Dokter Sunardi; yang mengantar jenazahnya sampai 3 km, mungkin lebih. Perjalanan makamnya cukup jauh, kurang lebih 15 km. Mereka datang spontanitas, tidak saling kenal dari berbagai penjuru, hanya ikut berduka cita, didorong rasa simpati.
JERNIH—Polisi yang menyatakan dirinya sebagai teroris menembaknya, mengantarkannya ke kematian. Pada saat dimakamkan, jenazah dr Sunardi diantar ribuan warga ke tempatnya dimakamkan. Seorang pelayat menyebutkan, pengantar datang berbondong, menyemut, membentuk rantai manusia kurang lebih tiga kilometer panjangnya, menempuh jarak sekitar 15 kilometer ke lubang lahat yang semua manusia akan mengalaminya, tak kecuali para penembaknya.
Jernih tak datang langsung ke pemakaman, yang mungkin terbesar di Solo—atau Indonesia?—dalam lima tahun terakhir ini. Namun di media social, satu pesan dari netizen bergulung viral.
“Di bawah guyuran, hujan seakan ikut menangisi kepergian dokter pejuang kemanusiaan (itu). Bukan dokter praktik biasa, yang hanya cari duit untuk hidup anak-anak istrinya. Bahkan praktiknya pun gratis kepada masyarakat. Dokter ini luar biasa, walaupun tidak kenal namun namanya terkenal sekali di (kalangan) aktivis kemanusiaan.
Dokter Sunardi; yang mengantar jenazahnya sampai 3 km, mungkin lebih. Perjalanan makamnya cukup jauh, kurang lebih 15 km. Mereka datang spontanitas, tidak saling kenal dari berbagai penjuru, hanya ikut berduka cita, didorong rasa simpati.
Dalam diam kami berkerumun di malam yang dingin, di pekatnya malam pinggiran hutan Polokarto. Namun hati berkecamuk, ada apa lagi ini? Mengusik hati kami untuk bertanya keadilan di negeri ini.
Dalam ajaran agama kami diajarkan, barang siapa membunuh satu jiwa maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya. Apalagi dia seorang Muslim, haram hukumnya seorang Muslim ditumpahkan darahnya karena dia sudah berikrar untuk menyembah Allah ta’ala. Itulah salah satu maqashidusy syariah Islam…”
***
Seorang netizen lain memperhatikan hal lain dari almarhum. Ia menulis:
“Meja kerja dr. Soenardi rahimahulloh ini membuat saya termenung. Meja kerjanya sangat sederhana. Padahal umumnya meja kerja seorang dokter itu bagus dan mewah. Minimal lebar. Dan biasanya, di belakangnya ada lemari dengan aneka buku tebal dan foto keluarga.
Meja kerja ini bisa menggambarkan bahwa beliau adalah sosok yang sederhana. Tidak ambil pusing dengan kelaziman seorang dokter di Pulau Jawa. Jika beliau bertugas di pulau terpencil luar Jawa, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi beliau tinggal di Solo.
Dokter baik hati yang juga relawan kemanusiaan ini menggratiskan pasien yang datang berobat. Beliau juga sering mengadakan bakti sosial pengobatan gratis. Sungguh mulia jiwanya. Selalu berusaha meringankan beban penderitaan sesama dengan ilmu yang dimilikinya.
Meskipun beliau stroke dan berjalan tertatih menggunakan tongkat, tapi tak menghalangi jiwa sosialnya. Berusaha mengumpulkan pahala sebanyaknya untuk bekal di negeri kebadian.
Sugeng tindak, Pak Dokter. Kami yakin saat ini engkau sedang menuai imbalan atas semua kebaikan yang pernah panjenengan tanam. Kami yakin engkau sedang beristirahat dengan tenang di alam barzah.
Kami yakin segala urusan panjenengan di akhirat diberikan kemudahan karena selalu mempermudah urusan orang lain. Panjenengan meninggal dalam kondisi terfitnah dan terzhalimi di alam dunia. Tapi segala urusan dunia Panjenengan sudah berakhir.
Biarlah kelak pengadilan Allah yang memutuskan dengan sebaiknya. Panjenengan tak akan merugi sama sekali di hadapanNya. Justru para durjana itu yang menyesal berkepanjangan.”
***
Apa yang dilaporkan kedua netizen itu mengingatkan saya pada petikan sajak almarhum Kyai Endang Saefuddin Anshari. Beliau adalah ulama, cendikiawan, serta aktivis—sahabat dan mitra debat paling panas alm Nurcholis Majid—putra ulama dan pejuang kemerdekaan legendaris., KH Isa Anshari.
“Ada yang jatuh tersungkur
Sebagai syahid.
Ruhnya yang harum dijemput makalal maut
Lantas disambut para malaikat lainnya.
Mengarak
Mengarah Allah.
Sementara jasadnya yang wangi
Dipeluk mesra bumi ini
Langit berlinang
Menunduk muka
Butir-butir air matanya
Menyirami pusara…” [ dsy ]