Solilokui

Bahwasanya Diri Adalah…

“Teka-teki ini menggambarkan suatu anggapan yang cukup lazim, yang dilatarbelakangi suatu pandangan filosofis tertentu. Menurut pandangan tersebut jiwa merupakan sesuatu yang lain daripada tubuh dan tersembunyi di dalam tubuh.”

Oleh : Alfathri Adlin

JERNIH– Suatu hari, Arthur Schopenhauer—seorang filsuf terkemuka (redaksi Jernih)–mengunjungi sebuah rumah kaca di Dresden, Jerman, dan dia terlihat sangat tertarik dengan sebuah tanaman.

Melihat hal tersebut, seorang penjaga mengira bahwa Schopenhauer adalah seorang botanis, lalu dia pun mendekatinya dan bertanya, “Siapakah Anda?” Dengan perlahan Schopenhauer pun berbalik dan memandang penjaga tersebut untuk beberapa saat sebelum kemudian akhirnya menjawab, “Bila Anda dapat menjawab pertanyaan itu untuk saya, maka saya akan sangat berterima kasih.” 

Jika pertanyaan semacam itu dilontarkan kepada Anda, apa kiranya jawaban Anda? Aku adalah tubuhku ini? Aku adalah berbagai komoditas yang aku kenakan? Aku adalah anak biologis dari kedua orangtuaku? Aku adalah…, silakan jawab sendiri.

Van Peursen pernah menceritakan bahwa dalam buku bacaan yang dulu dipakai di sekolah dasar Belanda tertulis teka-teki berikut: Sebuah rumah berdiri di atas dua tiang; bentuknya bagaikan sebatang pohon dan di atasnya terdapat sebuah bilik yang berbentuk bulat. Bilik ini mempunyai dua jendela yang saat malam ditutup dengan daun penutup; ada juga lubang tempat orang dapat memasukkan makanan.

Pertanyaannya ialah: ‘apakah rumah itu?’ Jawabannya: ‘tubuh.’ Pertanyaan berikutnya: ‘rumah itu ada penghuninya; siapakah dia?’ Jawabannya: ‘jiwa’.”  Van Peursen mengomentarinya bahwa, “Teka-teki ini menggambarkan suatu anggapan yang cukup lazim, yang dilatarbelakangi suatu pandangan filosofis tertentu. Menurut pandangan tersebut jiwa merupakan sesuatu yang lain daripada tubuh dan tersembunyi di dalam tubuh.”

Bahwasanya konsepsi tentang hubungan tubuh dengan jiwa itu senantiasa mengalami perubahan—yang dipengaruhi oleh banyak faktor—sebagaimana ditandaskan oleh Van Peursen bahwa, “Dalam sejarah filsafat kadang-kadang terdapat pendirian-pendirian yang sangat berbeda tentang hubungan antara jiwa dan tubuh. Lagi pula, dalam filsafat dewasa ini timbul beberapa pandangan yang sama sekali baru. Hal itu tidak mengherankan pula, jika kita ingat betapa besar minat manusia—dulu dan sekarang—terhadap setiap pertanyaan menyangkut hakikat manusia itu sendiri. Eksistensi manusia merupakan teka-teki yang tidak pernah dapat dipecahkan sampai tuntas. Teka-teki ini tampak secara khusus dalam keanekaragaman manusia, sebab kita dapat memandang dia dari berbagai-bagai segi, menemuinya dalam relasi-relasi yang sangat berbeda serta menjumpainya dalam situasi-situasi yang senantiasa berubah. Kata-kata seperti tubuh, jiwa dan roh bersangkut paut dengan perspektif-perspektif yang berubah-ubah ini.”

Karena itu istilah perubahan perspektif lebih netral dalam menandai berbagai konsepsi berbeda ihwal hubungan tubuh dengan jiwa dari masa ke masa, dibandingkan istilah kemajuan yang—langsung maupun tidak—akan merujuk pada istilah modern , serta secara implisit menyiratkan suatu kepastian bahwa pandangan ihwal tubuh dan jiwa yang banyak beredar di era modern pasti lebih unggul dan lebih baik daripada di masa sebelumnya.

Bias semacam ini bisa terlihat juga dalam perkara yang dinyatakan oleh Jean Francois Pradeau. Bahwasanya ada suatu kecenderungan yang sama dari para pemikir kuno, yaitu mereka hanya meneruskan serta mengembangkan dengan penuh hormat berbagai ajaran dan pemikiran para filsuf sebelumnya, bahkan tak jarang malah mencantumkan nama pemikir yang diikutinya sebagai penulis dari karya yang mereka buat, serta tanpa disertai pretensi untuk menemukan sesuatu yang baru. Ini justru berkebalikan dengan pola pikir dan mentalitas modern yang sangat terobsesi pada orisinalitas dan kebaruan —sebagaimana arti dari kata “modern” itu sendiri. [ ]

Keterangan: catatan di atas merupakan scplikan dari bab III tesis penulis yang tengah dipersiapkan untuk menjadi sebuah buku, Insya Allah.

Back to top button