5 PUISI HERWAN FR

MISAL
AKU MENUNGGU PAGI
DI PALESTINA
Miisal
aku menunggu pagi
di Palestina
malam adalah langit merah mawar merekah
seperti yang ditulis dalam kitab peringatan itu
gemetarku tak bisa kulukiskan dengan seribu puisi
yang paling menakjubkan sekalipun
Misal
Aku menunggu pagi
di Palestina
malam adalah sejuta kutukan dan ketakutan
yang tak bisa digambarkan seperti kisah pembunuhan
pertama
atau Umar yang mengubur hidup anak perempuannya
juga Firaun yang membunuh
seluruh bayi laki-laki atas dasar ketakutan
aku tak bisa membayangkan
bahwa tidur adalah seribu ancaman maut yang membabi-buta
tak akan ada letih dan pejam pada mata
yang dicongkel percikan martil
malam adalah seribu iblis yang berlari
ke jalur Utara
aku tak bisa membangunkanmu
sebab tidurmu melampaui malam
dan kegelapan
langit tak menyimpan bulan
dan dongeng adalah hantu puing
yang terbakar
Miisal
aku menunggu pagi
di Palestina
aku tak bisa lagi mengingat cara cara berdoa
di masjid-masjid yang sunyi dan tenang
Misal
Aku menunggu pagi
di Palestina
aku tak bisa lagi menyanyikan lagu Indonesia Raya
dan berikrar mengucap padamu negeri aku berjanji
Misal
aku menunggu pagi
di Palestina
rindu padamu, tak bisa kugambarkan dengan
rasa indah yang menggelora
seperti cinta terukir dalam puisi puisi Darwis untuk Ana
Miisal
aku menunggu pagi
di Palestina
Puisi puisi akan menjadi tunanetra dan tunawicara
Pada matamu yang berair mata
air mata yang bermata
malaikat-malaikat berjalan
atas nama doa di jam Gaza—
Tapi Tuhan tahu,
seribu tubuh semurni mumi, di gurun
dan akan seperti dulu
ketika di langit, ia mainkan Ababil
dengan batu api dan haru
Misal
Aku menunggu pagi
di Palestina
kata tak akan mengingat frasanya
larik terberai dari lirik
puisi gosong dibakar hampa
Misal
aku menunggu pagi
di Palestina
aku tak akan menemu
anak-anak merindu dongengan
dielus dalam dekapan—
2023-2024
*
CATATAN REDAKSIONAL
Kalau Aku Menunggu Pagi di Palestina: Puisi, Luka, dan Jeritan Tak Terlafazkan Herwan FR
Oleh Irzi Risfandi
Kalau puisi bisa berdarah, maka “Misal Aku Menunggu Pagi di Palestina” adalah salah satu contohnya. Ditulis dengan kepedihan yang sengaja dibuat runcing, Herwan FR tak sekadar menghadirkan puisi; ia menggelar altar bagi luka kolektif. Ia tidak datang dengan bendera, senjata, atau jargon politis. Ia datang dengan larik-larik yang meraung, dengan “misal” yang justru menekan keniscayaan: bahwa pagi, di Palestina, bukanlah hal yang bisa ditunggu dengan damai. Herwan membuka pintu kepedihan dengan ketukan yang lembut namun membekas, membisikkan bahwa puisi, jika cukup jujur, bisa lebih tajam daripada editorial perang.
Menariknya, Herwan FR tidak terburu-buru membungkus puisi ini dengan narasi heroik. Ia tidak menjadikan penderitaan sebagai bahan bakar patriotik kosong. Malam di Palestina dalam puisinya adalah “langit merah mawar merekah” dan “sejuta kutukan,” puitik tapi getir. Ia mengacu pada horor klasik dalam ingatan kolektif agama dan sejarah—dari kisah Umar hingga bayi-bayi yang dibunuh Firaun—untuk menggarisbawahi absurditas kekejaman. Tapi Herwan bukan hanya sedang “pamer referensi.” Ia sedang menyandingkan masa lalu dengan masa kini secara emosional, membuat sejarah terasa seperti luka terbuka, bukan catatan di buku pelajaran.
Salah satu kekuatan paling mencolok dalam puisi ini adalah pengulangan frasa “misal aku menunggu pagi di Palestina.” Dengan struktur repetitif yang ritmis, Herwan menciptakan semacam litani, sebuah doa yang menggeliat di antara asa dan kehancuran. Kata-kata seperti “aku tak bisa membangunkanmu,” “aku tak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya,” atau “puisi puisi akan menjadi tunanetra dan tunawicara” bukan sekadar retorika. Itu adalah deskripsi halus tentang kekosongan dan kehilangan, yang tidak bisa diisi bahkan oleh lirik kebangsaan. Di sinilah puisinya menjelma kritik kultural yang elegan tapi tajam—bahwa bahkan nasionalisme bisa jadi terasa absurd jika ditaruh di tengah reruntuhan Gaza.
Herwan FR, sosok kelahiran Cirebon yang kini menjadi dosen sastra di FKIP Untirta, memang bukan penyair ecek-ecek. Buku puisinya “Puisi yang Sedari Tadi Duduk Merokok di Hadapanmu” adalah contoh dari gaya liris sekaligus kritis yang ia usung: ada kontemplasi, ada gelegak perasaan, dan ada absurditas yang disampaikan dengan tenang. Dalam “Misal Aku Menunggu Pagi di Palestina,” ia juga bermain dengan citraan religius—“Ababil dengan batu api dan haru”—dan menjadikannya metafora spiritual atas kemarahan dan harapan. Bukannya berkoar-koar atau mendaku-mendaku solidaritas palsu, ia justru menempatkan dirinya di posisi paling manusiawi: seorang saksi yang remuk dan tidak tahu harus berbuat apa, selain menulis.
Dan itulah mungkin alasan mengapa puisi ini terasa begitu menggedor. Ia tidak mencoba menjadi solusi. Ia tidak meringkas penderitaan menjadi slogan. Ia membiarkan puisinya menjadi tunanetra dan tunawicara—seperti dunia yang membisu melihat Gaza terbakar. Tapi justru dalam kebisuan itulah, suara Herwan terdengar paling keras. Ia mengingatkan bahwa tidak semua hal bisa dipahami. Tapi setidaknya, bisa ditangisi. Atau ditulis. Karena, misal, kita sedang menunggu pagi—yang entah datang atau tidak.
2025
*
PUISI SINGKAT UNTUK
BENYAMIN NETANYAHU
Pagi, dengan segelas kopi
terlalu indah, bila harus
kusandingkan dengan
Pertanyaan pertanyaan
untukmu
“Selamat pagi, Netanyahu,
Selamat pagi.
Apakah hari ini otakmu masih bekerja
dengan sehat?“
Dua anak perempuan
menggenggam boneka
Di antara maut pagi
ketika sebuah ledakan dimulai
pada aba-aba yang pertama
Dari jalur Gaza ke Tel Aviv
Doa bergemuruh di Petah Tikwa
Orang orang mengibarkan bendera
Dengan tubuh separuh terkoyak
”Selamat Pagi Netanyahu,
Apakah pagi ini
otakmu masih bekerja?“
Dari jalur yang hancur
cinta tak lagi terukir indah
seperti puisi puisi Darwis untuk Ara
gerimis darah di sepanjang Al Jazera
turun dari langit terkutuk : musuh para nabi
Tuhan
misal aku menunggu pagi di Palestina
Tentu aku tak lagi bisa menyanyikan lagu
Indonesia Raya
Aku tak akan sempat lagi
Berjanji padamu negeri aku berbakti
„Selamat pagi, Netanyahu
Apakah hari ini
hatimu masih sebagai manusia?“
Seseorang baru saja menerbangkan capung api
Ke arah bocah yang baru saja menyusui
Tuhan,
apakah derita hanya sekadar rasa yang sedikit menyiksa?
Ayat-ayat yang pernah ada di gurun
Nabi nabi yang pernah lahir di gurun
Tak meneyntuh hatimu yang kaktus dan berduri
matamu masih rabun, bahwa tiga negara
telah mengibarkan bendera empat warna
di jantung kota Yerusalem
Di negeri itu, kau sebut Hizbullah
sebagai hantu
pengganggu tidurmu di ranjang
dan perempuan
di antara semua duka,
di antara seuruh yang runtuh dan luruh,
kau mainkan haru di atas bara yang baru
di sepanjang Herzliya, Petah Tikwa
sampai Kfar Saba
kau sebut zionis sebagai kabut kalut
pengganggu
pesta anggur darahpaderi dan orang orang suci
„Selamat pagi Netanyahu,
selamat pagi.
Dengarkan baik-baik pertanyaanku.
Misal pagi ini, Ia yang serba Maha
meneteskan setitik zahra api neraka
ke dadamu,
kau akan jadi apa?
Telalu indah bila harus kutulis
Kau jadi sededak kopi
yang nikmat kureguk
di sebuah pagi tanpa kenangan bulan
di dalam kolam
2024
*
SEDU SEDAN TANAH NABI
Setiap air mata menetes dari kitab yang
berlubang dari hatimu yang beludru
lalu racun akan sampai hatimu, bahwa tanah ini,
segunduk pertikan tak bertanda di negeri jauh,
masih terdengar aba-aba
sebelum rudal diluncurkan ke jantung kota
aku mengantuk, dan kantukku menjadi sejarah
yang berdarah bagi tidur, dalam ramalan lelaki suci dari gurun
negeri itu akan dipenuhi pemburu yang menembak tubuhmu
sampai semubunyi ke sebatang kayu
lalu racun akan sampai ke hatimu yang sebeku kutub
dari Timur taka da rasa haru yang mekar seperti kembang
di taman Karbala
Syuhada! Seru lelaki agung yang dinaungi anugerah
Kesabaran
“Thalhah! Thalhah!”
2024
*
DI MIMBAR
Di mimbar
seseorang masih bicara tentang perdamaian
dengan mulut memusar, seperti Segitiga Bermuda
tapi kota tinggal kabar
antara malam yang maut dan pagi yang kalut
seribu tubuh telah menjadi humus bagi
kesuburan mimpimu
Di mimbar
Seseorang masih bicara tentang tabah
ketika setiap pintu tak lagi berkunci
setiap rumah tak lagi berpenghuni
Tapi kau tahu, di ruang belajarmu
anak anak masih mengeja alfabet
dengan gigi-gigi yang putih
seputih susu dan roti
angin memang tak semurni harapan
tak ada tema kesedihan yang membahayakan
kesehatan hatimu yang terbuat dari kutub
Jiwamu lampu padam yang menghitamkan
warna darah di Gaza
Tapi Tuhan, bukan sebagai pigura
Apa yang sedang Ia lukis, bukan gambar
Waktu Ia lebur seluruh warna
dengan kesumba dan jelaga
akan jadi serupa cahaya
di luar jangkau sonar dan mata
seperti tubuh jenaka
jari jari menggenggam boneka
Di mimbar
seseorang masih bertanya
apakah perang berhenti ketika malam?
sambil mengisyaratkan pada bulan
bahwa malam adalah waktu terindah
bagi pertempuran
capung-capung api beterbangan
2023-2024
*
DETIK GIGIL
Aku tertidur sejenak, dan sejenakku
Menjadi detik yang berlari
Di sepanjang lorong api
Di kotamu yang mengeras
Lalu maut mengelupas
Bulan lepas
Tuhan
Apa perang berhenti ketika malam?
Pertanyaan dijawab tembakan
Buku buku terbakar esok pagi
Ayat ayat tak terdemgar esok nanti
Seseorang, menuangkan kopi sewangi
Arabika
seorang penyair yang mulai tua
Naik ke lantai tiga
Bir meluap seperti granat terbuka
Di negeri bunga
Seseorang berjalan
Di atas jembatan
Di samping gedung merdeka
Dengan tujuh bendera
Ia memotret wajahnya
Yang tak berdarah
Lalu di sebuah dusun
Di bawah gunung
Dewi dan Sarti masih mendulang tiktok
dengan selendang batik lurik
serupa ular derik
seseorang berbicara kebenaran di instagram
seperti Kresna menepuk pundak Bisma di Kurusetra
seseorang merasa lega
bahwa perang mungkin akan berhenti
walau esok pagi, ia tak peduli,
pada yang melambai
dan tak kemnbali
2023
*
BIODATA :
Herwan FR, lahir di Cirebon, kini menetap di Serang dan bekerja sebagai dosen sastra di FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten.
Ia menulis dalam dua genre utama: prosa dan puisi. Beberapa novel yang telah diterbitkannya antara lain: Bumi Perbatasan, Mata Perempuan, Jalan Keempat, dan Sumirat.
Adapun buku puisi yang telah ia terbitkan di antaranya: Peleburan Luka, Ronggowarsito, Puisi yang Sedari Tadi Duduk Merokok di Hadapanmu, serta Misal Aku Menunggu Pagi di Palestina.