Mereka semua sesungguhnya sudah dianggap mati dalam tugas. Dianggap sudah tenggelam bersama kapal kebanggaan Indonesia. Namun seperti mayat hidup, akhirnya tampil di pelabuhan. Tabah sampai akhir.
Oleh : Selamat Ginting*
JERNIH– Jika sedang menyelam, suhu di ruang motor kapal selam mencapai 47 derajat Celcius. Panas sekali. Kelembabannya juga tinggi sekali. Walau pun prajurit pilihan, tetap saja ada yang menderita sakit di dalam kapal selam. Merasakan keluhan pada ginjalnya.
“Entahlah, mungkin karena kurang minum akibat keringat yang mengucur deras di dalam kapal. Kebanyakan mengalami gejala sakit asma jika pulang dari berlayar. Itulah keluhan prajurit Hiu Kencana (kapal selam),” kata Mayor Laut (Pelaut) AT Widnyo Prayitno pada awal 1962.
Ia menceritakan kisah anak buahnya saat di Vladivostok, Uni Soviet kepada pimpinan TNI AL. Tentu saja usai pendidikan selama satu tahun, 1961-1962. Langsung tanpa istirahat menuju Irian Barat untuk berperang melawan armada tempur Belanda.
RI Nanggala dan RI Cakra adalah kapal selam pertama milik Indonesia. Memang buatan Uni Soviet dan dirancang untuk operasi di daerah dingin. Untuk medan di Eropa dan Amerika. Bukan untuk medan seperti daerah tropis di Indonesia. Begitu spesifik dan special orang yang bisa mengawaki kapal selam. Bahkan tidak ada gantinya. Tidak ada istilah sakit, yang ada gugur.
Indonesia beruntung punya perwira-perwira jempolan, jebolan sekolah kapal selam didikan Uni Soviet. Sebuah pendidikan rahasia. Keluarga pun tidak tahu kalau suami atau ayah dari anak-anaknya sedang mengikuti pendidikan rahasia selama satu tahun di Negeri Tirai Besi.
Beberapa lulusan pertama pendidikan sekolah kapal selam (1958-1959), seperti Laksamana Madya TNI (Purn) T Asikin Natanegara, lulusan Institut Angkatan Laut Belanda atau Koninklijke Instituut der Marine, den Helder (KIM), tahun 1951. Laksamana Madya TNI (Purn) LM Abdul Kadir, lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), kini Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1954. Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo, lulusan IAL 1956.
Juga Laksamana Pertama TNI (Purn) RP Poernomo, pejuang kemerdekaan tahun 1945. Ada pula nama Mayor Laut (Pelaut) Assyr Muchtar (IAL 1955) dan Kapten Laut (Pelaut) Julius Tiranda (IAL 1957). Mereka semua perwira-perwira hebat.
RP Poernomo yang meciptakan motto untuk kapal selam: “Tabah Sampai Akhir”. Kalimat itu belakangan sering muncul saat pemberitaan tenggelamnya KRI Nanggala 402 (Empat Nol Dua).
Dalam buku “50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana 1959-2009” (terbitan tahun 2009), Poernomo berbagi cerita tentang sifat yang harus tertanam dalam jiwa kru kapal selam.
“Berani saja tidak cukup. Ulet saja pun tidak cukup. Sabar juga belum cukup. Tekun dan tenang pun tidak cukup untuk melaksanakan tugas ini. Tetapi diperlukan semua sifat tersebut. Ternyata, kata yang di dalamnya tersimpul sifat-sifat itu adalah kata: tabah.”
Orang tabah, kata Poernomo, tidak akan takut, karena ia pasti berani. Orang yang tabah tidak akan menyerah, karena ia ulet. Orang yang tabah tidak akan terburu-buru, karenanya ia sabar. Orang yang tabah, tidak akan hilang akal, karena ia tenang. Orang yang tabah, tidak akan mundur, karena ia teguh.
Dengan satu kata, sifat khusus yang diminta untuk tugas-tugas di kapal selam adalah sifat ketabahan. Untuk melaksanakan tugas saja diperlukan ketabahan. Untuk mencapai cita-cita diperlukan ketabahan. Tetapi juga tidak cukup apabila hanya tabah pada permulaan saja. Atau hanya supaya terlihat tabah. Juga tidak cukup hanya tabah sampai pertengahan saja. Termasuk tabah sejenak sebelum tugas selesai. Atau tujuan hampir-hampir tercapai.
“Karena itulah kita harus tabah sampai akhir. Inilah motto yang kita pilih: tabah sampai akhir. Apabila sifat-sifat yang tersimpan di dalam motto ini dapat kita tanamkan kepada jiwa kita masing-masing, maka jiwa dan mental kita siap menghadapi tugas apa saja yang akan dipercayakan atasan kepada kita,” ungkap Poernomo.
Ia tercatat dalam sejarah TNI Angkatan Laut, termasuk komandan satuan kapal selam yang paling banyak mengikuti operasi. Sebut saja seperti sebagai komandan kapal selam dalam sejumlah operasi. Sebagai komandan satuan kapal selam RI Cakra dalam operasi tahun 1959-1963, baik Operasi Nanggala 1960, Operasi Waspada 1960, Operasi Lumba-lumba 1961, Operasi Karel Doorman 1962, Operasi Jayawijaya I (Trikora) 1962, Operasi Cakra II.
Sebagai komandan kesatuan kapal selam (KKS) 15 Komartu I 1962, Operasi Alugoro 1962, Operasi Jayawijaya II 1963, Operasi Bull Dog (Dwikora) 1963, Operasi Elang Laut (Dwikora) 1963, Operasi Urat Nadi AT-42 (Dwikora) 1963, Operasi War Patrol (Dwikora) 1963-1964, Operasi Kencana (Dwikora) Komando Armada Siaga.
Dan seterusnya. Seperti tiada henti. Ia sudah menyatu dengan kehidupan kapal selam selama berpuluh-puluh tahun. Termasuk lolos dari tembakan pesawat tempur Belanda.
Mereka semua sesungguhnya sudah dianggap mati dalam tugas. Dianggap sudah tenggelam bersama kapal kebanggaan Indonesia. Namun seperti mayat hidup, akhirnya tampil di pelabuhan. Tabah sampai akhir.
Begitu juga yang dirasakan Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo. Saksi hidup yang mengisahkan cerita sejarah kapal selam dengan segala dinamika yang membuat haru biru. Dalam usia 90 tahun ia mampu memaparkan kisah heroik saat membawa kapal selam dari Polandia menuju Indonesia.
Termasuk kisah kapal selam Nanggala pertama yang dipimpin oleh Asikin Natanegara dan Handogo di luar dugaan, mampu lolos dari serangan bertubu-tubi bom Belanda di Irian Barat (1962-1963). Membawa pasukan-pasukan pemukul dari KKO/Marinir, RPKAD/Kopassus, dan Caduad/Kostrad untuk bertempur di hutan melawan tentara Belanda.
Saat operasi merebut Irian Barat, Indonesia memiliki 12 unit kapal selam dari kelas Whiskey buatan Uni Soviet. Beroperasi mulai 1959-1963. Kapal selam adalah unit khusus yang memiliki sekurangnya tiga jenis, yakni: Sub sub Killer (SSK) kapal selam konvensional bertenaga disel elektrik, Sub sub Nuclear (SSN) kapal selam bertenaha nuklir, dan Sub sub Balistic Nucl (SSBN) kapal selam nuklir bermisil balistik.
Sejak 2017, TNI memiliki lima kapal selam, yakni: KRI Nagapasa 403, KRI Ardadedali 404, KRI Alugoro 405. Ketiganya merupakan kelas Nagapasa (improved Chang Bogo Class). Selain itu KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402 yang dinyatakan tenggelam di Laut Bali dan 53 awaknya gugur sebagai kusuma bangsa.
Prosedur jika terjadi keadaan genting, seperti kapal akan tenggelam, maka untuk penyelamatan dilakukan sesuai urutan. Mendahulukan dari mulai pangkat paling rendah dan usia paling muda. Komandan kapal adalah orang terakhir yang harus keluar dari kapal selam.
Kapal selam yang tenggelam diberi istilah On Eternal Patrol atau dalam patroli abadi, ketika kapal selam tak kembali lagi. Sebuah patroli dimulai ketika kapal selam meninggalkan pelabuhan, dan berakhir saat kapal berhasil kembali. Namun, saat kapal selam tenggelam, dan tidak berhasil pulang. Patroli itu abadi.
Itulah istilah Angkatan Laut untuk menghormati kapal selam beserta awaknya yang hilang atau tenggelam dalam tugas. Hormat untukmu, pahlawan penjaga kedaulatan laut. Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta telah memberikan tempat terbaik untuk 52 personel militer dan satu ASN TNI AL
Terima kasih kepada Kolonel Laut (KH) Heri Sutrisno dari Dinas Sejarah TNI AL yang bersedia memasok informasi bagi saya untuk menuliskan kisah tentang kapal selam kebanggaan Indonesia. [ ] *Wartawan senior, kini bekerja di Republika