Veritas

Waspada, KPK Pernah Peringatkan Busuknya Investasi Cina!

Sebagaimana ditulis Forbes, dia menunjuk pada studi oleh badan pengawas korupsi seperti Global Corruption Watch, yang menemukan bahwa proyek yang didukung Cina secara konsisten menghasilkan peningkatan korupsi lokal melalui suap dan media lain, dan hasil pembangunan yang lebih buruk, dibandingkan dengan proyek yang didukung negara-negara lain.

JERNIH– Dalam wawancara dengan Bloomberg pada 2019, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu Laode Muhammad Syarif, menyuarakan peringatan tentang sisi buruk investasi Cina di luar perbatasannya: potensi korupsi dan pengaruh negatif ekonomi.

Dalam hal itu, Muhammad Syarif mengingatkan negara-negara tuan rumah bahwa investasi Cina di negara-negara Asia Tenggara dan Afrika memiliki sisi baik dan sisi buruk.  Sisi baiknya adalah terwujudnya jalan raya, rel kereta api, jembatan, pelabuhan, dan pabrik yang mereka bantu pembiayaannya. Seperti kereta api berkecepatan tinggi di Indonesia, utilitas publik di Filipina, pelabuhan di Sri Lanka dan Djibouti, serta pembangkit listrik, jalan raya, dan rel kereta api di beberapa negara di Afrika, sebagaimana dicatat Forbes.

Ini juga tentang apa yang oleh para ekonom disebut “efek pengganda”, beberapa putaran pekerjaan dan pendapatan yang dihasilkan proyek-proyek ini saat konstruksi berlangsung; dan “efek akselerator”, pekerjaan dan pendapatan tambahan yang tercipta setelah proyek selesai dan mulai beroperasi.

Sederhananya, investasi Cina dapat membantu menempatkan ekonomi “perbatasan” Asia Tenggara dan Afrika ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Sisi buruk dari investasi Cina adalah soal korupsi dan pengaruh ekonomi. “Kami menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dengan investasi dari Cina,” ujar Muhammad Syarif seperti dikutip dari wawancara Bloomberg. “Mereka melakukannya sebagai bagian dari bisnis mereka, mencoba memperluas pengaruh ekonomi mereka, jadi itulah mengapa kita harus sangat, sangat berhati-hati.”

Tentang hal itu, Ted Bauman, seorang analis riset senior dan ekonom di Banyan Hill Publishing, berpikir, “pejabat antikorupsi Indonesia benar untuk khawatir tentang korupsi seputar investasi Cina.”

Sebagaimana ditulis Forbes, dia menunjuk pada studi oleh badan pengawas korupsi seperti Global Corruption Watch, yang menemukan bahwa proyek yang didukung Cina secara konsisten menghasilkan peningkatan korupsi lokal melalui suap dan media lain, dan hasil pembangunan yang lebih buruk, dibandingkan dengan proyek yang didukung negara-negara lain.

Sementara itu, Bauman menyuarakan kewaspadaan tentang korupsi yang mengikuti investasi Cina di Afrika. Dia merujuk pada survei 2017 terhadap perusahaan Cina yang beroperasi di Afrika, yang menemukan bahwa 87 persen mengaku membayar suap kepada pejabat lokal.

“Itu dan analisis lainnya menyimpulkan, norma-norma bisnis Cina tidak menganggap korupsi sebagai hal yang tidak pantas,” tuturnya, dalam tulisan Forbes.

“Menguatkan bahwa, meskipun pemerintah Cina memiliki tindakan keras terhadap korupsi di Cina, ia hanya memberikan sedikit perhatian pada korupsi oleh bisnis Cina dan perusahaan terkait negara di luar negeri.”

Kenya dan Uganda adalah dua contoh kasus yang bagus.

“Pemerintah Kenya dan Uganda saat ini sedang menyelidiki hampir 1.000 kasus penghindaran pajak dan penyuapan terkait oleh Cina atau perusahaan terkait Cina di negara-negara tersebut,”kata dia.

Korupsi dari Cina adalah hal terakhir yang dibutuhkan negara-negara Asia Tenggara dan Afrika. Mereka sudah memiliki banyak korupsi, menurut peringkat Transparency International. Dan itu telah menjadi salah satu pembunuh kemajuan ekonomi apa pun yang telah dibuat negara-negara ini di masa lalu.

Tapi ada lebih banyak lagi sisi buruk dari investasi Cina: banyak dari proyek ini tidak layak secara ekonomi; mereka dibangun untuk digelembungkan; dan meninggalkan negara-negara tuan rumah berutang banyak ke Cina, seperti yang terjadi dengan Sri Lanka dan Djibouti, yang akhirnya menyerahkan kendali atas pelabuhan mereka ke Beijing. [Forbes/ matamatapolitik]

Back to top button