SolilokuiVeritas

Berkuasa Tapi Tuna Mulia

“Aib terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu pun engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.” Gemuruh para petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior.

Oleh    :  Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai prinsipil dan tanggung jawab kedudukannya. “Aib terbesar,” kata Juvenalis, (Decimus Junius Juvenalis, penyair Romawi yang hidup di akhir abad pertama dan awal abad kedua Masehi. Penyair puisi-puisi satir.—Redaksi), “ketika kamu lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu pun engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Sutan Sjahrir, salah seorg negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, merisaukan fenomena tersebut. Dalam catatan harian balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, Bung Sjahrir menulis, “Bagi kebanyakan orang-orang kita ‘yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ‘intelektuil’, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ‘orang-orang yg bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”

Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir 20 April 1934 itu, situasinya tak tambah membaik, bahkan memburuk. Gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan. Lebih parah lagi, banyak dosen/peneliti memburu gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan kapabilitas keilmuannya.

Kegilaan banyak orang juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan kenegaraan. Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Namun, tatkala kedudukan itu diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus bertanggung jawab atas kehormatannya.

Perpaduan antara kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan, surplus kehinaan. Benar juga kata George Bernard Shaw, “Titel/jabatan memberi kehormatan pada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.”

Gemuruh para petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior. [  ]

Back to top button