Solilokui

Catatan Harian Covid-19 (3): The Invisible Enemy

Sudah banyak cerita bagaimana para tenaga medis yang meninggal karena covid. Rasionya, Indonesia tertinggi di dunia.

Oleh   : Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Update hari ini, nafas mulai berat sejak dua hari yang lalu dan batuk-batuk. Kemarin agak berat, tapi hari ini sedikit berkurang setelah intervensi obat. Saturasi oksigen 99, which is good. Obat dari dokter membuat saya rajin tidur. Sesak nafas masih diinvestigasi dari mana asalnya.

Dian Islamiati Fatwa

Ok, ikke cerita yang lain. 

Saat pertama kali masuk RS Siloam Mampang, Pak Hisyam, a senior nurse yang bertugas sore itu mengantar saya dari IGD ke kamar dengan melewati ruang ICU. Ini adalah jalan tikus, memotong jalur agar saya tidak capek keliling.

Tidak seperti ICU lainnya yang tertutup rapat, pintu ICU justru terbuka lebar, ngablak pintu depan belakang. Hampir seperti hall. Mungkin maksudnya agar ada ventilasi udara.

Pasiennya rata-rata sudah hilang kesadaran dengan ekspresi muka beraneka ragam. Bila Anda pernah masuk ke ruang ICU, kira-kira tahu seperti apa ekspresi wajah mereka. Ada yang melongo dengan mata setengah terpejam, ada pula yang tertidur pulas, semuanya menggunakan alat bantuan pernafasan.

Setiap pasien di ICU ini mendapat pengawasan dari satu perawat yang duduk di ujung kaki pasien mengawasi 24 jam. Setiap menit melihat screen monitor alat kesehatan di samping pasien. Mencatat di buku laporan, membetulkan letak infus. Betul-betul seperti merawat bayi kecil agar pasien bisa tidur nyenyak.

Still though, it’s so distressing. Ngeri je, bisa jadi saya akan seperti mereka berada di kamar ICU ini bila imunitas di tubuh menyerah, mogok tidak lagi melawan Covid.

Saya yakin perasaan para dokter dan perawat juga sama. Mereka adalah orang yang paling berisiko tinggi terpapar. Apalagi yang nunggu di ruang ICU.  Tidak terbayang perasaan orang-tua, istri/suami melepas kepergian mereka bertugas ke rumah-sakit, seperti melepas ke medan perang.

Mungkin juga itu adalah pertemuan terakhir, sebab bisa jadi mereka terpapar covid dan harus dikarantina. Bila kuat akan kembali, bila tidak, keluarga mungkin hanya bisa menyaksikan pemakaman dari kejauhan.

Karena itu beberapa kali saya minta dokter dan nurse menjauh dari saya ketika melakukan visit. Kami bicara dengan teriak-teriak dan kadang terjadi lost in translation. Ya kira-kira seperti orang berantem.

Pertama dokter dan nurse menggunakan double masker dan diplester, tidak semua kalimat saya dengar mudah, kedua  saya memang agak budek. Kebayang kan dinamika di ruangan kalau dokter visit.

Lain itu, saya  sering stress bila dokter atau nurse yang masuk ke kamar untuk memeriksa, maskernya tidak tertutup rapat atau tidak menggunakan faceshield. Keberadaan mereka dalam masa krisis ini harus dieman-eman. Menjadikan seorang dokter atau perawat yang skillful itu nggak gampang dan butuh waktu lama.

Setiap melihat mereka dengan  baju astronot, dan double masker, tetap saja terbersit bagaimana bila virus covid di tubuh saya nyelonong meloncat ke tubuh mereka dari celah yang paling kecil? Sudah banyak cerita bagaimana para tenaga medis yang meninggal karena covid. Rasionya, Indonesia tertinggi di dunia.

Masalahnya memang virus ini tidak nampak. Ukurannya 60-120 nanometer (NM) kira-kira setara dengan sepermiliar meter. Sangat-sangat kecil. Perbandingan dengan sel tubuh, diameternya 0,1 milimeter, sementara virus 1000 kali lebih kecil.

Sebagai bayangan, lebar sehelai rambut bisa menampung sekitar 400 virus. Sangking kecilnya, nih virus tidak bisa dilihat dengan mikroskop biasa, nah apalagi kasat mata. Jereng kali mata kalau pengen ngliat. Makanya banyak jurnal kesehatan menyebut Corono virus sebagai ‘ the invisible enemy’. Kalau bentuknya terlihat tentu kita akan bisa menghindar. Tapi karena  wujud virus ini tidak terlihat sangking kecilnya, orang cenderung meremehkan.

Secara psikologis memang ancaman selalu dilihat secara visual misalnya Gorilla yang ngamuk kita akan lari menghindar, atau melihat banjir, longsor,  dan gempa bumi.

Bila berbentuk manusia dan wujudnya kira-kira mungkin seperti Voldemort, musuh Harry Potter dengan karakter yang sneaky, cruel, tricky, merciless and vicious, maka tentu kita akan berhitung untuk tidak ketemu.

Jadi bagaimana kita berperang kalau musuhnya saja kagak kelihatan? Zaman perang kemerdekaan, minimal kita tahu musuh kita datang dari mana. Melalui mata-mata kita tahu pergerakan musuh. Belanda bawa senjata bersliweran terlihat kasat mata. Dengan modal bambu runcing dan semangat 45, pahlawan-pahlawan kita mampu mengalahkan Belanda.

Virus Covid jelas our invisible enemy. Kita memang tidak punya senjata untuk mengalahkannya karena obat belum ditemukan. Mau tidak mau protokol 3 M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci  tangan) memang harus kita patuhi. At least for the time being. Ini adalah upaya yang bisa kita lakukan meminimalisasi korban sebelum obat ditemukan.

Kita tidak tahu kapan musuh itu datang dan dari arah mana datangnya. It just hits you and that’s it. [  ]

Duren Tiga, 17 Oct’ 20

Back to top button