Solilokui

Catatan Harian Covid-19 (8): Negatif

Kematian memang sering digambarkan sebagai pengalaman dalam sendiri. Meskipun kontak sosial mulai menurun saat virus mulai menggerogoti pasien covid, akan tetapi ikatan kehangatan keluarga dan kerabat masih dibutuhkan.

Oleh  : Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Malam ini ambulance membawa saya ke Jakarta Timur. Saya harus dipindahkan ke RS Adiaksa karena dinyatakan negatif. What a relief!

Walaupun demikian saya harus menjalani isolasi mengeringkan luka-luka tubuh karena virus sebelum pulang ke rumah. Tetap berada di RS Darurat Covid Siloam bukan sebuah pilihan karena justru akan rentan tertular lagi dari para perawat atau tenaga medis lainnya yang berkeliling dari satu kamar ke kamar lainnya.

Berita saya harus pindah ke tempat isolasi membuat saya sangat excited siang tadi, jalan menuju pemulihan mulai terbuka.

Saya langsung melahap habis Somay Bandung kiriman Ceu  Etty Karyati dan susu Kifer kiriman Anis Hamidati. Sebelumnya semuanya makanan terasa hambar, lidah pahit dan tidak ada nafsu makan sekali. Benar ternyata berita gembira berhasil memompa apetite yang melorot gara-gara serangan Corona.

Di ambulance tidak ada pasien lain kecuali saya dan Nathan, perawat idola saya. Malam ini memang ambulance hanya mengantar saya. Kami berbincang santai.

Nathan tampak khusuk melihat jalan raya, seperti tidak ingin diganggu. “Selama dua bulan kerja untuk Covid, saya tidak pernah keluar, Bu. Saya tinggal di lantai atas rumah sakit. Tinggal turun ke bawah kalau kerja. Paling jauh saya pergi ke Indomaret, di seberang jalan rumah sakit,”ujarnya tanpa melihat saya.

Pantas saja ia begitu menikmati pemandangan macet Jakarta. Nathan menatap satu-satu mobil yang kami lalui, seperti tak ingin ada yang hilang dari pandangannya. Sebab ini mungkin yang akan jadi bahan ceritanya di asrama nanti usai mengantar saya.

Cerita kemacetan Jakarta dari seorang pemuda Lampung yang tak pernah menikmati Ibu-kota selama bekerja di garis-depan penanggulangan Covid.

Saya sendiri menikmati suara sirene ambulance memecah kemacetan Jakarta. Suara ini tidak lagi saya dengar sebagai lonceng kematian, namun nyanyian kegembiraan.

Bagaimana tidak, setiap malam menjelang tidur saya bertanya, apakah waktuku kini hampir  tiba Tuhan?

If so, bolehkan saya menawar agar ada orang yang mendampingiku dan mengantarkan aku ke rumah-Mu sebelum tidur panjangku?

Sungguh tak ingin aku pergi sendiri, seperti pasien-pasien Covid lain. Menghadap-Mu dalam kesendirian. Aku punya saudara dan kawan yang pasti ingin mengantarkanku.

Teringat ketika meninggalkan rumah menuju Siloam minggu lalu, sempat terbersit, apakah ini akan menjadi perjumpaan  saya terakhir dengan orang-orang di rumah dan kawan-kawan.

Banyak pasien covid tidak menyadari ketika meninggalkan rumah, barangakali itu adalah pertemuan terakhir dengan keluarga. Lalu kemudian tak kembali untuk selamanya tanpa sempat berpamitan.

Sebelum menghembuskan nafasnya terakhir setiap manusia  tetap mempunyai kebutuhan dicintai dan mencintai, mempunyai kesempatan untuk memaafkan dan dimaafkan, memelihara ikatan hubungan terjalin cukup dekat.

Wajar saja, bila secara universal tak ada orang ingin meninggal dalam kesendirian. Bagi keluarga, mendampingi saat-saat terakhir adalah momen penting yang cukup berharga sebelum masa berkabung.

Kematian memang sering digambarkan sebagai pengalaman dalam sendiri. Meskipun kontak sosial mulai menurun saat virus mulai menggerogoti pasien covid, akan tetapi ikatan kehangatan keluarga dan kerabat masih dibutuhkan.

Sebagai manusia sosial, detik-detik terakhir dalam kebersamaan adalah relung simbolik baik secara personal maupun bagi keluarga yang ditinggalkan.

Teknologi yang tersedia memang saat ini  membantu. Tim medis seperti Nathan, bisa memfasilitasi percakapan detik-detik  terakhir dengan menggunakan video conference atau juga menggantikan posisi keluarga atau kerabat memberikan rasa tenang sebelum nafas menghembus.

Keji memang. Covid berhasil memporak-porandakan antropologi ratusan bangsa-bangsa di dunia dalam ritual pemakamanan. Dan tak satu pun diktator dunia kuasa merintanginya.

Ketika pandemi ini nanti berakhir, jutaan orang akan meninggal. Membatasi orang menghadiri pemakaman tetap akan menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia. Menyelamatkan lebih banyak kehidupan yang tak ternilai.

Dan, malam ini langkah saya menuju ruang isolasi terasa ringan.

Bila memang waktuku tiba, Tuhan telah mengabulkan permintaanku. Aku tidak akan sendiri dan terisolasi menghadap-Mu sebab aku bukan lagi pasien positif Corona. [  ]

Jakarta Timur 23 Oct ’20

Back to top button