Puisi Radikal di Era Pasar: Antara Makna dan Modal

Oleh IRZI Risfandi
Puisi radikal—kata yang begitu menggairahkan, seperti musik keras di lorong gelap—tapi di era ini, semua harus “ada pasarnya.” Kalau dulu penyair melawan dengan kata-kata, kini kata-kata itu harus mampu sell. Bagaimana bisa? Apa gunanya puisi kalau hanya dibayar sebagai konten rutin di kanal podcast korporat? Kita berada di titik pelik: puisi yang ingin merdeka harus bisa bercerita, bukan hanya ke diri sendiri, tapi juga menghadapi logika ROI yang dingin.
Pertama-tama, apa makna radikal sekarang? Kalau dulu radikal diidentikkan dengan pembebasan struktural, sekarang radikal tidak cukup hanya turun ke jalan dan meneriakkan protes. Puisi radikal tak lagi sekadar menuang amarah—ia harus membangun ekosistem perlawanan. Karena pasar tidak akan diam; ia menghadirkan sponsor festival, sirop kopi, platform streaming—semua yang disantap oleh kaum “radikal” agar tetap liveable. Pertanyaannya: bagaimana puisi bisa tetap radikal, meski penontonnya juga jadi target pasar?
Mari mulai dari panggung: festival puisi kini menjadi ajang brand-branding, dari “Festival Puisi Kopi Nusantara” hingga “Voice of Resistance by Telco.” Sponsor menanam logo di backdrop, MC mendapatkan gawainya dari brand, dan influencer berjalan sambil mengenakan merchandise festival. Di satu sisi, ini berarti dana bagi penyair—honor baca, penginapan, merch. Tapi di sisi lain, suasana menjadi ringan, terlalu komersial, seperti kopi kekinian yang terlalu manis. Apakah puisi yang disampaikan di panggung itu masih radikal, atau sudah dihaluskan aroma kopi?
Kedua, puisi radikal juga bergantung pada jaringan digital. Tagar #PuisiPedas, #SajakAksi, #PoetForJustice, menyebar cepat di timeline. Tapi ketika diklik—apa yang muncul? Sebuah platform penjualan: “Swipe up untuk e-book kami” atau “Beli merch anti-penindasan harga spesial!” Tagar radikal jadi pintu gerbang pemasaran. Apakah kita ditelanjangi secara estetika atau hanya dipakaikan label politis agar lebih laku?
Ketiga, ada strategi yang legitimate. Kamu bisa melawan lewat proposal: “Kita bikin puisi mural di RW terpencil,” “Kita bikin puisi di sauna komunitas.” Pamflet dikirim ke sponsor, lalu ada dana. Di ruangan klinik ibu-ibu, muncul lembar sajak tentang stunting. Di desa, muncul lokakarya puisi soal gender. Strategi ini sah, bahkan dibutuhkan: puisi radikal bisa menjangkau langsung. Tapi riskan bila dieksekusi oleh lembaga asing atau pemerintah—protes bisa dipangkas, suara terpotong. Apakah tetap radikal, jika tunduk pada laporan berkala?
Marilah kita sebut satu konsep: radical divergence. Ia tentang puisi yang bisa membelok dari arah mainstream—tetap lucu dan nyeleneh, tetap menantang—di tengah tawaran pasar yang homogen. Ini bukan puisi anti-pasar, tapi puisi yang bisa draw feature: masuk panggung elite sekaligus menyelipkan sajak tentang abang bajaj, pungli, penggusuran, atau kapital yang tersembunyi—yang hasilnya mungkin disaring, tapi tetap ada.
Penyair radikal harus fasih dua bahasa: “bahasa panggung” dan “bahasa gang.” Bahasa panggung adalah linimasa kemasan: pakaian rapi, diksi lembut, anglophonic credentials—yang bisa memikat investor budaya. Bahasa gang adalah darah dingin: sumpah, protes, gelak maling, ekspresi bodoh tapi menyentuh—yang bisa bikin hati orang kampung berdegup.
Tapi jangan pikir ini mudah.
Bayangkan ini:
Saat kamu baca puisi protes di panggung ber-AC, terdengar lirih—diudaranya siapa tahu tanda hati bergema—penonton tepuk tangan sambil fokus pada backdrop kopi artisan. Di luar, ada gelombang petisi online: #StopGusurJakarta. Tapi tak lama, sponsor festival melakukan gugatan atas narasi radikalmu. Dialog mereda di tengah kamera; kamu disapa manis: “Nanti jangan terlalu politis, festival ini ada audiens global.” Jadilah, puisi radikal disunat—dipotong jadi bagian pendek agar lolos sponsor. Suara penuh melawan tiba-tiba dipadat-padat supaya safe.
Ini bentuk kanibalisme terselubung: puisi yang radikal termakan kultur pasar—dipotong, dimoral, lalu dijual. Darah ide direduksi, lalu dikemas dalam wadah acara premium. Dan publik jadi tertidur. Gara-gara bisa terjadi:
Panggung sudah disetir.
Panitia festival punya tim pemasaran—mereka menentukan tingkat “kelayakan politik.” Puisi yang terlalu tajam tak akan lolos audisi scripting untuk video highlight.
Algoritma ikut mengatur.
Media sosial melihat engagement. Konten radikal kadang langsung dipotong jangkauannya, atau ditandai sebagai sensitif. Jadilah puisi radikal perlu “safe caption”, subtitle, emoji, link produk—supaya bisa dipromosikan lagi.
Komodifikasi simbol radikal.
Slogan “Tetap Menyerang” dijadikan merchandise, diproduksi massal. Konser puisi menampilkan aksi teater pemuda melawan, tapi sponsornya brand mobil. Publik menyimak untuk mood, bukan untuk aksi.
Namun, ada cara agar puisi tetap radikal sekaligus hidup: Radical Duality—ia hadir di panggung kemasan, tapi menari keras di pojokan yang tidak terekam. Sebuah pendekatan hybrid: puisi dipublikasikan di video resmi, tapi penampilan utuhnya hanya ada di pertemuan kelompok grassroots; puisi moneternya ada di Instagram, tetapi versi panjangnya tersebar via zine fotokopian; puisi kita funded, sekaligus disisipkan di adegan publik teriak di terminal.
Radical Duality punya tiga strategi:
Split Persona
Memiliki persona literasi mainstream—untuk mengakses platform, jaringan, pangan. Dan persona guerrilla—pseudonim, atau reputasi gelap, yang tetap berani bikin sajak tanpa filter. Dua akun media sosial, dua rencana interaktif—satu formal, satu liar. Kedua persona saling tahu, tapi tidak saling membuka.
Kamu bisa tampil di kampus, dan membaca puisi revolusi di festival komunitas.
Layered Delivery
Seperti oglang berlapis:
Level A (Promo): tayangan singkat, highlight dirias.
Level B (Podcast): diskusi konteks bagi penikmat serius.
Level C (Archive & Zine): versi lengkap, kadang memuat pantun, sumpah lisan, atau gambar tangan—tidak diedit.
Publik mainstream mendapat A, pengikut nyata mendapat B, dan aktivis sastra mendapat C.
Prototype Ephemerality
Puisi dibuat sebagai instalasi atau acara temporer: mural sajak di dinding rusak, pantun jerit di flyover, audiobook untuk orang buka puasa di penjara. Itu kan radikal—hilang setelah selesai, tapi memberantas rutinitas. Pasar boleh mendanai event, tetapi instalasi ditempatkan di ruang publik yang diterima secara politik bumi-langit—di antaranya area marginal.
Radical Duality bukan jurus mainstream. Ia sejenis manuver tajam: bergelombang di atas dan di bawah. Ia memungkinkan puisi publik untuk hidup tanpa kehilangan dagingnya. Ia juga mementahkan tudingan “puisi anti-pasar” sebagai sekadar sikap steril, tanpa jalan kerja.
Kini, mari ke aspek terakhir: integritas. Puisi radikal di era pasar hanya kuat jika penyairnya punya integritas: rasa malu jika karya terlalu dikompromikan. Jika kamu menulis sajak revolusi setelah menyuapi klien bank, fine. Tapi jangan gunakan label grassroots bila acara kamu di ballroom. Jangan gunakan jargon “dari rakyat” bila honormu lebih besar dari UMR penerima.
Integritas juga soal transparansi: “Event ini didanai brand X, tetapi semua manifesto milik penyair.” “Aku punya persona kedua, karena ini dan itu.” Atau, “Aku bermain di radar, tetapi tetap punya ruang bawah tanah.” Publik literasi bisa memahami kompleksitas kamu—kalau kamu terbuka, dan tak menjual identitasmu.
Untuk penyair muda yang bercita-cita tetap radikal (sambil tetap bisa beli kopi tiap pagi), catat hal ini:
Belajar bahasa pasar, tapi jangan biarkan bahasa pasar mengaduk kata hatimu.
Cari sponsor yang serasi, tapi jaga jarak kalau mereka ingin puisi lebih “brand friendly.”
Bangun proposal yang menggugah, tapi sertakan klausul ekspresi tak tersentuh.
Dirikan persona militer: sabar jadi penyair mainstream, tapi real dalam manifestasi beda.
Kelak, punya karya di galeri, tetapi juga punya flash mob puisi di pasar tradisional.
Puisi radikal tidak mati di era pasar. Ia bisa berpesta di ballroom, tetapi juga mabuk di gang. Puisi radikal, jika bijak, menerima tawaran platform tanpa kehilangan bara perlawanan. Tetapi ia tak boleh membungkuk pada norma pasar dan logika engagement sepenuhnya.
Karena jika puisi menyerah pada logika kapital, maka ia bukan hanya kehilangan publik—tapi kehilangan dirinya. Ia menjadi kata-kata indah yang tidak mencekik. Puisi radikal tetap harus mencekik kenyamanan, mengunyah identitas, dan memuntahkan racun pemikiran—bahkan bila itu dianggap niche, tak trend, atau terlalu berbahaya.
Akhirnya, psalm radikal hari ini adalah betapa kata bisa memberi perlawanan—meski itu hadir lewat tagar atau zine fotokopian 10 eksemplar. Bukankah puisi selalu punya ruang sendiri, di panggung intervensi maupun pojok tak kasat mata? Di situlah, puisi tetap hidup. Dan memberi napas: bahwa pembicaraan tak selalu memerlukan sponsor—tapi tetap bisa menggoncang.