Rencana China Akhiri Keringanan Pajak Bagi Ekspatriat Bisa Sebabkan Sepertiga Perusahaan AS Tinggalkan Shanghai
Lebih dari sepertiga perusahaan asing yang berbasis di pusat komersial Shanghai mengatakan mereka tengah mempertimbangkan relokasi seiring rencana itu
JERNIH– Lebih dari sepertiga perusahaan multinasional di Shanghai sedang mempertimbangkan untuk memindahkan seluruh atau sebagian dari operasi mereka keluar dari Cina ketika pembebasan pajak atas tunjangan untuk karyawan asing berakhir tahun depan. Demikian hasil sebuah survei yang dirilis kelompok lobi bisnis AS, Kamis (1/4).
Pada akhir 2018, Beijing mengatakan keringanan pajak untuk tunjangan ekspatriat, termasuk yang tersedia untuk pelatihan bahasa, perumahan, dan pendidikan anak akan dihapus pada awal 2022, setelah masa transisi tiga tahun.
Perubahan tersebut diterapkan sebagian untuk menyamakan keuntungan antara pekerja lokal dan asing, setelah pemerintah memperkenalkan item yang dapat dikurangkan dari pajak sebagai bagian dari reformasi pajak penghasilan pribadi.
Namun seiring dengan semakin dekatnya tenggat waktu, banyak perusahaan asing menjadi semakin khawatir. Hampir 70 persen dari 102 perusahaan yang disurvei oleh Kamar Dagang Amerika (AmCham) di Shanghai pada Maret lalu, mengatakan aturan baru itu akan mempersulit mereka untuk membawa bakat asing berkualifikasi tinggi ke kota yang menjadi pusat perusahaan multinasional di Cina tersebut.
Kelompok lobi memperkirakan perubahan itu akan memaksa perusahaan multinasional untuk membayar pajak tambahan 785.000 yuan (119.000 dolar AS) untuk karyawan asing dengan dua anak yang menerima tunjangan umum sebesar 960.000 yuan untuk perumahan dan uang sekolah setiap tahun. Karyawan tersebut harus membayar pajak tambahan sebesar 432.000 yuan per tahun.
“Dampak pada peran Shanghai sebagai pusat bisnis utama Cina tidak boleh diremehkan, atau dampak finansial pada komunitas lokal di Shanghai, seperti Jinqiao dan Hongqiao, di mana banyak ekspatriat tinggal dan membelanjakan pendapatan mereka,” kata AmCham Shanghai dalam laporan tersebut.
Sekitar 39 persen perusahaan yang menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari 100 juta dolar AS di Shanghai, mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk memindahkan sebagian kantor mereka ke kota-kota Cina lainnya dengan kebijakan pajak yang lebih menguntungkan, seperti Hong Kong. Sebanyak 36 persen dari mereka akan mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain.
“Hasil awal menunjukkan keuntungan yang jelas dari segi biaya dan pajak untuk pindah ke Singapura. Jika kami melakukannya, ekspatriat kami akan pindah tetapi semua rekan lokal yang bekerja untuk kantor pusat Asia-Pasifik kami akan kehilangan pekerjaan mereka seperti yang akan kami rekrut secara lokal di Singapura,”kata salah satu kepala keuangan dari sebuah perusahaan multinasional besar dalam laporan tersebut.
“Kecuali Shanghai menerapkan langkah-langkah untuk mengimbangi biaya pajak yang signifikan ini, kami harus merelokasi semua bakat asing kami ke wilayah dengan kebijakan pajak yang kompetitif secara global, seperti Area Teluk Besar Guangdong-Hong Kong-Makau dan akan mengurangi atau menutup sepenuhnya operasi Shanghai kami,” kata seorang kepala keuangan dari perusahaan multinasional menengah di kota itu.
Diyakini bahwa sekolah internasional di Shanghai akan menanggung beban terbesar dari perubahan kebijakan pajak karena mereka mempekerjakan sejumlah besar staf asing, yang pada akhirnya akan menaikkan biaya sekolah.
Satu sekolah internasional, di mana dua pertiga dari 291 stafnya adalah orang asing, mengatakan akan menaikkan uang sekolah siswa setidaknya 10 persen untuk menyesuaikan dengan pembatalan tunjangan tidak kena pajak untuk karyawan asing.
AmCham sedang melobi untuk penundaan tiga sampai lima tahun sebelum aturan itu diterapkan untuk memungkinkan perusahaan menyesuaikan atau memberikan subsidi dari pemerintah daerah untuk biaya yang lebih tinggi.
Sejauh ini, lebih dari 70 persen dari perusahaan-perusahaan ini mengatakan mereka belum mendengar dari pejabat pajak setempat tentang bagaimana perubahan itu akan mempengaruhi bisnis mereka. {South China Morning Post}