Indonesia Alami Resesi Ekonomi, Penyebabnya?
“Dengan posisi ini kalau kita bandingkan posisi kuartal III 2019 maka posisi pertumbuhan Indonesia secara tahunan masih mengalami kontraksi sebesar 3,49 persen”
JERNIH – Indonesia resmi mengalami resesi ekonomi -penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun-. Kepastian tersebut terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49 persen pada kuartal III 2020 kemarin.
Kondisi resesi Indonesia diakibatkan keadaan ekonomi negara negatif dalam dua kuartal lebih secara berturut-turut.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan capaian pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dibandingkan kuartal III 2019 sebesar 5,02 persen.
“Dengan posisi ini kalau kita bandingkan posisi kuartal III 2019 maka posisi pertumbuhan Indonesia secara tahunan masih mengalami kontraksi sebesar 3,49 persen,” ujarnya di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Suhariyanto menambahkan, ekonomi di sejumlah negara membaik pada kuartal III 2020 dibandingkan kuartal II 2020. Namun, perbaikan tersebut mengalami kendala kenaikan kasus pandemi covid-19 di sejumlah negara.
Ekonomi Indonesia berdasarkan PDB kuartal III atas dasar harga berlaku Rp3.894 triliun. Sementara, berdasarkan harga dasar konstan dengan tahun dasar 2010 adalah Rp2.720,6 triliun
Menurut pengeluaran secara tahunan (year on year/yoy), semua komponen mengalami kontraksi dengan konsumsi rumah tangga mencatatkan penurunan paling dalam.
Diketahui, selain Indonesia, beberapa negara lain yang juga telah mengalami resesi di antaranya Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, Australia, Uni Eropa, hingga Hong Kong.
Para ahli menyatakan resesi terjadi ketika ekonomi suatu negara mengalami produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya tingkat pengangguran, terjadi penurunan penjualan ritel, dan terdapat kontraksi pendapatan dan manufaktur untuk jangka waktu yang lama.
Resesi dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dihindari dari siklus bisnis — atau irama ekspansi dan kontraksi reguler yang terjadi dalam ekonomi suatu negara.
Dikatakan jika selama resesi, ekonomi berjuang, orang kehilangan pekerjaan, perusahaan menghasilkan lebih sedikit penjualan dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun. Titik di mana perekonomian secara resmi jatuh ke dalam resesi bergantung pada berbagai faktor.
Pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin membuat beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi.
Menurut dia, hal paling populer adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. “Perekonomian yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, jadi dua perempat produksi yang menyusut menunjukkan ada masalah mendasar yang serius,” menurut Shiskin.
Sementara, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) yang secara umum diakui sebagai otoritas yang menentukan tanggal mulai dan akhir resesi di Amerika Serikat (AS) memiliki definisi sendiri tentang resesi.
“Penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran,” menurut penjelasan NBER.
Definisi NBER lebih fleksibel daripada aturan Shiskin untuk menentukan apa itu resesi. Misalnya, covid-19 berpotensi menciptakan resesi berbentuk W, di mana ekonomi jatuh seperempat, mulai tumbuh, lalu turun lagi di masa depan. Ini tidak akan menjadi resesi menurut aturan Shiskin tetapi bisa berada di bawah definisi NBER.