Depth

Mohammad Reza Nurrahman, Anak Sopir yang Menjadi Wisudawan Terbaik ITB 2019

Oleh : dessulaeman.blogspot.com *

JAKARTA—”Cing pang bikinkeun pidato, bisi orang tua disuruh  sambutan di acara wisuda. Alhamdulillah si reza diwisuda tangal 19,cumlaude 3,98. Si Reza terpilih untuk pidato mewakili wisudawan. Orang tuana bisi dititah naik untuk ngomong tapi teu bisa, sieun grogi. Pangnuliskeun sedikit, tong Panjang-panjang. Bikin ucapan terimakasih ka kampus jeung ka pengajar.”

Pesan WA yang saya terima sore hari kemarin itu segera membuat mata saya berkaca-kaca.  Ditulis dalam Bahasa ibu kami, basa Sunda. “Tolong buatkan konsep pidato, kalau-kalau saya diminta memberikan sambutan dalam acara wisuda. Alhamdulillah si Reza diwisuda tanggal 19, Cum Laude 3,98. Si Reza terpilih untuk berpidato mewakili wisudawan, orangtua takutnya diminta naik panggung tapi kuatir nggak bisa ngomong. Tolong buatkan beberapa kalimat saja, ucapan terima kasih ke kampus dan para pengajar.”

Saya bangga campur haru.  Betapa tidak?  Orang yang mengirim WA tersebut adalah seorang pria, anak bibi. Saya tahu banget kondisi ekonomi dan keluarganya. Sejak SMP orang yang berkirim WA dengan girang karena anaknya menjadi wisudawan terbaik itu sudah menjadi yatim piatu. SMA berjuang sendiri.   Sewaktu SMA dia dengan temannya, tengah malam sering mencuri-curi belajar menyetir mobil truk punya temannya. Karena untuk belajar mengemudi dengan les tidak mempunyai biaya. Dia minta temannya untuk mengajari mengemudi.

Setelah berkeluarga dan mempunyai tiga orang anak, berkah keterampilan belajar mengemudi otodidak itu membuaynya bekerja sebagai sopir ekspedisi. Beberapa kali pindah perusahaan, bahkan pernah menjadi sopir sebuah travel Bandung–Jakarta. Namun karena perusahaan travel tersebut bangkrut, ia harus menganggur lama dan mencoba melamar menjadi sopir pribadi seorang pengusaha keturunan.

Ekonomi keluarganya sangat jauh dari layak. Tapi berkah kejujuran dan kesabaran akhirnya dirinya menjadi sopir pribadi pengusaha konveksi di Cimahi sampai sekarang.

Rumahnya sangat sempit beralaskan tanah. Bahkan saat disurvey pada waktu anaknya akan mendapatkan bea siswa dari ITB oleh pihak kampus, para penyurvey itu sampai menggeleng-gelengkan kepala, berdecak kagum.  Orangtua calon mahasiswa yang akan diberi bea siswa itu benar-benar dari keluarga tidak mampu. Walaupun begitu, bisa mendidik seorang anak dan lolos ke ITB melalui program Bidik Misi.

Rasanya belum lama–saat anak itu SMP, saya melihat dia dibonceng motor GL butut bapaknya. Didikan bapak-ibunya memang mengutamakan adab, karakter dan pengetahuan agama. Anak ini sangat rendah hati, setiap berbicara selalu membungkukkan badan dan mencium tangan orang yang lebih tua. Ia bersekolah di Pesantren Darul Falah, Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Sebelumnya dia bersekolah di sebuah pesantren modern, karena cerdas dia mendapatkan bea siswa di sekolah tersebut.  Namun dia pindah sekolah, karena tidak suka orang tuanya dikecewakan dan dibuat menangis oleh sekolah pertamanya itu.

Keadaan ekonomi mereka serba kekurangan, karena pekerjaan yang diandalkan hanya menjadi seorang sopir. Serba susah dalam segala hal, tidak menjadikan dia dan istrinya gagal dalam mendidik anak-anaknya.  Kakak Reza, Firman, bahkan menjadi guru honorer di salah satu sakola swasta. Tidak jarang, honor Firman yang tidak seberapa harus diberikan kepada Reza untuk keperluannya sekolah.

“Buat biaya kuliah Reza saja. Dia lebih membutuhkan daripada saya,” kata Firman kepada ibunya, Ika.  Reza dan Firman sering harus berpuasa Senin-Kamis untuk mengurangi biaya makan.  Mereka juga membuka les belajar Matematika dan Fisika di rumahnya yang kecil itu untuk menambah-nambah biaya kuliah.

Anak-anak yang mengikuti les di Reza sangat kerasan, karena dia mengajar dengan sabar dan gampang dimengerti.

Kemana-mana sering saya melihatnya membawa buku bacaan. Tampanya, daripada mengobrol dengan teman sebayanya, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku.  Pernah satu kali dia mencoba memecahkan satu soal matematika yang rumit. Dia tidak mau berhenti, terus mencari pemecahan soal yang sulit itu. Dia cari rumusnya dan dia pecahkan dengan caranya sendiri sampai ketemu. Reza pintar mengaji, setiap ada acara keluarga pasti dia membacakan Alquran sebelum acara dimulai.

Disuruh pulang dan diancam tidak naik kelas

“Urang mah pernah nyeri hate, euy. Basa Reza keur SMA. Abong ka jelema teu boga,  Reza pernah diancam ku sakolana teu naek kelas. Saya pernah sakti hati banget waktu si Reza di SMA. Mungkin karena kami orang gak punya,” si ayah pernah bercerita.

“Kenapa sampai diancam nggak naik kelas, Mang?” tanya saya.

Gara-garana si Reza lolos seleksi olimpiade tingkat Asia di Surya Institut BSD. Kusabab si Reza keukeuh hayang milu eta olimpiade mawa ngaran sakola.  Tapi, sakolana teu bisa ngajamin si Reza bisa naek kelas. Harita kelas 2. Diancam teu naek kelas, sabab di Surya Institut kudu milu karantina salila sabulan. Persoalannya, si Reza kan lolos seleksi Olimpiade tingkat Asia di Surya Institut BSD. Si Reza, keukeuh ingin ikutan Olimpiade membawa nama sekolah. Tapi sekolahnya nggak mau menjamin si Reza naik kelas. Waktu itu kelas 2. Diancam tidak naik kelas karena di BSD harus ikut karantina selama satu bulan,” kata  Mang Wawan, sang ayah.  

“Terus?” tanya saya, penasaran.

“Si Reza merasa kecewa banget dan sakit hati. Sekolah  yang ingin diwakili nama baiknya, malah balik mengancam dia. Dia berangkat, ikut karantina di BSD. Namun, karena sikap sekolahnya yang tidak mendukung, Si Reza tidak bisa berkonsentrasi .  Dalam Olimpiade Tingkat Asia dia hanya mendapat peringkat ke-9 dari  seratus  peserta dari seluruh Indonesia. Pulang dari tempat lomba, sekolahnya tidak mau menjemput. Terpaksa dia pulang sendiri dengan uang seadanya. Sampai di rumah dia menangis dalam pelukan ibunya. Sakit hati oleh perlakuan sekolahnya.”

Kalimat Mang Wawan terhenti.  Kerongkongannya seolah tercekat. Matanya berkaca-kaca. Pelan air mengalir dari sudut matanya.

“Isukna dianteur indungna ka sakola. Sapada harita menta pindah sakola.  Untungna SMA Darul Falah di Cihampelas daek narima kalawan dibere bea siswa. Malahan dibere sagala rupana keur kaperluan sakola. Pokona mah gratis sagalana. Teu mayar saperak-perak acan.  Alhamdulilah taun eta keneh ngawakilan SMA Darul Falah,milu Olimpiande Sains tingkat Nasional (OSN). Jadi juara ka-1 sakabupaten. Noron terus juara ka-1 tingkat Provinsi, disambung jadi juara ka-2 tingkat nasional di NTB. Pokona mah, urang reueus pisan, euy!” 

“Keesokan harinya, diantar ibunya dia kontan minta pindah dari sekolah tersebut.  Untunglah pesantren Darul Falah, yang juga memiliki SMA di Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, bersedia menerimanya.  Bahkan si Reza diberi bea siswa, seragam, peralatan sekolah. Pokoknya gratis semua. Nggak bayar sepeser pun. Alhamdulillah, masih tahun yang sama mewakili SMA Darul Falah, ikut Olimpiade Sains tingkat Nasional (OSN). Si Reja berhasil  meraih juara ke-1 tingkat Kabupaten, juara ke-1 tingkat Propinsi dan juara ke-2 tingkat Nasional di NTB.  Pokoknya, saya merasa sangat bersyukur dan bangga dengan si Reza!”

Lulus dari SMA, Reza mendaftar ke ITB melalui program Bidik Misi. Lulus tanpa syarat. Bahkan, saat disurvey ke rumahnya, tim surveyor hanya bisa menggelengkan kepala. Rumah kecil dengan kondisi lantai setengah tanah. Di depan rumah, motor GL butut berwarna hitam kusam teronggok, untuk menemani Mang Wawan berangkat kerja.

Selama di  ITB, Reza setiap semester dipastikan menjadi juara dan membuktikan dia mahasiwa unggulan. Bahkan tahun 2018, dia terpilih mengikuti program KAIST di Korea. Piagam dan sertifikat memenuhi dinding kuning kusam rumah Mang Wawan yang gelap dan lembab. Mungkin karena kecerdasan dan prestasinya, oleh dosen seringkali Reza dibawa ke proyek penelitian di seluruh Indonesia. Malah beberapa kali mewakili ITB mengikuti seminar, pelatihan dan penelitian.

Terbukti bukan kaya miskinnya seseorang, bukan tingginya jabatan orang tua yang menjadikan baik buruknya seseorang.  Mang Wawan dan istrinya Bi Ika, hanya lulusan SMA dengan ekonomi serba kekurangan. Toh keduanya berhasil mendidik anak-anak mereka. Bahkan, Reza berhasil menjadi wisudawan ITB terbaik 2019. Cum laude dengan IPK 3,98. 

Keberhasilan mereka selalu saya jadikan contoh untuk anak-anak. Kalau kita berusaha keras, tanpa lelah, fokus dan tidak melupakan yang Maha Kuasa, Allah SWT, pasti berhasil.

Selamat untuk Mohamad Reza Nurrahman. Semoga tetap istiqomah dan barokah dengan ilmumu. Proud of you, Son!  [dsy]

*Kami belum berhasil menghubungi nomor kontak maupun email penulis yang menyatakan berprofesi sebagai guru di Cilawu, Garut

Back to top button