Hubungan Pemimpin dan Rakyat yang Dipimpin
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/raja-baik.jpg)
Jika tampak gejala hukum dipermainkan, aparat penegak hukum mandul dan berpihak, bersabarlah. Karena janji Allah SWT lebih nyata daripada tindakan-tindakan tak bermoral para pemimpin yang mempermainkan rakyat, yang kelak akan dipertemukan dengan hari pembalasan bagi mereka (Q.s.az Zukhruf : 83).
Oleh : H. Usep Romli HM
Di tengah serangan dahsyat Corona, muncul berbagai masalah sampingan. Seperti hoax, ancaman itu ini kepada pemitnah presiden dll. Kemeninfo mencatat ada sekitar 2.550 hoax, Kapolri mengeluarkan maklumat untuk menindak pemitnah presiden dan pejabat yang menangani corona. Maklumat yang mendapat protes dari lembaga HAM, karena mengandung unsur pelanggaran HAM dan pembungkaman kebebasan berpendapat yang dijamin UUD.
Memang, hubungan antara rakyat yang dipimpin dengan pemimpin yang memimpin, sering konslet. Tidak selamanya harmonis. Bahkan sering muncul kecenderungan memprihatinkan. Antara rakyat dengan pemimpinnya, betolak-belakang alias “pakia-kia”. Keresahan, kekesalan, protes serta kritik dari rakyat kepada pemimpin, apakah semata-mata merupakan kesalahan pemimpin? Atau justru kejelekan pemimpin timbul akibat rakyat yang dipimpin sulit diurus?
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/usep-Romli-HM-2.jpg)
Dialog antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan seorang rakyatnya, di bawah ini, dapat dijadikan bahan renungan.
Seorang penduduk datang kepada Khalifah Ali. Mempertanyakan, mengapa pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, keadaan aman damai tenang sejahtera. Sedangkan pada zaman Ali, rusuh dan ribut terus di mana-mana. Jawab Sayyidina Ali : “Pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, rakyatnya semua seperti Ali. Sabar dan mengerti kondisi. Sedangkan pada zaman Khalifah Ali, rakyatnya semua seperti kamu. Mudah marah dan tak mau mengerti keadaan.”
Sejarah mencatat, setelah zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman, kekacauan di kalangan umat Islam memuncak. Muncul “firqah” (kelompok) politik, militer, dan keagamaan yang saling mengklaim kebenaran masing-masing. Mulai dari Syi’ah yang fanatik terhadap Ali, jama’ah yang dianggap pendukung Muawiyyah, dan Khawarij yang menolak keduanya.
Pertentangan itu menimbulkan “al fitnatul qubra” (fitnah besar) yang memecah-belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Akibatnya, rakyat tercerai-berai. Para pemimpin asyik sendiri. Hubungan rakyat dengan pemimpin, ibarat kucing dan anjing. Tak pernah henti bertengkar.
Akibat lainnya, yang lebih parah, tidak pernah muncul pemimpin yang benar-benar dicintai rakyat. Tak pernah ada pemimpin yang tegas terhadap segala penyimpangan hukum. Tak pernah ada pemimpin yang berani menindak dirinya sendiri, keluarganya, aparat-aparatnya, dan siapa saja yang melanggar aturan tanpa pandang bulu. Yaitu pemimpin yang disebut “Mujahid fi sabilillah”. Pejuang di jalan Allah karena keberaniannya menegakkan hukum. Tak pernah ada pemimpin macam begitu sekarang.
Yang lebih parah lagi, banyak muncul pemimpin yang egois. Mementingkan diri sendiri, menindas bawahan dan memeras rakyat dengan berbagai cara kamuflase. Seolah-olah melakukan pembangunan, padahal sesungguhnya perusakan. Sebab dana-dana pembangunan itu sebelumnya telah digerogoti terlebih dahulu. Rakyat hanya mendapat sepah-sepahnya saja. Berkomplot bersama konco-konconya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Membiarkan rakyat menderita berkepanjangan, dan merasa cukup memperhatikan rakyat dengan memberikan sumbangan-sumbangan insidental dan temprorer. Tapi tidak pernah sungguh-sungguh membentuk struktur kesejahteraan yang permanen sehingga rakyat bebas dari kemiskinan dan kebodohan, karena dana untuk itu sudah habis disikat bersama komplotannya . Inilah yang disebut pemimpin jahat dan merusak (syarrul ri’ail huthamah) sebagaimana dinyatakan Nabi Muhammad Saw.
Maka sudah saatnya para pemimpin segera kembali kepada kewajiban mereka sebagai pemimpin. Yaitu menegakkan hukum yang tegas, tepat dan tanpa pandang bulu. Sebab jika hukum diabaikan dan dipermainkan, akan semakin mempercepat datangnya kehancuran bangsa dan negara.
Nabi Muhammad SAW bersabada : “Innana ahlakallahul ladzina min qablikum, innahu idza saraqa fihimul syarifu taraquhu, wa idza saraqa fihimul dloifu aqamu alaihil haddu. Kehancuran umat sebelum kalian, karena jika orang-orang elit di antara mereka mencuri, tidak diapa-apakan. Tapi kalau orang kecil mencuri, hukum ditimpakan benar-benar.” (hadits sahih riwayat Imam Bukhari).
Juga tunaikan janji-janji yang pernah diucapkan selama kampanye. Jangan pura-pura lupa. Sabda Nabi Saw : “Ayyuma walin bataghatsan li ra’iyyatihi haramallahu alaihil jannata. Setiap pemimpin ingkar janji, membohongi rakyat, tak akan diizinkan oleh Allah SWT untuk memasuki surga.” (hadits Ibnu Majah).
Kemudian, rakyat juga harus memahami posisi sebagai yang dipimpin. Percayalah kepada hukum dan aturan yang berlaku bagi semua. Termasuk bagi pemimpin. Jika pemimpin bersalah, percayalah hukum yang akan bertindak. Kekerasan dan anarkisme dalam menghujat pemimpin, justru akan mengundang masalah baru daripada menyelesaikan masalah yang sudah ada.
Jika tampak gejala hukum dipermainkan, aparat penegak hukum mandul dan berpihak, bersabarlah. Karena janji Allah SWT lebih nyata daripada tindakan-tindakan tak bermoral para pemimpin yang mempermainkan rakyat, yang kelak akan dipertemukan dengan hari pembalasan bagi mereka (Q.s.az Zukhruf : 83). [ ]