Beri Trump Teguran, DPR AS Ogah Setujui Perang Lawan Iran
WASHINGTON—Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat menyatakan persetujuan atas undang-undang yang menolak perang lawan Iran, sebagai bentuk teguran mereka terhadap Presiden AS Donald Trump. Namun diperkirakan Senat AS akan menolak UU tersebut, sementara Trump diduga akan memvetonya.
National Public Radio (NPR) yang bermarkas di AS melaporkan, DPR AS telah menyetujui dua UU yang berusaha membatasi kemampuan presiden untuk mengambil tindakan militer tanpa persetujuan Kongres. Undang-undang pertama, yang dikenal sebagai Undang-Undang Tolak Perang Lawan Iran (No War Against Iran), akan memblokir pendanaan untuk pasukan militer di Iran atau untuk melawan Iran, kecuali Kongres telah menandatanganinya. UU yang diperkenalkan oleh Senator Ro Khanna dari California itu disahkan dengan suara 228 banding 175.
Sementara undang-undang kedua, yang diperkenalkan senator dari Partai Demokrat California, Barbara Lee, akan mencabut otorisasi tahun 2002 untuk penggunaan kekuatan militer (AUMF) yang mengantarkan perang melawan rezim Saddam Hussein di Irak. UU itu lolos dengan perolehan suara 236 banding 166. Tercatat 11 dukungan di antaranya datang dari Republikan.
Namun pemungutan suara itu mungkin sebagian besar simbolis. Senat pimpinan Republik tidak diperkirakan akan menyetujui langkah-langkah tersebut, dan Gedung Putih telah mengisyaratkan bahwa Presiden Trump akan memvetonya.
Itu adalah teguran terhadap tindakan militer Trump baru-baru ini di Irak terhadap Iran dan target terkait Iran, yang dilakukan tanpa izin Kongres. “Prajurit kami layak memperoleh martabat ketika mereka harus pergi berperang,” ujar Sheila Jackson Lee, senator Partai Demokrat dari Texas.
Pemungutan suara itu berlangsung pada hari yang sama ketika Irak mengatakan akan melanjutkan kerja sama militer dengan koalisi pimpinan AS melawan ISIS. Awal tahun ini, pemerintah Irak menghentikan aksi bersama, dan parlemennya memilih untuk menuntut pasukan AS mundur, setelah serangan pesawat tanpa awak AS yang menewaskan pemimpin militer Iran Qassem Soleimani di Baghdad.
Dalam tweet Rabu (29/1) lalu, Presiden Trump mendorong anggota Dewan untuk “memilih Nurani mereka” pada undang-undang tersebut. Kemudian di hari itu, dia memiliki pesan yang agak berbeda. “Dengan pemungutan suara di DPR besok, Demokrat ingin mempersulit Presiden untuk membela Amerika, dan melawan, sebagai contoh, Iran. Lindungi NEGARA BESAR kita!” dia mencuit.
“Amerika tidak akan lebih aman, kita akan lebih lemah,” ujar Kevin McCarthy, seorang Republikan dari California. Suaranya mengingatkan kita kepada McCarthy di era Komunisme yang selalu ia jadikan hantu untuk menakut-nakuti public.
AUMF 2002 memberi presiden wewenang untuk “membela keamanan nasional Amerika Serikat terhadap ancaman yang terus-menerus ditimbulkan oleh Irak.” Sejak itu, AUMF 2002 telah digunakan untuk membenarkan tindakan militer AS lainnya, termasuk serangan terhadap Soleimani.
“Saddam Hussein sudah mati. Pemerintahan dan rezimnya sudah lama hilang,” ujar senator Eliot Engel, dari Partai Demokrat New York di Parlemen Dewan. “Otorisasi perang ini tidak memiliki relevansi dengan Irak saat ini. Itu harus dicabut.”
Kongres tidak diberi tahu secara resmi sebelum penyerangan terhadap Soleimani, yang membuat marah beberapa anggota Kongres dan mengantarkan mereka kepada undang-undang ini.
AS mengandalkan AUMF lain (yang disahkan pada 2001 dan memberikan wewenang kepada presiden untuk menggunakan kekuatan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas serangan 11 September). Undang-undang itu secara hukum membenarkan tindakan militer terhadap ISIS di beberapa negara dan melawan pemerintah Assad di Suriah.
Dalam sebuah pernyataan yang menandakan bahwa mereka akan memveto UU khusus itu, Gedung Putih mengatakan, “AUMF 2002 telah lama dipahami untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan untuk, di antara tujuan-tujuan lain, menangani ancaman yang berasal dari Irak, termasuk ancaman seperti ISIS, serta ancaman yang diarahkan oleh Iran.”
Dalam beberapa tahun terakhir, anggota parlemen dari kedua belah pihak kadang-kadang menyatakan tidak nyaman saat Gedung Putih terus menggunakan undang-undang yang disahkan hampir dua dekade lalu sebagai pembenaran untuk tindakan militer yang berkelanjutan.
Seperti yang dilaporkan NPR, para pakar hukum telah mencatat bahwa kekuatan perang presiden telah meningkat secara dramatis pada tahun-tahun sejak serangan 11 September, dengan sedikit protes dari para anggota parlemen. [NPR/USAToday]