POTPOURRI

Kebiadaban Komunis: Otto Iskandar di Nata Dilarung Setelah Kepalanya Dipenggal

Pagi itu, 20 Desember 1945, matahari belum begitu tinggi. Kira-kira masih pukul 08.30 WIB. Dari kejauhan di balik semak pantai, Jamidi melihat salah satu komplotan Usman bernama Mujitaba, memancung kepala seorang lelaki di tepi pantai Ketapang, Mauk, Tangerang. Jasadnya kemudian dilarung ke laut dan hilang.

JERNIH–Tanyakan kepada pasir dan air Pantai Mauk, Tangerang, yang menjadi saksi bisu atas aksi kelompok Ubel-Ubel Hitam. Deru ombaknya memberi pesan dan cerita tentang nasib tragis seorang Otto lskandar di Nata. Sebuah peristiwa yang nyaris hilang ditelan ombak.

Dikisahkan seorang nelayan kecil bernama Jamidi, bertinggal di tepi Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang. Karena kepolosannya, dia tidak tahu menahu apa pun kehidupan Jakarta pada masa perjuangan kemerdekaan 1945. Yang diketahuinya hanyalah laut yang maha luas. Ombaknya yang keras dan ikan yang harus ia tangkap sebanyak-banyaknya untuk makan anak dan istri.

Sore itu, di bulan Oktober 1945, saat berangkat menangkap ikan, Jamidi mendengar perbincangan di warung kopi. Orang-orang membicarakan bahwa Pemerintah RI di Tangerang yang dipimpin oleh Bupati Agus Padmanegara, dihancurkan oleh Usman, seorang komunis.

Usman adalah komunis yang melancarkan gerakan bawah tanah di Tangerang. Usman dan komplotannya menolak Pemerintah RI. Mereka membentuk sebuah kelompok, Laskar Ubel-Ubel Hitam. Melakukan aksi teror dengan membunuh, merampok harta penduduk Tangerang, dan sekitarnya seperti di Mauk, Kronjo, Kresek, dan Sepatan.

Jamidi si nelayan menjadi satu-satunya saksi hidup yang melihat kejadian pada tanggal 12 Desember 1945. Usman dan komplotannya membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten. Puncaknya, mereka membunuh pejabat penting di Mauk.

Pagi itu, 20 Desember 1945, matahari belum begitu tinggi. Kira-kira masih pukul 08.30 WIB. Dari kejauhan di balik semak pantai, Jamidi melihat salah satu komplotan Usman bernama Mujitaba, memancung kepala seorang lelaki di tepi pantai Ketapang, Mauk, Tangerang. Jasadnya kemudian dilarung ke laut dan hilang.

“Sungguh aku tidak tahu siapa orang yang dipancung itu. Aku hanya menduga pastilah ia sangat dimusuhi komplotan Usman,” ujar Jamidi.

Empat belas tahun kemudian semua menjadi jelas. Mujitaba, anggota Kaskar Ubel-Ubel Hitam itu memancung kepala pejabat penting Pemerintah RI, Otto lskandar di Nata. Otto adalah menteri pertahanan pertama RI. Otto juga merupakan salah satu pengurus Budi Utomo (awal berdiri, 20 Mei 1908) dan salah satu orang yang berjasa dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Berpuluh tahun setelah pemancungan tersebut, keluarga Otto mengambil gundukan pasir dari pantai Ketapang, Mauk. Pasir itulah yang dikubur di Bandung. Hal itu dilakukan karena jasad Otto tak pernah ditemukan. Menjelang akhir 1952 itu warga Bandung menyaksikan pemakaman kembali tokoh Pasundan, Otto lskandar di Nata.

Sentot lskandar di Nata, salah satu putra Otto, tiba di Bandung dengan memanggul sebuah peti berisi pasir dan air laut sebagai simbul jenazah Otto. Pasir dan air laut itu dimasukkan ke dalam peti, diiring doa seorang penghulu jaksa Tangerang. Dalam rombongan terdapat Menteri Perhubungan Djuanda, Menteri Pekerjaan Umum Indonesia pada Kabinet Sukiman Suwirjo, Ukar Bratakusumah, Djungdjunan, serta Letnan Kolonel Sukanda.

Peti Jenazah berisi pasir dan air ini dimakamkan pada Ahad, 21 Desember 1952 di Taman Bahagia, daerah Lembang. Pemakaman dimulai pukul 10.00 pagi, dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Hingga kini, anak cucu Otto, para peziarah dari berbagai penjuru Indonesia, hanya bisa menziarahi pasir dan air Pantai Mauk yang menjadi saksi kebengisan gerombolan PKI, Laskar Ubel-ubel Hitam.

Pasir dan air pantai Mauk itulah satu-satunya saksi bisu, yang kini bahkan hampir terlupakan. Hanya pasir dan air pantai itu yang bisa dihadirkan di makam Otto. Di pemakaman pahlawan Bandung pun, ‘Otto’ hanyalah segenggam pasir dan air yang bisa menguap kapan saja. Semua gara-gara keganasan laskar Ubel-ubel Hitam buatan Usman.

Semoga kisah sejarah ini tidak terlupakan. Di mana pun dan kapan pun gerombolan PKI tetaplah membahayakan. Baik agama, bangsa, maupun negara. Maka dari itu waspadalah!  [  ]

Dari buku : Ayat-ayat yang Disembelih

Back to top button