MALIK: Seorang Pemuda Mencari HAMKA
Bayangkan, orang-orang yang kini tinggal jasad terbujur itu, dan sekian lagi yang mungkin bertebaran di seantero Arafah, adalah para pecinta Allah yang datang dari berbagai belahan Bumi
Pengantar:
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Cerita bersambung di bawah ini mengulas sekelumit masa mudanya. Manakala ia masih seorang Malik.
Episode 2:
Tiba-tiba pemuda itu terjungkal dan jatuh menumbuk gumuk pasir panas. Matanya sekelebat menangkap benda penghalang yang menyerimpung kaki dan membuatnya terjatuh itu. Sebentuk tulang kering yang melintang kaku, dari tubuh yang juga kaku dengan mulut menganga terbuka. Ia terserimpung tulang kering mayat! Ditolehkannya pandangannya ke kanan kiri. Di sekitar titik ia terjatuh itu dilihatnya ada lima atau enam tubuh yang terdiam kaku. Ya Allah, di sini kematian terasa begitu dekat.
“Allahumaghfirlahum, warhamhum, waafihi, wa fuanhum…”bibirnya merapalkan doa untuk perjalanan pulang jiwa jasad-jasad tadi. Anehnya, tak sedikit pun rasa takut mencekam dirinya saat itu. Yang ada bahkan semacam rasa takjub yang hangat menjalari seluruh urat syarafnya. Takjub, mengingat sebagaimana perjalanan jauh yang telah ia lalui hingga sampai di Arafah ini, mungkin saja mayat-mayat ini pun mengalami perjalanan panjang sebagaimana dirinya, sebelum tiba dan berwukuf. Lalu hari ini mereka mati, di sini, di hari, pada saat dan tempat yang istimewa ini: waktu wukuf. Segera ia membayangkan kebahagiaan di hati jiwa-jiwa yang telah berpulang itu sebelum kematian merenggut mereka.
Pemuda itu merasa seharusnya ada yang mengalir di sudut-sudut matanya. Setidaknya karena kontan ia pun merasa sesak. Sedih? Semacam itu, tapi tak benar-benar sebangun dengan rasa sedih. Mungkin ngungun yang berlapis romantisme kematian. Sedih, namun sekaligus ia juga merasakan keagungan di dalamnya.
Bayangkan, orang-orang yang kini tinggal jasad terbujur itu, dan sekian lagi yang mungkin bertebaran di seantero Arafah, adalah para pecinta Allah yang datang dari berbagai belahan Bumi. Datang dengan cinta yang sama, dengan kehangatan iman yang sama. Datang dengan kesiapan menemui apa yang mereka alami: kematian. Lalu manakala mereka mulai melangkah dengan niat berhaji, lisan mereka pun mengucapkan kalimat indah yang sama,”Labaik Allahumma labaik…Labaika la syarikalaka labaik…” Hamba datang memenuhi panggilanMU, ya Allah. Hamba datang, tak ada sekutu bagiMu…”
Kalimat yang persis sama dengan yang ia lisankan berulang-ulang sejak thawaf, hingga kini wukuf di tempat yang maha luas ini, Arafah. Tempat yang kata sementara ulama merupakan perwujudan Padang Mahsyar mini alias Mahsyar yang berada di dunia sebagai tempat para manusia merenungkan perjalanan hidupnya.
“Apakah aku pun akan berpulang hari ini?” kata Malik. Seperti tadi, ia mengucapkannya perlahan, pada dirinya sendiri. Malik tahu, betapa nyamannya bila ia diam di sini, membaringkan diri merasakan tusukan jarum-jarum di kepalanya merajalela dalam diam, tanpa harus setengah mati berusaha mencapai kemah. Ia tahu, ia hanya harus berdiamn diri, membiarkan tonjokan di ulu hati dan nyeri di kepala bekerja, menyerahkan matahari Arafah perlahan menggarang kering tubuhnya, sampai Izrail datang dan membawanya ke alam lanjutan dunia.
Memang apalagi yang masih membuatnya penasaran di dunia? Masihkah ia merasa kurang dengan cercaan ayahnya yang tak juga melihatnya tumbuh sebagai seorang alim ulama terkemuka di Tanah Minang? Masihkah lagi ia tak jemu dipandang enteng karena diri yang alpa diploma, hingga sekian tahun yang dijalaninya bersama Muhammadiyah pun tak membuatnya menjadi prioritas untuk diangkat menjadi guru di organisasi itu?
Tapi sekelebat pikirannya tahu, betapa tipisnya jarak antara pasrah lillah dan menyerah. Sementara kalau yang sebenarnya terjadi adalah yang kedua, tindakan itu juga sah diartikan sebagai bunuh diri.
“Tidak, awak tak akan bunuh diri di sini. Jauh-jauh awak datang dari Minang bukan untuk menyerah dikalahkan terik matahari dan terpaan angin samun. Awak datang untuk membuktikan kecintaan, lain tidak.”
Sedetik setelah itu Malik mencoba berdiri, lalu melangkah meski tertatih. Dirasanya dari lubang hidungnya kini ada yang mengalir hangat namun basah. Darah! Disekanya darah itu dengan punggung tangannya, sementara matanya tak lepas dari titik kemahnya, seakan tak hendak kehilangan arah tujuan. Bau amis darah mimisan kini memenuhi rongga hidung Malik, membawanya memasuki wilayah bayang-bayang yang samar. Diseretnya kaki yang rasanya seolah terpacak kuat menembus bumi Arafah itu satu persatu. Melangkah, satu demi satu, setapak demi setapak.
Hatinya yang sekeras batu ternyata mampu mengalahkan kondisi fisiknya. Kini bendera kemahnya itu hanya tinggal dua-tiga meter di depan. Namun manakala jarak itu tinggal selangkah dua lagi, gejolak mual di ulu hatinya pun kian menggila. Begitu pula denyutan tusukan jarum di kepalanya. Malik membungkuk memegang perut manakala lambungnya serasa diperas. Seolah ada tangan yang merogoh perutnya, masuk ke dalamnya dan memeras lambungnya, entah untuk apa.
“Allah! Allahu akbar!” teriak Malik. Ia berusaha membungkuk lebih dalam untuk membuat lambungnya terlipat. Barangkali dengan cara itu maka sakit yang melilit perutnya bisa berkurang. Namun alih-alih harapan itu terjadi, lutut Malik terlalu lemah untuk menahan tubuhnya dalam posisi posisi seperti itu. Alhasil, tubuhnya justru terdorong ke depan, beberapa langkah seiring kakinya mencari tegaknya pijakan. Lalu…bruuuk!
Malik terjatuh dengan hidung mencium permukaan terlebih dulu. Untunglah ia terjerembab ke dalam tenda, sehingga hidungnya yang nyungsep hanya menerjang tikar yang menutupi lapisan pasir lembut di bawahnya.
“Woiii!” seru beberapa jamaah, kaget. Yang lain segera memastikan kondisi Malik yang masih diam tengkurap mencium lantai kemah.
“Kau rupanya, Malik!” kata seorang jamaah setelah membalikkan posisi Malik. Logatnya terdengar seperti orang Sumatra. Wajahnya memperlihatkan usia yang lebih dari setengah baya, mungkin awal 50-an. Segera ia terkejut manakala tubuh Malik dirasanya dingin, namun keringat deras mengalir di wajahnya yang pucat lesi.
“Kemarikan bantal, lekas!” perintahnya. Segera seruan itu ditunaikan jamaah lainnya. Disangganya kepala Malik dengan tiga bantal yang disusun tinggi, membuat Malik bisa berbaring dengan dada lebih tegak. Sayang, kondisinya yang parah membuat kepalanya kembali terkulai.
“Air, tolong ambilkan air!” kembali orang yang tampaknya dituakan itu memerintah. Lalu dia meminta agar orang-orang menepi, memberikan ruang lebih luas kepada Malik.
“Beri dia ruang buat hawa,” katanya,” Kita kerumuni malah akan membuatnya tak bisa bernafas lega.” Jamaah pun menepi. Hanya dia dan dua orang yang membantunya mengurus letak dan posisi Malik yang dibiarkannya tetap di tengah tenda.
“Masya Allah, berat nian memang wukuf kali ini. Selain panasnya, angin samun kering pun sering bertiup. Semoga Si Malik ini tak seperti dua jamaah kita yang barusan berpulang,” kata dia, dengan tetap memperhatikan Malik. Nafas pemuda itu yang turun naik tampak membuat orang tua itu seolah bimbang. Beberapa jamaah terdengar mengaminkan. [bersambung]