Menyulap Kotoran Sapi Jadi Energi Baru Terbarukan di Brau

Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Batu sekelompok pecinta alam senior menggagas biogas. Bermaksud sekadar memberi energi baru, kini malah jadi tempat belajar dan berwisata.
JERNIH – Di lereng pegunungan Arjuno yang sejuk di Kota Batu, tepatnya di Dusun Brau, aroma tanah basah dan suara sapi perah menjadi latar keseharian warga. Desa kecil ini telah lama dikenal sebagai penghasil susu sapi terbaik di wilayah Batu dan Malang Raya. Namun di balik keberlimpahan hasil susu, ada persoalan lingkungan yang lama dibiarkan: limbah kotoran sapi yang menumpuk dan mencemari air.
Hingga awal tahun 2000-an Brau seperti tertinggal dari kawasan lain di Batu yang menjelma menjadi kota wisata utama Jawa Timur. Listrik tidak masuk ke dusun, sementara konsumsi kayu bakar begitu tinggi. Bak bumi dan langit dengan Songgoriti, Selekta, juga destinasi Batu yang bertebar di mana-mana dan listrik memberi energi bagi denyut industri pariwisata.

Berawal dari pengalaman mengembangkan proyek biogas di Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang pada tahun ’80-an, sejumlah senior Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (IMPALA) Universitas Brawijaya lalu memunculkan ide sederhana tapi revolusioner. Mereka membentuk LSM bernama Yayasan Bumi Lestari guna menggagas upaya pemanfaatan limbah ternak menjadi energi bersih melalui teknologi biogas.
Gagasannya bukan sekadar soal teknologi, melainkan langkah nyata menuju kemandirian energi berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satu anggotanya, Yuli Sugihartati kemudian didedikasikan menginisasi proyek tersebut; membangun reaktor (digester) biogas bermodal pengalaman sebelumnya.
Awal Inovasi: Dari Limbah Menjadi Energi Bersih
Pada awalnya, warga Brau hanya memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk mentah. Seiring pertumbuhan populasi ternak, masalah bau dan limbah semakin serius. Kelompok nirlaba ini menyadari potensi besar di balik tumpukan kotoran itu, mulai memperkenalkan konsep biogas kepada masyarakat sekitar tahun 2012.
Sebuah digester dibangun di dekat kandang sapi sebagai pilot project. Biogas sederhana itu dibuat dengan tujuan mengubah kotoran menjadi gas metana (CH₄) untuk memasak, sehingga warga tak lagi bergantung pada kayu bakar.

Reaktor biogas di Dusun Brau sebagian besar menggunakan model fixed-dome — teknologi yang sederhana, awet, dan cocok untuk skala rumah tangga.
Lubang digali di tanah dekat kandang, lalu dibangun tangki dari bata dan semen kedap udara. Kapasitas reaktor umumnya 4–6 meter kubik, cukup untuk menampung limbah dari 8–12 ekor sapi.
Setiap hari, peternak mengumpulkan sekitar 50 kilogram kotoran dari 10 ekor sapi dan mencampurnya dengan air (perbandingan 1:1). Campuran ini dimasukkan ke dalam reaktor melalui saluran masuk (inlet). Di dalam tangki tertutup tanpa oksigen, mikroorganisme metanogenik menguraikan bahan organik menjadi gas metana (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂).
Gas metana yang terbentuk dialirkan ke dapur warga melalui pipa PVC dan disimpan dalam kubah gas (gas holder). Limbah cair hasil fermentasi, disebut bio-slurry, keluar melalui saluran pembuangan (outlet) dan digunakan sebagai pupuk organik cair.
Proses ini berlangsung terus-menerus. Setiap hari warga “memberi makan” reaktor dengan kotoran baru dan “memanen” gas dari hasil fermentasi. Setelah sistem stabil, produksi gas menjadi konstan dan bisa memenuhi kebutuhan energi harian rumah tangga.
Energi Listrik
Dari data lapangan di Brau, rata-rata peternak yang memiliki 10 ekor sapi bisa menghasilkan sekitar 50 kg kotoran per hari. Berdasarkan standar teknis biogas Indonesia, untuk 1 kg kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 0,03 meter kubik biogas, sehingga satu rumah tangga di Brau rata-rata memproduksi sekitar 1,5 meter kubik biogas per hari.
Dari nilai kalor tersebut, untuk sebanyak 1 meter kubik biogas setara dengan 6 kWh energi (nilai kalor bruto). Jika dikonversi menggunakan genset biogas dengan efisiensi lebih kurang 30%, maka 1,5 meter kubik biogas menghasilkan 2,7 kWh listrik per hari.
Angka ini setara dengan konsumsi listrik ringan satu rumah tangga pedesaan seperti penerangan malam, kipas kecil, dan pengisian perangkat elektronik.
Sementara untuk keperluan bahan bakar kompor dalam bentuk gas, 1,5 meter kubik biogas mampu menyalakan kompor selama 3–4 jam per hari. Alias dapat menggantikan kebutuhan LPG sekitar 0,6–0,8 kg per hari.
Bila kapasitas digabung dalam skala dusun, dengan sekitar 100 rumah tangga pengguna aktif biogas, maka total produksi gas di Brau bisa mencapai 150 meter kubik per hari, yang setara dengan 900 kWh energi atau sekitar 270 kWh listrik efektif setiap harinya — cukup besar jika suatu saat dikembangkan menjadi sistem mini-grid desa mandiri energi.

Manfaat 270 kWh
Output 270 kWh per hari di tangan masyarakat yang kreatif bisa menjadi penggerak utama kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebagai perbandingan, satu rumah tangga pedesaan umumnya membutuhkan listrik sekitar 4 hingga 6 kWh per hari yang cukup untuk menyalakan beberapa lampu, televisi, kipas angin, dan pompa air kecil. Dengan demikian, 270 kWh per hari bisa menerangi sekitar 45 hingga 65 rumah dengan konsumsi normal, atau bahkan hingga 90 rumah jika pola penggunaannya hemat.
Rumah-rumah tidak lagi gelap di malam hari, anak-anak bisa belajar dengan nyaman, dan kegiatan sosial seperti pertemuan warga dapat dilakukan tanpa harus khawatir soal pasokan listrik.
Listrik dari biogas membuka peluang baru bagi ekonomi lokal. Sebagian hasil listrik dapat digunakan untuk pendinginan susu segar, komoditas utama Brau. Sebuah kulkas hemat energi dengan daya 200 watt yang beroperasi 10 jam sehari memerlukan sekitar 2 kWh listrik. Dengan kapasitas 270 kWh per hari, Brau bisa mengoperasikan lebih dari 100 unit pendingin susu, menjaga kualitas produk agar lebih tahan lama sebelum dijual ke koperasi atau industri pengolahan.
Selain itu, listrik juga dapat digunakan untuk pompa air irigasi pertanian, mesin penggiling pakan ternak, atau peralatan produksi pupuk organik cair (bio-slurry). Semua ini menjadikan Brau bukan hanya penghasil energi, tetapi juga pengolah sumber daya yang terintegrasi — dari limbah ternak menjadi gas, dari gas menjadi listrik, dan dari sisa prosesnya menjadi pupuk bernilai ekonomi.
Di luar rumah tangga dan kegiatan ekonomi, sebagian energi dapat dialokasikan untuk fasilitas publik desa: kantor desa, posyandu, sekolah dasar, atau tempat ibadah. Setiap fasilitas umumnya hanya membutuhkan sekitar 10–15 kWh per hari. Artinya, listrik biogas Brau cukup untuk menghidupkan seluruh infrastruktur dasar desa tanpa harus bergantung.
Tak kalah penting, energi ini bisa memperluas penerangan jalan desa. Satu lampu jalan LED 30 watt yang menyala selama 12 jam hanya memerlukan 0,36 kWh per hari. Dengan kapasitas 270 kWh, Dusun Brau bisa menyalakan lebih dari 700 lampu jalan, menjadikan jalan desa terang benderang dan meningkatkan keamanan lingkungan di malam hari.
Dari sisi lingkungan, pemanfaatan biogas sebesar 270 kWh per hari juga berarti pengurangan emisi karbon hingga 160 ton karbondioksida per tahun, dibandingkan jika energi itu berasal dari bahan bakar diesel. Udara menjadi lebih bersih, air tidak tercemar limbah, dan kualitas hidup meningkat.
Upaya ini paling tidak andil dalam menopang program. Pemerintah menargetkan porsi EBT mencapai 23% dalam bauran energi nasional, dan biogas merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang strategis untuk daerah pedesaan.
Jika infrastruktur biogas di Brau diperkuat — misalnya dengan membangun reaktor komunal berkapasitas besar (50–100 meter kubik) dan genset biogas 10–15 kW — maka desa ini berpotensi menjadi desa mandiri energi yang mampu memasok listrik lokal.
Kini, hampir 90 persen peternak di Brau telah memanfaatkan biogas sebagai sumber energi utama untuk kebutuhan rumah tangga. Gas dari kandang-kandang sapi itu menyalakan kompor, lampu, dan bahkan dalam beberapa kasus, mesin generator kecil untuk menghasilkan listrik.
Satu kali Yuli mengenalkan cacing-cacing yang berasal dari biogas. Katanya, cacing-cacing ini punya nilai ekonomi. “Banyak pembelinya, terutama pemilik kolam ikan atau tambak,” ujarnya. Bahkan sampai produk sampingannya pun berguna.(*)
BACA JUGA: Relasi Energi, Pangan, dan Ketahanan Nasional dalam Perspektif Indonesia






