5 PUISI ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN

Di Kedai Steak
akhirnya kau mengiris juga steak itu, perlahan-lahan. memesan bumbu dengan rempah jamur yang menggoda ujung lidah. meski kaudengar juga berbagai serapah di luar yang tumpah.
pisau itu menyayat lagi. kaucium aroma daging terpanggang. tiba-tiba teringat pada sebuah kampung yang terbakar. bising kota mendadak jatuh di atas kepalamu. kesunyian berdenting saat kauhirup teh hijau dingin. sekejap kaubayangkan, anak-anak dengan tubuh kurus, iga tulang yang sembul.
terasa nyeri, bahkan saat kauiris daging gempal itu. perlahan-lahan dengan runcing pisau.
Kembangan, 2024
*
CATATAN REDAKSIONAL
Daging, Dunia, dan Denting Kesunyian
Oleh Irzi Risfandi
Kalau ada puisi yang bisa bikin kita merasa bersalah saat sedang menikmati sepotong steak, maka puisi “Di Kedai Steak” karya Alexander Robert Nainggolan adalah contohnya. Ini bukan puisi tentang kuliner atau gaya hidup urban yang penuh influencer, tapi semacam renungan eksistensial—yang terjadi tepat di tengah keriuhan sendok-garpu, rempah jamur, dan teh hijau dingin. Alexander tidak mengajak pembaca merenung dengan lonceng gereja atau suara muazin; dia cuma butuh denting garpu dan aroma daging untuk menyusupkan luka sosial. Dan yang lebih nyesek, cara menyusupnya itu… elegan sekali.
Di permukaan, puisi ini tampak seperti narasi singkat tentang seseorang yang duduk santai di kedai steak, memotong daging perlahan, menikmati bumbu dan suasana. Tapi justru dalam “perlahan-lahan” itu, puisi mulai mengiris perasaan pembaca—tanpa kita sadari, kita sudah berpindah dari hidangan mewah ke bayangan “kampung yang terbakar”, “anak-anak dengan tubuh kurus”, hingga “iga tulang yang sembul.” Ini semacam efek sinematik ala Christopher Nolan, di mana waktu dan ruang melipat satu sama lain, dan kenyataan sosial tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam ruang makan tanpa permisi. Kritik sosialnya tidak frontal, tapi justru karena subtil itu, jadi jauh lebih efektif. Rasanya seperti mengunyah rasa bersalah sambil tetap meneguk teh hijau.
Alexander Robert Nainggolan sendiri bukan nama baru di peta sastra Indonesia. Ia adalah penyair-cerpenis-pamong yang rajin menulis dan menerbitkan buku puisi, esai, hingga cerpen. Dengan latar belakang manajemen dan pengalaman bekerja di sektor pemerintahan, puisinya kerap menjadi tempat ia mengolah jarak antara kehidupan administratif dan keresahan batin. Buku terbarunya Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (2024) menunjukkan bahwa ia penyair yang serius dalam merawat keheningan dan ironi. Dalam “Di Kedai Steak”, semua itu terasa: sebuah kritik kelas yang tenang, tapi menggigit.
Yang bikin puisi ini makin kekinian adalah konteks kita hari ini: di mana konsumsi sering kali jadi peristiwa yang sunyi dari empati. Kita bisa makan enak, ngopi lucu, staycation nyaman—tapi tetap menyaksikan berita kamp pengungsi atau krisis Gaza hanya sebagai selingan scroll. Alexander menangkap paradoks itu tanpa harus menghardik. Ia cuma memperlihatkan: bahwa satu tangan kita sedang memegang pisau steak, dan tangan lain—entah sadar atau tidak—sedang mencatat diam-diam betapa timpangnya dunia.
Maka puisi ini bukan sekadar puisi. Ia seperti cermin kecil yang diselipkan dalam buku menu. Saat pembaca tergoda oleh aroma dan narasi visual yang lezat, tiba-tiba saja cermin itu menampakkan wajah dunia yang lain—lapar, luka, dan sunyi. Alexander Nainggolan menulisnya dengan kalimat tenang, tetapi intensitasnya terasa hingga ke tulang. Dan jujur, setelah membaca puisi ini, saya jadi ragu setiap kali memotong daging: apakah saya sedang menikmati makan malam… atau sedang ikut menyayat realitas?
2025
*
Laut Dangkal
– bagi getrude ederle
di kerak ombak
pasang gelombang
tangan terayun
labirin air dingin
di kegelapan yang tak tersentuh retina
namun pada batas pantai
gerakmu tak lagi landai
detak adrenalin
jantung laut yang asin
gemuruh jatuh dari tungkai
tangan dan kaki
merengut cemas
dan dingin itu,
membalut hingga sengkarut
luput pada tubuh
gemetar semakin lebar
pada batas mana
maut rambat mendekat
menjemput kerut
dan pasang yang hilang
genang tubuh
mengambang
laut telah kehilangan matahari
hanya ada jeda
di segala bagian
kehilangan cahaya
dan harum pasir
mendesir
gelambir tenaga
mungkin masih menyisa
di kejauhan
2024
Catatan:
Gertrude Caroline Ederle adalah perenang putri berkebangsaan Amerika Serikat yang pertama kali berenang menyeberangi Selat Inggris.(Wikipedia)
*
Seekor Nyamuk di Kepala Namrud
dengungnya menelusup
jadi mimpi buruk
dan tidur yang terjaga
mata yang terbuka
seperti spiral akal
terbelah
maka ia hanya menduga
semua dosa
merupa oedipus
kawin dengan ibu
cemburu dengan langsat belia gadis
dan tenggelam dalam garba
rahim yang merawatnya
di masa lalu
hanya seekor nyamur
memutar
masa kanak yang sungsang
terjaga di syaraf otak
beternak jadi ilusi
memamah daging
pernah sembunyi di tempurung
yang pernah lunak
ketika bayi
ia benturkan lagi
pada pilar istana
“tolong belahlah kepala ini!” jeritmu menggamit sakit
memerih mata
sribu suara
ilusi yang berkecambah
dan darah menetes
memompa cemas di otot jantung
kepala hanya relung penuh dengung
hanya satu ekor!
sia-sia tak bisa dijerat
sekadar tertangkap
atau masuk perangkap
dalam tidur
dan ajal mendekat
perekat bagi kubur
2024
*
Melihat SW SCB
penyair tak pernah sedih
meski luka mencakar wajah
terbelah
tanpa darah
2024
*
Degup Juli
juli kerap berdegup di jantungku. ada kenangan membatu. prosesi ijab-kabul. asmara yang pecah di langit. dan aku takjub pada simpul senyum dan rona merah di pipimu. kitapun melangkah, dengan ratusan hari– tak pernah sempurna dicatat. bahkan saat puisi terus kutulis, memasuki lembar tahun lain. engkau, perempuan yang sama di masalaluku. acap getar terus melingkar, setiap menatap dirimu. meskipun di tempat yang paling jauh.
dan foto keluarga mungkin hanya sekadar penanda, dari setiap seguk tangis, atau kita yang kehilangan arah langkah. akhirnya, memang kita akan bertemu dengan juli-juli yang lain, dengan degup lain yang meletup. melucuti setiap sandiwara, menafsir cinta yang sederhana. di antara limbung tubuh lelah, remah amarah yang keruh. kita ingat, untuk tetap bertahan pada riuh kota, memasuki setiap simpang jalan. dan percaya, jika masih menyisa perih dari senyummu untuk tahun berikutnya.
senyum yang menghapus setiap kidung murung dariku.
Edelweis, 2024
*
BIODATA:
Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan), lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf di Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP), Kota Administrasi Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (FE Unila), jurusan Manajemen.
Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan tinjauan buku telah dipublikasikan di berbagai media cetak dan daring. Buku-buku yang telah diterbitkannya antara lain:
– Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Pensil 324, Jakarta, 2012)
– Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012)
– Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012)
– Silsilah Kata (kumpulan puisi, Basabasi, 2016)
– Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, JBS, 2023)
– Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Diva Press, 2024)
Email: alexr.nainggolan@gmail.com / alexr.nainggolan@yahoo.co.id
Facebook: Alex R. Nainggolan
Instagram: @alexrnainggolan