Veritas

Lain dan Nyeleneh Sendiri, Hasil Survei LSI Dipertanyakan

  • Perbedaan elektabilitas sebesar lebih dari 10 persen dalam survei LSI Denny JA dibandingkan dengan survei-survei lain dianggap sangat janggal.
  • Nur Alam; “Tidak pernah ada elektabilitas yang bisa berubah 5-10 persen dalam hitungan 1-2 minggu saja. Ini sebuah kejanggalan besar.

KENDARI — Survei terbaru yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengenai elektabilitas calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) memicu kontroversi dan keraguan. Hasil survei yang menunjukkan perbedaan mencolok dengan survei-survei lain yang dirilis sebelumnya, menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan dan netralitas survei tersebut.

Hasil survei LSI Denny JA yang beredar pada awal Agustus menempatkan pasangan Andi Sumangerukka (ASR) dan Hugua di puncak dengan elektabilitas 36,3 persen. Sementara itu, pasangan Tina Nur Alam dan LM Ihsan Ridwan hanya memperoleh 26 persen, sebuah hasil yang sangat berbeda dari survei-survei lain yang lebih mengunggulkan Tina Nur Alam.

Keanehan hasil survei ini semakin nyata ketika dibandingkan dengan survei-survei lain yang dilakukan dalam waktu berdekatan. Survei yang dilakukan oleh SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) pada 18-30 Juli menempatkan Tina Nur Alam di posisi pertama dengan 33 persen elektabilitas, unggul 4,6 persen dari ASR yang berada di angka 28,4 persen. Hasil yang hampir serupa juga ditemukan oleh JSI (Jaringan Suara Indonesia) pada 9-17 Juli, di mana Tina Nur Alam unggul dengan 39,3 persen sementara ASR hanya meraih 33,6 persen.

Dalam konteks ini, perbedaan elektabilitas sebesar lebih dari 10 persen dalam survei LSI Denny JA dibandingkan dengan survei-survei lain dianggap sangat janggal. Perubahan signifikan ini terjadi hanya dalam waktu 1-2 minggu, sesuatu yang jarang terjadi dalam survei elektabilitas yang biasanya menunjukkan perubahan kecil dalam jangka waktu singkat.

Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara dan politisi senior, memberikan pandangannya mengenai hasil survei LSI Denny JA yang dinilainya tidak lazim. “Sepanjang saya menjadi pengguna jasa lembaga survei sejak tahun 2017, baik di Pilkada Provinsi yang saya ikuti maupun puluhan Pilkada Kabupaten/Kota yang saya amati, tidak pernah ada elektabilitas yang bisa berubah 5-10 persen dalam hitungan 1-2 minggu saja. Ini sebuah kejanggalan besar,” tegas Nur Alam.

Pandangan serupa disampaikan oleh La Ode Basir, tokoh pemuda Kepulauan Buton dan pemerhati politik Sultra. “Sejak 2014, saya telah menggunakan jasa lembaga survei, baik saat Pilpres maupun Pilkada, dan belum pernah saya menemukan selisih hasil survei antar lembaga yang mencapai lebih dari 10 persen dalam waktu yang berdekatan. Biasanya selisihnya hanya 3-5 persen,” ujarnya. Menurut La Ode Basir, perlu diperhatikan kapan survei dilakukan dan bagaimana sebaran sampelnya, karena kedua faktor ini sangat mempengaruhi hasil. Ia juga mengingatkan bahwa ada kemungkinan bias jika lembaga survei yang melakukan penelitian juga bertindak sebagai konsultan politik bagi salah satu calon.

Lebih lanjut, La Ode Basir menekankan bahwa hasil survei sering kali tidak hanya menjadi gambaran situasi saat survei dilakukan, tetapi juga berfungsi untuk menggiring opini publik. “Kita perlu berhati-hati jika lembaga yang melaksanakan survei juga bertindak sebagai konsultan politik salah satu pasangan calon, karena ini bisa mempengaruhi hasil yang ditampilkan,” tambahnya.

Sementara itu, seorang dosen Ilmu Politik dari Universitas Halu Oleo (UHO), Laode Harjudin, memberikan pandangan bahwa komposisi etnis dan kekuatan modal menjadi faktor kunci dalam elektabilitas calon di Pilgub Sultra. Menurutnya, dalam konteks politik Sultra, preferensi pemilih tradisional yang sangat dipengaruhi oleh ikatan emosional seperti etnis dan kekeluargaan memainkan peran besar. Hal ini membuat hasil survei menjadi sangat rentan terhadap perubahan jika tidak mempertimbangkan faktor-faktor tersebut secara menyeluruh.

“Dalam skenario di mana pemilih dari etnis tertentu mendukung calon dari etnis yang sama, hasil survei bisa sangat berbeda dengan yang diprediksi oleh lembaga survei yang tidak mempertimbangkan sebaran etnis secara adil,” jelas Laode Harjudin. Dia juga menambahkan bahwa kekuatan modal sering kali menjadi penentu dalam hasil akhir, di mana calon yang memiliki dukungan finansial kuat cenderung lebih mampu mempengaruhi opini publik melalui berbagai cara, termasuk survei yang mungkin telah dimanipulasi.

Dengan berbagai kejanggalan yang terlihat, hasil survei LSI Denny JA menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat dan pengamat politik. Konsistensi hasil dari lembaga survei lainnya yang menunjukkan keunggulan Tina Nur Alam menjadi alasan utama untuk meragukan hasil yang dirilis oleh LSI Denny JA.

“Survei seharusnya mencerminkan realitas di lapangan, bukan menjadi alat untuk menggiring opini dan memenangkan salah satu pihak dengan cara yang tidak sehat,” pungkas Nur Alam. Dalam situasi ini, masyarakat Sultra perlu lebih kritis dalam menilai setiap hasil survei yang beredar, terutama menjelang Pilgub 2024 yang semakin dekat. [ ]

Check Also
Close
Back to top button