Sebagai perbandingan, virus corona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19, sejauh ini telah menginfeksi lebih dari 25 juta orang dan menewaskan hampir 850.000 orang di seluruh dunia.
Oleh : Stephen Chen
JERNIH– Tingkat kematian akibat Covid-19 bisa separah–atau lebih buruk– dari pandemi flu Spanyol yang menyerang dunia pada 1918. Hal itu diperoleh dari penelitian baru berdasarkan data dari wabah awal yang merebak di Cina.
Selama wabah influenza lebih dari seabad yang lalu, sekitar 500 juta orang–atau sepertiga dari populasi dunia saat itu—terinfeksi dalam waktu sekitar dua tahun. Perkiraan korban tewas saat itu berkisar antara 10 juta orang hingga lebih dari 50 juta orang.
Sebagai perbandingan, virus corona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19, sejauh ini telah menginfeksi lebih dari 25 juta orang dan menewaskan hampir 850.000 orang di seluruh dunia.
Untuk membandingkan tingkat kematian, tim ilmuwan Cina dan Amerika kembali ke awal pandemi, menggunakan data baru dan pemodelan yang lebih baik pada gelombang pertama di Wuhan, Republik Rakyat Cina tengah, tempat virus pertama kali dilaporkan akhir tahun lalu. Mereka menyebutkan angka kematian sebenarnya pada angka 4,54 persen.
“Hal itu sebanding, kalau pun tidak lebih tinggi, dibandingkan pandemi influenza 1918,” kata Yu Hongjie, seorang ahli epidemiologi di Universitas Fudan di Shanghai, pimpinan tim tersebut dalam makalah non-peer-review yang diposting di medRxiv.org, Selasa (2/9).
Perkiraan angka kematian akibat flu Spanyol berkisar dari 1,61 persen menjadi 1,98 persen.
Para peneliti mencari data dari Wuhan karena itu adalah tempat di mana jenis virus baru pertama kali diidentifikasi para ilmuwan setelah pasien mulai muncul di rumah sakit dengan gejala mirip pneumonia. Itu menjadikannya lokasi yang ideal untuk perbandingan tingkat kematian akibat pandemi pada tahun 1918, ketika pengetahuan dan pengobatan yang tersedia untuk penyakit yang disebabkan oleh virus influenza A H1N1 juga terbatas.
Sementara dua penelitian sebelumnya di Beijing dan Hong Kong memperkirakan tingkat kematian yang jauh lebih rendah untuk Covid-19, yakni pada angka 1,2 persen dan 1,4 persen. Tentang itu tim peneliti mengatakan mereka tidak memperhitungkan bahwa tes RT-PCR yang digunakan pada tahap awal wabah itu tidak seakurat yang diasumsikan. Mereka mengatakan tes tersebut memiliki tingkat akurasi 30-40 persen pada saat itu.
Orang dengan gejala ringan yang tidak pergi ke rumah sakit juga tidak dimasukkan dalam pemodelan untuk studi tersebut, menurut makalah tersebut.
Studi terbaru bertujuan untuk memasukkan semua kasus ini. “Perkiraan beban penyakit kami mungkin yang paling akurat untuk Wuhan sejauh ini,” tulis Yu dan timnya.
Yin Ping, seorang profesor epidemiologi di Tongji Medical College di Universitas Sains dan Teknologi Huazhong di Wuhan, percaya bahwa studi Fudan adalah yang paling akurat dalam hal angka kematian. “Perkiraan ini mendekati kebenaran,” kata Yin. “Kali ini memang bisa lebih buruk dari yang terjadi pada tahun 1918.”
Cina telah banyak mendapatkan kritik dunia karena penanganan yang mereka lakukan kepada wabah awal yang terjadi di Wuhan. Washington menuduh Beijing menyembunyikan informasi pada tahap awal, menyalahkan Cina atas pandemi yang paling parah melanda AS, dengan lebih dari 6 juta kasus dan hampir 200.000 kematian.
Menurut para peneliti Fudan, meski perkiraan tingkat kematian baru untuk Wuhan tidak sempurna, itu memberikan gambaran yang lebih akurat daripada data dari Amerika.
Di AS dan Quebec–provinsi terparah di Kanada—tingkat kasus bergejala masing-masing adalah 404 dan 534 per 100.000 orang, dalam beberapa bulan pertama wabah. Di Wuhan, angka yang ada jauh lebih tinggi, yakni pada 796, menunjukkan beberapa orang Amerika dan Kanada mungkin telah meninggal karena Covid-19, tetapi tidak diperhitungkan dalam angka resmi.
Di Amerika, hanya orang dengan tanda atau gejala yang konsisten dengan penyakit dan kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi dan “diuji secara istimewa”, dan itu bisa menyebabkan anggapan yang terlalu rendah, kata dia. Di Wuhan, pihak berwenang melakukan program massal untuk menguji setiap warga.
Makalah itu ditulis bersama Cecile Viboud, seorang ilmuwan peneliti senior dengan divisi studi populasi dan epidemiologi internasional dari National Institutes of Health (NIH). Dia tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar, tetapi sebuah pernyataan di surat kabar tersebut mengatakan bahwa hal itu “tidak selalu mewakili pandangan pemerintah AS atau NIH.”
Presiden Donald Trump telah mengklaim ada “deep state” dalam pemerintah AS yang menentang penanganan pandemi. Dia mencuit via Twitter-nya pada hari Minggu (30/8), yang mengklaim hanya enam persen dari orang yang terdaftar sebagai korban meninggal akibat virus corona, telah “benar-benar meninggal” karena penyakit tersebut. Twitter kemudian menghapus posting tersebut karena dianggap menyalahi aturan. [South China Morning Post]
Stephen Chen, tinggal di Cina, telah bekerja untuk Post sejak 2006.