Jokowi dan Para Jenderalnya [1]: Tentang Isu PKI
Untuk menghadapi massa 212, Jokowi mendelegasikan tugas ini kepada mantan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Wiranto sebagai Menko Polhukkam menggantikan Luhut Pandjaitan sejak Juli 2016, untuk menyusun Perppu Ormas tahun 2017 dengan wewenang pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa melalui pengadilan.
Oleh : Hanief Adrian*
JERNIH– Dari berbagai berita politik pada bulan Juli ini, ada satu isu yang nampaknya luput dari perhatian publik karena isu pencapresan tentunya lebih menarik untuk dibahas. Isu tersebut adalah siapa panglima TNI pengganti Laksamana Yudo Margono.
Yudo Margono akan memasuki usia pensiun pada November tahun ini. Merujuk pada konvensi baru bahwa pergantian Panglima TNI harus bergilir dari tiga angkatan, kecil kemungkinan bahwa panglima TNI selanjutnya adalah KSAD Jenderal Dudung Abdurachman yang juga lahir pada bulan dan tahun yang sama dengan Yudo. Dengan kata lain, Laksamana Yudo dan Jenderal Dudung akan sama-sama pensiun pada November tahun ini.
Maka pergantian panglima TNI akan menjadi isu politik yang panas karena bersamaan dengan dimulainya rangkaian Pemilu 2024 pada bulan September besok. Pergantian panglima TNI tentu terkait dengan siapa perwira tinggi yang dipercaya Presiden untuk mengendalikan aparat militer dalam situasi keamanan nasional bertensi tinggi seperti Pemilu.
Hubungan Jokowi dengan institusi militer secara kasat mata memang mengalami pasang surut. Pada masa awal kekuasaannya, Jokowi berupaya menjalankan salah satu janji politiknya yaitu rekonsiliasi dengan anak-anak kader dan anggota biasa Partai Komunis Indonesia (PKI). Anak-anak PKI merasa menjadi korban dari pembantaian orang-orang komunis setelah gagalnya Gerakan 30 September, dan kebanyakan dari mereka merasa PKI tidak terlibat dalam usaha kup internal Angkatan Darat yang gagal itu.
Padahal dalam pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) yang diselenggarakan pemerintah, memang terbukti bahwa Ketua CC PKI, DN Aidit dan anggota Politbironya memberikan dukungan penuh kepada para perwira TNI pelaku G-30-S untuk menindak para jenderal yang dicap kontrarevolusi.
Pengamat politik militer Salim Said (2015) mengatakan G-30-S bertujuan membersihkan TNI khususnya Angkatan Darat dari para jenderal yang tidak loyal dengan Bung Karno dan revolusi Indonesia, namun tidak bermaksud membunuh para jenderal tersebut. Bung Karno mengetahui rencana pembersihan tersebut, bahkan Mayjen Soeharto yang dituduh beberapa intelektual terlibat G-30-S juga mengetahui gerakan tersebut. Namun yang mereka ketahui adalah gerakan ini bertujuan mengganti pemimpin Angkatan Darat, bukan membunuh.
Namun tentu saja sejarah sudah berbicara dan para jenderal tersebut dibunuh para pelaku G-30-S. PKI, baik para elit maupun kader dan anggota biasa kemudian diburu rakyat untuk dibunuh, sebuah tindakan yang dilegitimasi dengan dalih ‘membunuh atau dibunuh’ dengan memori kuat tentang Peristiwa Madiun 1948 di mana banyak ulama, pamong praja, tentara dan polisi yang menjadi korban pembantaian PKI.
Pembunuhan tersebut sangat masif dan berskala pembantaian bahkan mendekati genosida. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Mayjen Soemarno menyatakan korban pembantaian pasca kegagalan G-30-S tersebut mencapai 500 ribu jiwa. Belum lagi 12.000 tahanan politik eks-PKI di Pulau Buru dan Plantungan yang tidak pernah diadili, dan jutaan eks-anggota onderbouw PKI (Lekra, BTI, SOBSI) kehilangan hak sebagai warga negara untuk seperti pemilu dan mendaftar sebagai pegawai negeri sipil dan ABRI.
Saat Jokowi berkuasa pada 2014, salah satu program Nawacita adalah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965-1966 atau kejadian pembantaian orang-orang Komunis oleh kekuatan anti Komunis. Uniknya, Jokowi memberi peranan penting kepada Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yaitu Letjen (Purn.) Agus Widjojo dan Menko Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal (Hor.) Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjalankan agenda rekonsiliasi tersebut.
Agus Widjojo sendiri adalah anak sulung Mayjen (Anm.) Soetojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi korban G-30-S. Sementara Luhut adalah mitra bisnis Jokowi sejak 1998 dan hingga hari ini dapat dikatakan sebagai tangan kanan Jokowi untuk segala hal yang berhubungan dengan pemerintahannya. Yang menarik, Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu secara terang-terangan menolak agenda rekonsiliasi dengan anak-anak PKI. Putra almarhum Mayjen Ryacudu yang dikenal Soekarnois dan juga dekat dengan Megawati ini bahkan menyusun kebijakan Buku Putih Pertahanan 2015 yang secara tegas menetapkan Komunisme sebagai ancaman keamanan negara.
Agenda rekonsiliasi itu akhirnya tetap berjalan dengan diselenggarakannya Simposium Nasional 1965 pada April 2016 oleh para anak-anak PKI dan dihadiri Gubernur Lemhannas, Agus Widjojo dan juga Menko Luhut Pandjaitan. Acara tersebut tentu saja memicu konflik besar, karena terjadi insiden Agus Widjojo diteriaki ‘Jenderal PKI’ oleh salah satu hadirin dari Front Pembela Islam (FPI) yang menolak rekonsiliasi. FPI sendiri adalah salah pelopor isu kebangkitan PKI dan menyelenggarakan acara nonton bareng film ‘Pengkhianatan G-30-S/PKI’ pada malam 30 September 2015.
Eskalasi isu kebangkitan PKI meningkat tatkala Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo secara resmi memerintahkan setiap komando teritorial menyelenggarakan nobar film PKI tersebut pada 30 September 2017. Jenderal Gatot saat itu sedang naik daun karena dianggap berhasil menurunkan tensi konflik yang mungkin terjadi dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dengan massa aksi 212. Maka acara nobar film PKI tersebut tentu saja meningkatkan popularitas Jenderal Gatot dan ia digadang-gadang oleh beberapa elit politik menjadi kompetitor Jokowi dalam Pemilu 2019.
Jokowi bertindak halus, ia memberhentikan Panglima TNI lebih cepat pada bulan Desember 2017 dengan alasan Gatot Nurmantyo memasuki usia pensiun pada Maret 2018. KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto, mantan Komandan Lanud Adisoemarmo di Surakarta dan Sekretaris Militer Presiden Jokowi diangkat menjadi Panglima TNI kedua dari Angkatan Udara setelah Marsekal Djoko Suyanto pada masa Pemerintahan SBY.
Dengan diangkatnya perwira tinggi yang dekat dengan Jokowi menjadi panglima TNI serta kembalinya Prabowo sebagai Capres pada Pemilu 2019, popularitas Gatot Nurmantyo meredup dan isu kebangkitan PKI pun menguap. Pemilu 2019 tidak lebih dari perseteruan ulangan Pemilu 2014 antara pendukung Jokowi melawan pendukung Prabowo.
Selain manuver dari Panglima TNI, Jokowi dalam periode pertama kekuasaannya tentu saja berhadap-hadapan dengan massa Islam 212, demikian sebutan populer pada massa Aksi Bela Islam dalam kasus penistaan agama oleh Ahok. Untuk menghadapi massa 212, Jokowi mendelegasikan tugas ini kepada mantan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Wiranto sebagai Menko Polhukkam menggantikan Luhut Pandjaitan sejak Juli 2016, untuk menyusun Perppu Ormas tahun 2017 dengan wewenang Pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa melalui pengadilan.
Perppu Ormas ini dijadikan alat oleh rezim Jokowi melalui Menko Polhukkam Wiranto untuk membekukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan dalih radikalisme dan anti-Pancasila tanpa melalui mekanisme pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam UU Ormas tahun 2013. Pembekuan HTI berjalan sangat lancar tanpa halangan berarti. Suatu hal ironis mengingat Wiranto pernah menjadi narasumber diskusi HTI. Yang jelas, insiden aksi teror penusukan Wiranto di Pandeglang menjadi bukti betapa sosok mantan Menko Polkam pertama era Presiden Abdurrahman Wahid itu menjadi musuh politik mereka yang menolak pembekuan HTI. [bersambung]
*Pengamat Politik IndeSo (Independent Society), mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI
**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis, tak selalu sejalan dengan kebijakan redaksi.