Menyoal “Rampog Kawasen” dalam Uga Karuhun Sunda
Seolah-olah antara “rampog kawasen” dengan gonjang-ganjing alam lingkungan, tak terpisahkan satu sama lain. Ibarat gula dengan manisnya.
Oleh : Usep Romli HM
“Rampog Kawasen” sebuah istilah terkenal dalam bahasa Sunda, yang dikategorkan sebagai “uga”. Kata atau kalimat yang mengandung ramalan masa depan. “Rampog Kawasen” dapat diartikan rampok berkuasa. Berkuasa karena memiliki kekuasaan, baik administratif, maupun politik. Dapat juga diartikan, orang-orang berkuasa yang berubah peran dan kelakuan, menjadi rampok, begal, pencuri, perampas, koruptor, dan sejenisnya.
Padahal seharusnya, mereka mengayomi rakyat. Membawa rakyat ke arah kesejahteraan, kedamaian, dan keamanan. Menjadikan rakyat hidup di lingkungan yang “tiis ceuli herang mata”. Tenang, bebas ketakutan. Karena kekuasaan mereka berasal dari rakyat. Dipilih oleh rakyat. Dan dihidupi oleh tetesan keringat rakyat, berupa aneka maacam pajak yang dibayarkan kepada negara, untuk menggaji mereka.
Tapi kemudian, mereka berbalik arah. Secara diam-diam atau terang-terangan menganiaya rakyat. Baik langsung,melalui tindakan-tindakan yang menyusahkan rakyat, seperti harga kebutuhan pokok sehari-hari terus melambung, barang-barang langka, uang sulit dicari, pekerjaan tak ada, dan sebagainya. Maupun tidak langsung melalui perilaku yang bertolakbelakang dengan kondisi rakyat sehari-hari hidup mewah berlimpah, mendapat berbagai jenis tunjangan. Bahkan mendapat dana khusus untuk berkunjung ke luar negeri.
Termasuk yang tidak menggunakan kekuasaan dan kewenangan untuk mencegah kerusakan alam. Pembabatan hutan, penggalian liar, dsb., yang berakibat banjir dan longsor pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau. Juga membiarkan sampah dan limbah mengotori sungai, situ, telaga serta sumber-sumber air tanah lainnya. Mereka seolah tak peduli menyaksikan gunung-gunung gundul, bukit-bukit terbongkar-bangkir. Pemasukan restribusi dari segala kerusakan itu, dianggap lebih menguntungkan, daripada merugikan khalayak.
Semula, mereka semula berwajah ramah, bersuara lembut, dan menebar program-program penuh harapan. Setelah berhasil mendulang suara rakyat, dan duduk di kursi kekuasaan, tiba-tiba berubah menjadi “rampog kawasen”. Menggunakan kekuasaan untuk merampok harta benda negara yang berasal dari jerih-payah rakyat. Tentu saja, rakyat menjadi korban utama dan pertama.
Dalam kasus korupsi KTP Elektronik, misalnya. Para koruptornya terdiri dari orang-orang berkuasa. Dari kalangan penguasa, pengusaha dan wakil rakyat. Akibatnya, jutaan orang belum memiliki KTP Elektronik. Atau dari proyek-proyek lain yang berhasil diOTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua berkenaan dengan tindakan perampokan. Bukan di jalanan seperti begal Tapi di kantoran berpredikat terhormat. Ya, sosok “rampog kawasen” itulah.Termasuk kasus Jiwasraya, Asabri, BLBI dan lain-lain yang masih remang-remang.
Watak “rampog kawasen” memang menularkan virus kejahatan ke mana-mana. Kepada dirinya sendiri, keluarga, kawan-kawan seperkongkolan, dan tentu saja korban sasaran – yaitu rakyat — yang harus menanggung derita berkepanjangan.
Kehadiran “rampog kawasen”, selalu identik dengan kondisi dan situasi lingkungan alam yang tidak menentu. Cuaca ekstrem, kemarau panjang, curah hujan berlebihan, gunung meletus, gempa terus-menerus, angin topan mengamuk, kebakaran merebak, kekejaman manusia atas manusia lain, wabah penyakit dan sejenisnya. Seolah-olah antara “rampog kawasen” dengan gonjang-ganjing alam lingkungan, tak terpisahkan satu sama lain. Ibarat gula dengan manisnya.
Para orang tua bijak, menyatakan, orang yang menjelma menjadi “rampog kawasen”, merupakan manusia-manusia malang teramat malang di muka bumi. Mereka telah kehilangan mutiara kemanusiaannya, berupa akal, keimanan, amal saleh dan rasa malu. Padahal sejak masih janin dalam kandungan ibunya, Allah SWT telah memasangkan keempat mutiara tersebut untuk digunakan menempuh hidup dan kehidupan yang lurus, jujur, bajik dan bijak.
Hanya karena nafsu kekuasaan, mereka lupa pada akal sehat. Sehingga begitu mudah tersesat dan tergelincir, lupa terhadap agama yang mengajarkan halal-haram, dan ganjaran serta hukuman di akhirat kelak. Tak peduli lagi amal saleh, karena yang diperbuat melulu amal salah. Tak lagi punya rasa malu, karena menurut anggapannya semua bisa dibeli dengan harta dan kuasa.
Karena mereka juga manusia, walaupun berstatus “rampog kawasen”, tetap saja kena sakit. Kadar gula darah melonjak, jantung terganggu, tensi meninggi, dan lain sebagainya, akibat asupan makanan-minuman yang jelas tidak halal karena berasal dari hasil “merampok”. Namun bagi para “rampog kawasen”, keadaan sakit ini dapat dimanfaatkan untuk menghindar dari pemeriksaan, kabur dari tuntutan hukum, dan sebagainya. Yang penting, terbebas dari beban tanggungjawab di depan pengadilan. Minimal di dunia dulu. Tanggungjawab di akhirat bagaimana nanti, toh rasa dan nilai keimanan terhadap ajaran agama sudah amat minim. Tak mustahil nol besar.
Fenomena “rampog kawasen” yang sudah merajalela di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan cara, dikaitkan dengan pertanda akhir zaman. Mendekati kehancuran besar alias “kiamat kubra”, seiring dengan kerusakan alam yang semakin parah dan kerusakan ahlak yang semakin hebat. Apalagi yang dinanti dari kerusakan makrokosmos (alam semesta) dan kerusakan manusia (mikroskosmos), selain tiba pada titik finish yang sudah ditentukan Maha Penguasa Alam, Allah SWT ?
Maka, pemberantasan “rampog kawasen” oleh sesama manusia, yang masih waras, punya akal sehat, punya iman dan rasa malu, akan sia-sia belaka. Apalagi jika para “rampog kawasen” seia-sekata melakukan perlawanan, dengan menggunakan kekuasaannya yang tersisa. Hanya “ketuk palu” Hakim Maha Hakim (Ahkamul Hakimin) di Mahkamah Yaumul Akhir, yamg mampu memutus semua dan segalanya, tanpa pilih bulu. [ ]