POTPOURRI

LPSK: Perbudakan di Langkat Bupati Diduga ‘Untung’ Rp177,5 Miliar

Setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP dibisnisnya tanpa digaji yang jika dijumlah mencapai Rp177,5 miliar.

JERNIH-Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu, kembali mengeluarkan pernyataan mengejutkan dengan menyebut Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) diperkirakan mendapat keuntungan dari praktik perbudakan modern yang dilakukan di belakang rumahnya.

Tak tanggung-tanggung, Edwin menyebut angka keuntungannya hingga mencapai Rp177,5 miliar.

“Mengacu pernyataan Kapolda Sumut, bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP dibisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp177.552.000.000,” kata Edwin dalam keterangannya pada Kamis (10/3/2022).

baca juga: LPSK Temukan Fakta Baru Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Lahat

Mereka yang dikerangkeng di tempat yang disediakan Bupati Lahat nonaktif tersebut, dipekerjakan di perkebunan milik sang bupati tanpa mendapat upah sebagai tenaga kerja. Mereka yang di kerangkeng tersebut pada umumnya para pecandu narkotika

Edwin juga menyebut, Terbit sepenuhnya memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Tim LPSK menemukan para korban takut melawan atau meminta pulang karena Terbit yang merupakan seorang kepala daerah.

“Kalau ada TRP, jangankan makan dan minum, buang air pun para korban tidak berani,” katanya.

Temuan lain oleh tim LPSK adalah iming-iming rehabilitasi bagi para pecandu narkotika namun pada kenyataannya mereka jadi budak bagi kepntingan pribadi Bupati Lahat dalam bentuk praktik perbudakan modern.

baca juga: LPSK Temukan Dokumen Mulai dari Dugaan Membayar hingga Ada yang Mati

“Pola penguasaan total benar-benar memutus penghuni kerangkeng dari keluarganya. Bahkan ada dua orang tua dari korban yang meninggal dunia dan mereka tidak diperkenankan untuk melayat,”.

Edwin juga menyebutkan di antaranya terdapat juga cerita kelam pada penghuni kerangkeng karena mereka tidak tahu bagaimana mereka dapat pulang ke keluarganya setelah mereka menghuni kerangkeng.

Para korban setelah masuk ke kerangkeng tersebut nyaris tidak ada jalan untuk pulang atau keluar.

Temuan lainnya adalah para penghuni kerangkeng hanya bisa keluar jika menyuap kepala lapas (kalapas), melarikan diri, atau mati, kata Edwin, meskipun pada saat masuk kerangeng mereka menandatangani surat pernyataan antara pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng, dimana penghuni kerangkeng dapat keluar kapan saja.

Bagi mereka yang diketahui kabur, maka akan dicari dan dijemput paksa oleh tim pemburu yang merupakan anak buah Terbit, orang suruhan Dewa, yang merupakan anak Terbit, serta oknum aparat setempat.

Tim pemburu juga mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi korban dalam kerangkeng.

Semua temuan tersebut didapat Edwin pada saat tim LPSK melakukan kegiatan koordinasi, investigasi, dan penelaahan yang dilakukan sejak 27 Januari hingga 5 Maret 2022. (tvl)

Back to top button