Dongeng Bocah Sunda di Masa Lalu [5]: Tome Pires Sarapan Asmun, Comro dan Ketan Limpung di Karangsambung
Pires bahkan tak hanya menulis tentang batas Kerajaan Sunda-Kerajaan Majapahit, yang tampaknya telah bergeser dari awalnya di Ci Pamali (Brebes-Cilacap) ke Ci Manuk itu. Ia juga menulis tentang watak para lelaki Sunda dan Jawa. “Sunda adalah tanah para ksatria. Pun bagi para pelaut. Pelaut-pelaut Sunda begitu pemberani dan selalu siap berperang,”tulis Pires dalam magnum opusnya, Suma Oriental.
JERNIH–Mengacu paribasa Sunda, warga Kadipaten di tahun 1970-an sampai 1990-an awal—termasuk kanak-kanaknya–tampaknya layak disebut golongan “peujit koreseun”. Peujit artinya usus, sementara koreseun, saya belum menemukan padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Namun arti frase peujit koreseun sendiri adalah usus yang tak bisa kosong, harus senantiasa penuh terisi.
Alhasil, setiap dapur di Kadipaten saat itu telah hidup sejak dini hari. Tak jarang sebelum shalat subuh pun para ibu telah menanak nasi. Kalau sarapan itu identik dengan makan seperlunya, anak-anak Kadipaten saat itu justru selalu berangkat sekolah dengan perut penuh. Makan besar, karena kami tak mengenal makan siang yang kini justru menjadi waktu makan utama. Di Kadipaten, bahkan mayoritas wilayah Jawa Barat saat itu, makan siang disebut “ngawadang” alias makan wadang. Apa itu “wadang”? Tak lain dari nasi sisa. Sisa pagi, karena tak ada acara khusus menanak nasi untuk makan siang!
Tapi tak semua keluarga makan nasi di pagi hari. Terutama kalangan orang berpunya. Golongan “menak”, kalau kata kami saat itu. Atau kalau pun kere, pasti karena sang ibu di rumah itu bangun kesiangan. Tak apa, jangan kalap. Ada banyak pedagang makanan pagi yang bisa didatangi, atau berkeliling menyambangi, yang bisa dibeli.
Bila masih tetap ingin makan nasi meski terlambat menanak, ada tukang nasi kuning yang menunya siap menggantikan. Nasi kuning—di Kadipaten disebut sangu koneng atau kejo koneng alias joneng—adalah nasi yang ditanak dengan bumbu kunir. Lauknya tak pernah berubah: suwiran telur dadar, potongan tempe yang digoreng dengan bumbu asam-manis (dikenal sebagai “kering tempe” di Jakarta), selundreng atau kelapa parut yang dibumbui dan digoreng tanpa minyak (digarang), plus sambal. Bisa sambal terasi, bisa sambal tomat. Bila uang di kantong masih banyak tersisa, Anda bisa menambahkan telur bulat disambalado, atau abon sapi sebagai tambahan lauk. Bila yang Anda pesan sekaligus telur balado dan abon sapi, maka dijamin pembeli lain segera memandang Anda sebagai menak yang “loba duit”.
Atau bisa juga mencari pedagang bubur. Di Kadipaten, hingga akhir 1980-an, jarang ditemui bubur dalam bentuk “bubur ayam” seperti saat ini. Kala itu, bubur beras itu selalu disajikan dengan lauk sayur Labu Siam berkuah kuning, atau Sayur Terong dengan kuah bersantan kental layaknya lodeh.
Bila si suami menganggap kesiangan sang istri itu sebagai kesempatan berganti menu, pilihan sarapan di Kadipaten masa itu pun banyak. Selalu ada tukang serabi di tiap kampung, yang tak henti mengusap mata karena asap kayu bakaran di bawah cetakan serabi. Biasanya, selalu bisa dipastikan, tukang serabi di kampung mana pun senantiasa dirubung-rubung pembeli. Serabinya dibuat dari tepung beras, bukan terigu. Sebagai topping—alah alah!—urang Kadipaten sangat kreatif. Dari mulai yang biasa, seperti potongan oncom, tempe, butiran ampas kecap yang menjadi salah satu produk khas Majalengka, irisan pisang, hingga yang tergolong extra-ordinary, baik tampilan maupun waktunya: ungeuh atau kepompong kupu-kupu kuning. Ungeuh yang lezat, baik dipepes maupun digoreng, hanya ada di bulan-bulan tertentu di hutan-hutan Kadipaten saat itu. Bentuk dan rasanya seperti larva lebah, atau mungkin ulat sagu, yang bergerak-gerak lucu bila terpegang.
Bila Anda tengah bosan dengan nasi, masih banyak jajanan lain untuk sarapan. Ada penganan asal ubi kayu alias singkong, mulai dari Comro (oncom di jero), Misro (“amis di jero” atau “yang manis di dalam”), hingga asmun atau geblog. Geblog Majalengka lain dari geblog yang dikenal di Bogor. Geblog Bogor, yang terbuat dari ketan berlumuran gula merah, di Majalengka disebut Jalabria. Asmun atau geblog di Majalengka dibuat dari singkong rebus yang ditumbuk halus (massed cassava), diberi bumbu-bumbu yang membuatnya gurih. Setelah diangkat, dipadatkan dan dipotong masing-masing menyerupai jajaran genjang, hasilnya disebut geblog mentah, karena geblog baru bisa dimakan setelah digoreng.
Bila lidah Anda tengah rindu makan pulut atawa ketan, banyak sarapan ala Kadipaten yang dibuat dari ketan. Asal bukan ketan bakar karena tak pernah ada tukang ketan bakar berjualan pagi-pagi. Cobalah ketan pulen, nasi ketan yang diberi parutan kelapa dengan garam, ditaburi sangrai kedelai. Atau yang agak khas Kadipaten, ketan gurih, yakni nasi ketan yang dipadatkan, dipotong memanjang—seperti asmun aka geblog—atau jajaran genjang. Dimakan dengan tepung kedelai sangrai yang telah dibumbui gula merah dan aneka rempah. Selain bikin kenyang, nasi ketan yang panas bisa mencegah Anda dari masuk angin.
Ada penganan lain yang selalu menyertai ketan gurih di bawaan pedagang ketan: Limpung. Ini adalah penganan dari tepung beras, dikukus daun pisang dalam bentuk yang sangat menyerupai otak-otak ikan. Bumbunya hanya santan kelapa dan garam, plus perasan daun pandan yang membuatnya tak hanya harum, tapi juga berwarna hijau. Pedagang akan membukai pepes-pepes itu sesuai jumlah yang diminta, atau jumlah per porsi. Sebenarnya bumbunya hanya parutan kelapa. Namun pada tahun 1980-an itu pun telah jamak bila pembeli Limpung juga boleh meminta bumbu ketan gurih untuk menikmati Limpungnya.
Ada hal yang selalu mengingatkan saya akan Limpung ini. Saya telah menjadi pecandu film Kung Fu sejak kelas 4 SD, karena ayah kebetulan bekerja sebagai penjaga pintu masu bioskop Serbaguna, salah satu dari tiga bioskop di kecamatan kami. Hampir setiap kali film Kung Fu diputar—dengan karcis kelas 1 Rp 200 dan kelas 2 Rp 150—bisa dipastikan saya hadir menonton. Bukan tanpa kemarahan ayah, sebenarnya. Saat itu dikenal seorang aktris Kung Fu cantik bernama Shang Kuan Lim Fung (atau Lim Feng). Saya yang gemar berkhayal, saat memimpikan, bila sempat jadi aktor Kung Fu Mandarin—seperti juga aktor Lo Lieh asal Medan, atau Chuang Chien Lie atau Billy Chong alias Willy Dozan -–saya akan memakai nama “Chang Kang Lim Fung”. Dalam basa Sunda, itu artinya bungkus Limpung.
***
Terlalu mewahkah impian untuk bisa menyambangi Hong Kong, Cina, bagi seorang anak Kadipaten masa itu? Tidak. Setidaknya karena sejak lama Kadipaten pun sejatinya telah dikenal dunia. Paling tidak, dikenal seorang pengelana dunia. Seorang pengelana asal Eropa, Portugis tepatnya. Tome Pires namanya.
Benar, kita tengah membicarakan Tome Pires yang sering ditulis buku-buku sejarah Indonesia. Konon, menurut sejarahwan H.J De Graaf, dalam “Tomé Pirés, “Suma Oriental” en het Tjidperk van Godsdienstovergang op Java”, yang dimuat dalam “Journal of The Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania”, yang terbit 1959, setelah sampai di Malaka pada 1512, Pirés berlabuh di Cherebon (sekarang Cirebon) pada Maret 1513.
Sebelumnya, ia mendarat di muara Ci Manuk, sebuah pelabuhan yang ramai milik Kerajaan Sunda. Pires menyebutnya sebagai “Chemano”. Pires bahkan tak hanya menulis tentang batas Kerajaan Sunda-Kerajaan Majapahit, yang tampaknya telah bergeser dari awalnya di Ci Pamali (Brebes-Cilacap) ke Ci Manuk itu. Ia juga menulis tentang watak para lelaki Sunda dan Jawa. “Sunda adalah tanah para ksatria. Pun bagi para pelaut. Pelaut-pelaut Sunda begitu pemberani dan selalu siap berperang. Keduanya lebih terkenal dibandingkan ksatria dan pelaut Jawa,”tulis Pires dalam magnum opusnya, Suma Oriental.
Menurutnya orang Sunda selalu bersaing dengan orang Jawa. Begitu pun orang Jawa selalu ingin bersaing dengan mereka. Dalam keseharian, orang Jawa dan Sunda tidak banyak berteman. Namun tidak pula bermusuhan, saling urus urusan masing-masing. Mereka berdagang satu sama lain. Tetapi jika bertemu di lautan sebagai bajak laut, pihak yang lebih siap akan lebih dulu menyerang. “Serangan akan selalu terjadi di Ci Manuk, tak peduli betapa pun erat hubungan atau pertemanan di antara mereka,”tulis Pires.
Pires menulis, di muara Ci Manuk itu berdiri sebuah kota yang cukup besar dan bagus. Bukan Cherebon, karena Pires membedakannya. Tampaknya ‘kota’ yang disebut Pires itu Karangsambung, nama Kadipaten di masa lalu. Nama Karangsambung sendiri sudah dikenal pada waktu Daendels membangun jalan raya pos mulai 5 Mei 1808. Besar kemungkinan, tiga abad sebelumnya pun namanya Karangsambung.
Maaf, lokasi Karangsambung masa itu bukanlah Desa Karangsambung, Kecamatan Kadipaten saat ini. Karangsambung tepat menaungi muara Ci Manuk, letaknya di Desa Babakan Anyar saat ini. Desa ini sampai pertengahan 1960-an masih bernama Babakan Sinom, terdiri dari tiga blok, yakni Babakan Sinom, Pasanggrahan dan Dayeuh Kolot. Setidaknya, itu yang berhasil ditelusuri Tim majalah TEMPO pada 2015 lalu. Di area inilah jalan raya pos terpotong Sungai Ci Manuk, juga Ci Lutung, yang menjadi anak sungainya. Konon, betapa majunya Babakan Sinom, ditunjukkan dengan cerita warga bahwa pada awal abad ke 19 itu, setelah pembuatan jalan raya pos, di Babakan Sinom berdiri kawasan Pecinan (Chinatown). Orang kaya Babakan Sinom pula, bernama Aw Sheng Ho, yang disebut-sebut membangun pasar, dan kemudian, pusat kota Kadipaten saat ini.
Bagi saya, karena urusan perut sejatinya adalah urusan budaya, bisa dibayangkan bahwa perut urang Babakan Sinom, atau sebelumnya, Karangsambung, pun tergolong peujit koreseun. Tak bisa kosong, dan saat matahari meletik, harus segera diisi.
Saya membayangkan Tome Pires yang datang ke Karangsambung pada 1513 itu suatu pagi dijamu warga untuk sarapan. Warga tahu, tak semua pendatang siap makan besar di pagi hari. Jadi yang dihidangkan mungkin saja “sekadar” Serabi, Asmun, Jalabria. Atau mungkin pula Comro dan Ketan Limpung. [darmawan sepriyossa]