SpiritusVeritas

Catatan Menjelang Buka (8): Buka dan Doa

Berbuka puasa, ketahuilah, bukan hanya perkara memasukkan makanan ke dalam perut dan setelah itu kita memiliki kembali tenaga (fisik). Melampaui hal itu, merujuk kepada semiotika Peirce, berbuka puasa adalah legisign (tanda yang definitif) dari telah dilaksanakannya shaum seharian penuh. Berbuka puasa adalah artikulasi dari kejujuran dan keteguhan iman. Bahwa dengan berbuka sesungguhnya aku telah berpuasa. Dengan perkataan lain, berbuka adalah tindakan melaporkan atau mempersembahkan ibadah.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH–Hari ke-8, waktu seperti pencuri yang dikejar polisi. Merujuk kepada semiotika Hjemslev, putaran jarum jam adalah ekspresi yang merefer kepada kecepatan rotasi bumi.

Semakin cepat jarum jam berputar, tentu ia merupakan penanda dari semakin cepatnya bumi berotasi. Dan semakin cepat putaran itu, kita semakin tidak merasakan apa-apa. Tiba-tiba sudah magrib lagi, bukan. Tiba-tiba sudah habis sepekan jatah shaum kita.

Acep Iwan Saidi

Oleh sebab itu, supaya yang sepekan pertama tidak hilang begitu saja, diseret waktu dari ingatan, coba kita buat refleksi sedikit tentangnya. Terkait hal ini, menu dan cara berbuka adalah satu aspek penting yang harus dipahami lebih jauh. Agar “pesta bahagia dalam berbuka” tidak justeru membuat kita lupa kepada ibadah shaumnya itu sendiri.

Berbuka puasa, ketahuilah, bukan hanya perkara memasukkan makanan ke dalam perut dan setelah itu kita memiliki kembali tenaga (fisik). Melampaui hal itu, merujuk kepada semiotika Peirce, berbuka puasa adalah legisign (tanda yang definitif) dari telah dilaksanakannya shaum seharian penuh. Berbuka puasa adalah artikulasi dari kejujuran dan keteguhan iman. Bahwa dengan berbuka sesungguhnya aku telah berpuasa. Dengan perkataan lain, berbuka adalah tindakan melaporkan atau mempersembahkan ibadah.

Di situlah kemudian kita menemukan titik kepuasan dan kebahagiaannya. Dan berdasarkan hal ini makanan yang tersaji di meja makan dapat ditafsir sebagai balasan konkret yang disegerakan Tuhan. Dengan kata lain, jika shaum itu untuk Tuhan, makanan di atas meja itu untuk kita. Hal ini eksplisit kita sampaikan pada bagian akhir doa berbuka: “…dengan rezeki (dari)-Mu aku berbuka”.

Waktu magrib (saat berbuka) itu sendiri adalah janji Tuhan: bahwa setiap hari kita akan sampai pada momen tertentu untuk merasakan bahagia, yakni berbuka dan sekaligus bertemu Tuhan—ingat hadits yang menjelaskan dua kebahagiaan orang berpuasa.

Sebagai makanan persembahan yang disegerakan Tuhan—kita mengimani bahwa sesungguhnya segala apapun dari Tuhan belaka—tentu apa yang tersaji di meja makan bukan makanan sembarangan. Terkait hal ini, Baginda tercinta, Muhammad saw menyebut tiga jenis makanan yang tidak akan dihisab, yakni makanan yang dimakan pada waktu sahur, pada waktu berbuka, dan makanan yang dimakan bersama atau sahabat (lihat bahasan lengkap soal ini oleh  Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumiddin”, khususnya buku ketiga).

Jelas di situ bahwa prosesi berbuka bukanlah peristiwa biasa, melainkan titik puncak dari ibadah shaum. Ia sangat menentukan. Dengan demikian, waktu menjelang berbuka adalah momen krusial. Dalam sepak bola, ini adalah fase injury time, waktu yang menegangkan, waktu yang menentukan untuk kalah atau menang. Maka cemaslah, siapa tahu kita tidak sampai pada puasa esok hari—jangan cuma khawatir tidak bisa ketemu lagi Ramadhan tahun depan.

Karena itu, menjelang berbuka sebaiknya kita melakukan, paling tidak, dua hal. Pertama, memusatkan konsentrasi pada Tuhan melalui dzikir dan doa. Kedua, melakukan evaluasi dan refleksi tentang ibadah shaum yang telah dilalui seharian. Dengannya diharapkan puasa hari ini berhasil gemilang dan puasa besok akan lebih baik dari hari ini. Selamat berbuka, semoga berbahagia! [  ]

*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB

Back to top button