan perlawanan yang terjadi sebagai alat pembenar untuk menghapuskan Perjanjian Granada serta hak-hak kaum Muslim yang dijamin perjanjian tersebut. Perjanjian Granada, yang ditandatangani pada November 1491, menjamin serangkaian hak untuk Muslim Granada, termasuk toleransi beragama dan perlakuan adil, sebagai imbalan atas penyerahan Granada oleh kekuasaan Islam yang saat itu dipimpin Muhammad XII dari Granada, yang juga dikenal sebagai ‘Boabdil’. Tahun itu, setiap Muslim di Granada dipaksa pindah kepada Katolik atau diusir keluar kerajaan. Wikipedia menulis, banyak kaum Muslim geram karena perlakuan buruk terhadap keluarga mereka itu seringkali dimulai dengan memberikan perlakuan buruk berupa intimidasi dan penyiksaan kepada anak-anak gadis atau istri-istri mereka. Pada 1502 konversi paksa tersebut diterapkan di seluruh Kastilia.

Pada tahun-tahun itu, Cisneros yang terus mengintensifkan upaya pemaksaan alih-agama itu pada Desember 1499 melapor dengan bangga kepada Paus Alexander VI. Ia menyatakan, dirinya mampu membuat 3.000 Muslim bertobat dalam satu hari. Bukan tanpa kritik internal sebenarnya. Hagiographer abad 16, Telvar Gómez de Castro, mengkritik pendekatan Cisneros itu sebagai ‘metode yang salah’.

Sebenarnya, perlawanan tak akan membesar seandainya Cisneros tidak dengan culas menggunakan perlawanan tersebut justru sebagai alat pemuas keinginannya. Sepuluh hari setelah perlawanan meletik, para pemimpin Muslim berhasil meyakinkan warga untuk menyerahkan para pengusung awal perlawanan—yang membunuh polisi kerajaan saat itu. Namun, saat para pemimpin perlawanan mletakkan senjata dan menyerahkan pembunuh polisi, justru mereka segera dieksekusi mati.

Perlawanan Alpujarra tergolong perlawanan yang alot. Pada Februari 1500, kekuasaan Katolik harus mengerahkan 80 ribu pasukan mereka untuk menghentikan perlawanan. Pada Maret 1500 bahkan Ferdinand Raja Aragon sendiri yang langsung terjun memimpin operasi.

Operasi besar-besaran dilakukan. Satu demi satu pemimpin perlawanan ditangkap. Pada operasi ke Lanjaron, yang dipimpin langsung Ferdinan, berhasil memadamkan perlawanan. Sekian banyak Muslim yang tak hendak segera menemui Allah terpaksa dibaptis.

Salah satu episode paling kejam peperangan ini terjadi di Laujar de Andarax. Pasukan Katolik di bawah Louis de Beaumont, menyeret 3.000 tahanan Muslim dan membantai mereka di tempat. Antara 200 hingga 600 wanita dan anak-anak yang mengungsi di masjid setempat terbakar saat masjid diledakkan dengan mesiu. Selama operasi di Velefique, seluruh pria terbunuh dan para wanitanya diperbudak. Di Nijar dan Güéjar Sierra, seluruh penduduk diperbudak, kecuali anak-anak yang diculik untuk dibesarkan sebagai orang Kristen.

Pada 14 Januari 1501, Ferdinand memerintahkan pasukannya untuk mundur seiring melemahnya perlawanan. Anggapan itu salah. Kerusuhan lebih lanjut terjadi di Sierra Bermeja. Pasukan Katolik di bawah pimpinan Alonso de Aguilar, salah satu perwira Katolik paling terkenal saat itu, langsung menderap untuk membereskannya. Sayang, alih-alih padam, Aguilar sendiri mati sementara hampir seluruh pasukannya binasa.

Kaum Muslim akhirnya menyetujui usulan Ferdinan untuk berdamai. Mereka yang mampu membayar 10 doblas emas bisa tetap tinggal sebagai Muslim. Lainnya bisa memilih  antara pengasingan atau dibaptis. Secara bergelombang kaum Muslim dikawal menuju Pelabuhan Estepona, untuk berlayar ke ke Afrika Utara. Sisanya diizinkan kembali ke rumah setelah pindah agama, membiarkan lengan mereka dipotong dan kehilangan harta benda.  Hanya satu dekade setelah jatuhnya Imarah Granada, seluruh populasi Muslim di Granada menjadi Kristen.

Sebuah proklamasi pada tahun 1502 memperluas pertobatan paksa ini ke seluruh Castile, meskipun mereka yang berada di luar Granada tidak ada kaitan dengan perlawanan. Muslim yang baru ‘bertobat’ itu dikenal sebagai nuevos cristianos (‘orang Kristen baru’) atau moriscos (Moor).

Meskipun mereka masuk Kristen, mereka mempertahankan adat mereka yang ada, termasuk bahasa mereka, nama yang berbeda, makanan, pakaian dan bahkan beberapa upacara. Banyak yang diam-diam mempraktikkan Islam, bahkan ketika mereka secara terbuka menyatakan dan mempraktikkan agama Kristen. Sebagai respons, para penguasa Katolik melakukan kebijakan yang semakin tidak toleran dan keras untuk menghapus karakteristik tersebut. Hal itu memuncak sehingga Philip II pada 1 Januari 1567 yang memerintahkan kaum Moriscos untuk meninggalkan kebiasaan, pakaian, dan bahasa mereka dengan aturan Pragmatica. Pragmatica memicu pemberontakan Morisco pada 1568-1571.

Yang membuat perlawanan Alpujarra awet juga karena letak dan kontur wilayah mereka. Para Muslim menciptakan desa-desa di lereng bukit dengan gaya yang biasa mereka gunakan di pegunungan Afrika Utara: jalan-jalan sempit berliku dan rumah-rumah kecil beratap datar. Konon, hingga saat ini bara masih saja sulit dipadamkan di bekas wilayah Granada itu. [ ]

Back to top button