SolilokuiVeritas

Benarkah Revolusi Kebudayaan Ala Xi Sedang Berlangsung di Cina?

Menurut The Wall Street Journal, tujuan utama Xi adalah untuk “mengembalikan Cina ke visi Mao Zedong, yang melihat kapitalisme sebagai fase sementara di jalan menuju sosialisme.”

Oleh  :  Helen Raleigh*

JERNIH—Bagi kebanyakan orang yang belum pernah mendengar Zhao Wei kemungkinan besar tidak akan pernah mendengarnya lagi saat ini. Zhao pernah menjadi megabintang di industri hiburan Cina, membintangi banyak acara TV dan film terkenal, di antaranya yang beredar di Indonesia adalah trilogy “Red Cliff”.

Helen Raleigh

Aktris berusia 45 tahun itu juga kemudian dikenal sebagai sutradara, pengusaha, dan investor. Dia memiliki lebih dari 85 juta pengikut fans page-nya di platform microblogging Weibo. Namun dalam hitungan hari di akhir Agustus lalu, Zhao “menghilang” dari dunia digital Cina.

Laman internet Cina telah menghapus semua wawancara, unggahan film, dan acara-acara TV-nya. Carilah di Weibo hari ini, Anda tidak akan menemukan apa pun tentang Zhao.

Zhao tidak pernah secara resmi didakwa melakukan kesalahan apa pun, meskipun beberapa orang menduga kepergiannya berhubungan dengan hubungan dekatnya dengan Jack Ma, pendiri perusahaan e-commerce terbesar di Cina, Alibaba. Ma sendiri menghilang beberapa lama, setelah mengkritik peraturan pemerintah Cina tentang perusahaan teknologi, pada Oktober 2020.

Beberapa selebriti nama besar lainnya menghilang pada waktu yang sama dengan Zhao. Ada banyak indikasi bahwa hilangnya hak milik digital mereka disebabkan oleh tindakan keras terbaru dari Beijing. Beijing telah memerintahkan perusahaan media Cina untuk tidak memilih aktor atau tamu pria yang tampak “terlalu banci”.

Dalam satu atau dua hari setelah hilangnya Zhao Wei, sebuah blog yang memuji tindakan pemerintah, tiba-tiba viral di Cina. Predikat “merah telah kembali” dan “transformasi atau revolusi mendalam” (“the red has returned”, “a profound transformation or revolution”)  sedang marak di Cina. Blog tersebut ditulis Li Guangman dan diposting di WeChat, platform media sosial Cina yang mirip Twitter.

Karena di Cina Li tidak terkenal, bukan siapa-siapa, hanya sedikit yang akan memperhatikannya dalam keadaan normal. Bahkan di Cina, seorang Maois sayap kiri yang kuat seperti Li, adalah minoritas. Namun sesuatu yang aneh terjadi: semua media utama pemerintah, seperti People’s Daily dan platform media sosial lainnya, memposting ulang blog Li dengan judul yang sama: “Semua Orang Dapat Merasakan Bahwa Perubahan Besar Sedang Terjadi!”

Selamat datang Revolusi Kebudayaan Cina 2.0 Xi!

Mark Twain, penulis terkenal “Tom Sawyer” dan “Huck Finn”, pernah berkata, “Sejarah tidak berulang, tetapi sering berima.” Itu tampaknya benar di Cina Komunis.

Xi Jinping, pemimpin Partai Komunis Cina (PKC), baru-baru ini menindak sektor-sektor seperti teknologi, pendidikan, dan hiburan dalam upaya untuk membentuk kembali budaya dan ekonomi Cina agar lebih sesuai dengan ideologi sosialis.

Mengingat bahwa pemerintah Cina memiliki industri media di bawah kendali yang kuat, media utama pemerintah tidak akan memposting ulang blog dari sosok yang tidak dikenal kecuali mereka menerima perintah langsung dari seseorang yang lebih tinggi di departemen propaganda Partai Komunis Cina. Karena itu, orang-orang mulai berspekulasi: apakah seorang pejabat tinggi di PKC menyuruh Li untuk menulis karya seperti itu, atau apakah Li menulisnya sendiri, tetapi seseorang yang penting menyukainya dan memerintahkan media terkemuka untuk membagikannya?  Apakah penyebaran luas oleh corong partai seperti People’s Daily dimaksudkan untuk menguji reaksi publik atau mewakili dukungan resmi dari seruannya untuk revolusi merah?

Orang-orang yang akrab dengan sejarah Cina tahu bahwa salah satu pemicu kritis Revolusi Kebudayaan Mao Zedong adalah publikasi dazibao (“poster raksasa “) pada 25 Mei 1966, oleh Nie Yuanzi, seorang mahasiswa di Universitas Beijing. Poster raksasa itu mencela para profesor dan pejabat publik karena merangkul nilai-nilai borjuis Barat dan kurangnya semangat revolusioner. Meskipun Nie menulis poster itu sendiri, dia mungkin menerima bantuan atau bahkan perintah dari para pemimpin senior partai di lingkaran dalam Ketua Mao, karena segera setelah itu Mao mengarahkan People’s Daily untuk menerbitkan kembali poster Nie.

Tiga bulan kemudian, Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan. Meminjam frasa dari poster raksasa Nie, Mao mengklaim elemen borjuis telah meresap ke setiap aspek masyarakat Cina, dari pemerintah hingga sekolah, pabrik, dan institusi lainnya. Mereka berusaha memulihkan kapitalisme dan kemampuan partai untuk mengeksploitasi orang.

Karena itu, Mao bersikeras bahwa hanya perjuangan kelas yang ganas yang dapat melenyapkan elemen-elemen kontra-revolusioner ini, dan memastikan Cina berada di jalur yang benar menuju utopia Komunis. Yang terjadi selanjutnya adalah satu dekade kekacauan dan kehancuran di seluruh negeri dan isolasi total dari dunia luar.

Selama Revolusi Kebudayaan, diperkirakan 20 juta orang tewas, termasuk pejabat senior partai yang dianggap Mao sebagai musuh politiknya. Ekonomi Cina berada di ambang kehancuran total, dan situs budaya, peninggalan, dan properti yang tak terhitung jumlahnya, dihancurkan atau dirusak.

Revolusi Kebudayaan baru berakhir ketika Mao meninggal pada September 1976, tetapi efek merusaknya masih bertahan lama setelahnya. Gerakan ini telah meninggalkan bekas luka psikologis yang parah di benak orang-orang Cina yang lahir sebelum tahun 1980. Inilah sebabnya, ketika media besar pemerintah memposting ulang sebuah blog yang penuh dengan slogan-slogan Maois dan menyerukan kembalinya “revolusi yang mendalam”, orang-orang baik di dalam maupun di luar Cina mulai bertanya-tanya: apakah Xi akan menuju Revolusi Kebudayaan 2.0?

Xi, tokoh setipe Mao

Pejabat Cina mengeluarkan pernyataan untuk menenangkan publik dan meredakan ketakutan investor asing bahwa sejarah akan terulang kembali. Sebuah editorial halaman depan di People’s Daily mengklaim, “Membuka ke dunia luar adalah kebijakan nasional dasar Cina, dan ini tidak akan goyah pada titik mana pun.”

Namun, jaminan tersebut hanya menawarkan sedikit kenyamanan karena tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata. Ada terlalu banyak kesamaan antara revolusi Xi dan Revolusi Kebudayaan Mao.

Tidak salah lagi, Xi mencontoh gaya kepemimpinannya langsung setelah Mao. Xi dengan berani merangkul upaya untuk membangun kultus kepribadian yang terakhir terlihat di Cina di bawah Mao. Ada lagu yang dibiarkan berkembang, yang lirik seperti “Mengikutimu [Xi] berarti mengikuti matahari.”

Mesin propaganda partai juga telah menghujaninya dengan gelar-gelar hebat: “Inti Partai” dan “Pemimpin Bangsa.” Kata terekhir itu kata superlatif yang terakhir digunakan untuk memanggil Mao. Seluruh bangsa telah dipanggil untuk “bersatu erat di sekitar Presiden Xi.” Seperti Mao, potret Xi ada di mana-mana. Seperti “Buku Merah” Mao, kumpulan pidato dan instruksi Xi telah menjadi buku terlaris nasional dan wajib dibaca bahkan untuk anak sekolah.

Xi adalah seorang nasionalis dan sosialis yang kuat yang percaya bahwa sosialisme dan identitas nasional Cina tidak dapat dipisahkan. Xi menuntut kepatuhan dan kesetiaan mutlak tidak hanya dari anggota partainya tetapi juga dari masyarakat umum. Itulah sebabnya di bawah pemerintahannya, orang-orang Cina telah melihat meningkatnya pengawasan, penyensoran, dan tindakan keras terburuk terhadap perbedaan pendapat sejak Revolusi Kebudayaan Mao.

Di bidang budaya, Xi telah melakukan lebih dari sekadar membuat beberapa selebritas “menghilang.” Seperti Mao, Xi menuntut budaya untuk berfungsi sebagai mesin propaganda partai dan membantu tujuan partai untuk mengubah pria Cina menjadi sosialis maskulin dan patriotik.

Xi telah melarang pemuda Cina bermain video game lebih dari tiga jam setiap minggu. Pada saat yang sama, skala dan intensitas “pendidikan merah”, yang mempromosikan kesetiaan yang teguh kepada Xi dan partai, telah mencapai sama dengan selama Revolusi Kebudayaan Mao.

Lagu-lagu revolusioner yang memuji Partai Komunis Cina telah kembali menjadi populer. Film yang mengagungkan tindakan partai selama Perang Cina-Jepang dan Perang Saudara Cina kembali menjadi hit blockbuster.

Kapitalisme, jalan menuju Sosialisme

Revolusi Kebudayaan 2.0 Xi telah melampaui pembentukan kembali budaya Cina. Di bidang ekonomi, Xi telah mencoba untuk memutar kembali empat dekade reformasi ekonomi yang diluncurkan oleh Deng Xiaoping dan dilanjutkan oleh para pendahulu Xi.

Menurut The Wall Street Journal, tujuan utama Xi adalah untuk “mengembalikan Cina ke visi Mao Zedong, yang melihat kapitalisme sebagai fase sementara di jalan menuju sosialisme.”

Seperti Mao, Xi telah meluncurkan kampanye melawan bisnis swasta di Cina, termasuk membatalkan penawaran umum perdana senilai 36 miliar dolar AS dari Ant Group; mengenakan denda 2,8 miliar dolar AS pada perusahaan induk Ant, Alibaba; dan melarang perusahaan les privat Cina menghasilkan keuntungan, yang praktis menyapu bersih seluruh industri.

Langkah paling sosialis Xi adalah ketika dia meluncurkan kebijakan baru yang bertujuan untuk mencapai “kemakmuran bersama,” sebuah nama mewah yang benar-benar real tentang redistribusi kekayaan dari pemilik bisnis kaya Cina (tidak termasuk anggota partai, tentu saja). Xi secara terbuka berbicara tentang perlunya “mengatur kelompok berpenghasilan tinggi yang berlebihan” dan bagaimana “bisnis harus mengembalikan lebih banyak keuntungan mereka kepada masyarakat.”

Pembicaraan seperti itu mengingatkan pada “reformasi tanah” Mao pada tahun 1950, yang secara paksa mengambil tanah dari pemilik tanah dan mendistribusikannya kembali kepada petani miskin yang tidak memiliki tanah. Beberapa tahun kemudian, pemerintah mengambil tanah dari petani miskin dan sejak itu menasionalisasi kepemilikan tanah. “Land reform” ternyata menjadi tabir asap bagi partai untuk meruntuhkan hak milik pribadi.

Menanggapi kebijakan baru “merampok orang kaya” Xi, bisnis swasta yang ketakutan di Cina bergerak cepat untuk menunjukkan kesetiaan dan kesediaan pada partai untuk “mengembalikan lebih banyak keuntungan mereka kepada masyarakat.”

Alibaba mengumumkan akan menginvestasikan 100 miliar yuan (15,5 miliar dolar AS) selama beberapa tahun ke depan ke dalam inisiatif “kemakmuran bersama”, termasuk mendukung kelompok rentan. Perusahaan teknologi lain juga membuat janji serupa. Penggeledahan orang kaya oleh Xi sangat efektif.

Sementara Revolusi Kebudayaan Mao terutama merupakan urusan dalam negeri, ambisi Xi adalah membuat Tiongkok sosialis mendominasi dalam tatanan dunia baru. Tidak mengherankan, Revolusi Kebudayaan 2.0 Xi telah memiliki dampak yang signifikan di seluruh dunia. Tindakan keras ekonomi Xi telah memicu beberapa putaran aksi jual pasar saham global yang substansial, memusnahkan 1,5 triliun dolar AS nilai perusahaan Cina yang dia targetkan. Investor internasional telah menderita kerugian finansial yang sangat besar.

Semakin cepat pembuat kebijakan dan investor di negara demokrasi Barat memahami ambisi dan dorongan ideologis Xi, semakin baik mereka dapat mengembangkan kebijakan dan strategi untuk melindungi demokrasi dan segala sesuatu yang kita hargai dari bahaya sosialis yang gigih dan revolusinya. [The Federalist]

Helen Raleigh, CFA, adalah seorang pengusaha, penulis, pembicara Amerika dan kontributor senior The Federalist. Tulisannya muncul di media nasional lainnya, termasuk The Wall Street Journal dan Fox News. Helen adalah penulis beberapa buku, termasuk “Confucius Never Said” dan “Backlash: How Communist China’s Aggression Has Backfired”

Back to top button